Sementara
Devan yang mengaku dirinya musisi jelas tak mengerti dengan hal-hal
seperti itu. Dia tak terlalu peduli dengan sisi magis yang dibawa oleh
sebuah lukisan. Baginya lukisan yang indah adalah yang bisa memanjakan
matanya tanpa harus mengerutkan dahi. Tapi, dia percaya dan setuju
dengan apa yang pernah dikatakan Kaisar, sahabatnya. Apa yang kau hasilkan dari hati, akan diterima oleh hati juga.
"Makasih, Van. Lu udah nyempetin dateng kesini."
"Ini adalah pameran tunggal perdana lu, mana mungkin gue ngelewatin moment berharga sahabat gue ini. Congratulation, brother!" Devan menawarkan tangannya. Kaisar menyambutnya, kemudian memeluknya erat. "Thanks, Van."
"Minggu depan giliran lu dateng ke konser perdana gue." Kaisar melepaskan pelukannya. Antara bingung dan kaget. Devan tertawa. "Bukan konser sih, gue jadi penyanyi kafe sekarang. Dan lu harus dateng di moment pertama gue manggung sebagai penyanyi profesional."
"Hebat. Lu udah selangkah lebih maju mendekati mimpi lu. Pasti gue dateng, Van. Gue janji." Kaisar membentuk huruf V dari jari tengah dan telunjuk tangan kanannya.
Hari ini aku disini
Berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada
Yang tlah membakar seluruh jiwa
Kucoba resapi, kucoba selami
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi
I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Untuk lewati semua ini
Devan berhenti bernyanyi. Dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih dia disana.
"Gue balik dulu ya, Sar. Yang terakhir tadi lagu terbarunya Bondan Prakoso. Judulnya 'I Will Survive'. Kalau pengen tahu lengkapnya, dengerin ini ya." Devan meletakkan sebuah CD di samping Kaisar yang sejak tadi hanya terbaring diam di ranjangnya. Kaisar hanya melihat sekilas seperti biasanya, kemudian membuang pandangannya ke tempat yang tak diketahui siapapun, bahkan dirinya sendiri. Tak ada kehidupan di sorot mata itu, hampa. Devan menghembuskan nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia masih tak percaya, Kaisar yang ceria terlihat sangat menyedihkan sekarang. Sebelum butiran air menetes dari matanya, Devan mengusap rambut Kaisar dan pamit pulang. "Gue pulang, Sar. Kamu bisa."
"Minggu depan giliran lu dateng ke konser perdana gue." Kaisar melepaskan pelukannya. Antara bingung dan kaget. Devan tertawa. "Bukan konser sih, gue jadi penyanyi kafe sekarang. Dan lu harus dateng di moment pertama gue manggung sebagai penyanyi profesional."
"Hebat. Lu udah selangkah lebih maju mendekati mimpi lu. Pasti gue dateng, Van. Gue janji." Kaisar membentuk huruf V dari jari tengah dan telunjuk tangan kanannya.
***
Berulang
kali Kaisar melihat jam tangannya, kemudian melihat ke luar lewat
jendela. Hujan sangat deras. Langit begitu gelap. Kilat seakan membelah
langit. Suara gemuruh semakin melengkapi tanda bahwa hujan tak mungkin
reda setengah jam lagi.
"Telepon
Devan saja. Dia pasti bisa memaklumi." Kaisar berhenti seketika dari
mondar-mandirnya begitu mendengar suara Mamanya. "Nggak bisa, Ma. Aku
udah janji sama Devan. Kalau aku nggak dateng, dia pasti kecewa."
Mamanya nggak bisa bicara lagi. Dia tahu betul persahabatan anaknya dan
Devan. Bahkan, Devan sudah dianggap anak sendiri olehnya.
Dengan
berbalut jas hujan, Kaisar menembus lebatnya hujan dengan motornya.
Jalan sangat gelap karena lampu penerangan jalan mati. Jarak pandang
sangat terbatas. Kaisar kehilangan kendali motornya ketika ada mobil
yang mengerem mendadak di depannya. Dia banting setirnya ke arah kiri.
Motornya menabrak pohon di trotoar dan dia terlempar ke badan jalan.
Nahas, sopir bus yang melintas tak sempat menginjak remnya. Tangan
Kaisar terlindas roda depan bus, dua-duanya. Dia selamat, tapi dokter
tak bisa menyelamatkan tangannya. Kedua tangannya harus diamputasi
sebatas siku.
Kaisar
sangat terpukul. Dia masih belum bisa menerima kenyataan. Sudah hampir
dua bulan dia tak keluar kamar. Hampir setiap hari Devan datang ke
rumahnya. Bukan hanya karena merasa bersalah, namun memang seharusnya
dia ada disamping Kaisar. Kaisar membutuhkannya saat ini. Devan yakin,
Kaisar tak mungkin menyalahkannya, karena hanya dia yang diizinkan masuk
ke kamarnya selain orang tuanya. Walaupun tak pernah sepatah kata pun
keluar dari mulut Kaisar, Devan mengerti dan tetap setia menemaninya
dalam kebisuan. Kadang, Devan memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu
dari Bondan Prakoso & Fade 2 Black, band favorit mereka. Kaisar
hanya menoleh sebentar lalu kembali lagi larut dalam lamunannya sendiri.
Namun, Devan tak merasa tersinggung dan kecewa sama sekali. Dia justru
tersenyum senang karena Kaisar masih menganggapnya ada. Itu sudah cukup.
***
Berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada
Yang tlah membakar seluruh jiwa
Kucoba resapi, kucoba selami
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi
I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Untuk lewati semua ini
Devan berhenti bernyanyi. Dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih dia disana.
"Gue balik dulu ya, Sar. Yang terakhir tadi lagu terbarunya Bondan Prakoso. Judulnya 'I Will Survive'. Kalau pengen tahu lengkapnya, dengerin ini ya." Devan meletakkan sebuah CD di samping Kaisar yang sejak tadi hanya terbaring diam di ranjangnya. Kaisar hanya melihat sekilas seperti biasanya, kemudian membuang pandangannya ke tempat yang tak diketahui siapapun, bahkan dirinya sendiri. Tak ada kehidupan di sorot mata itu, hampa. Devan menghembuskan nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia masih tak percaya, Kaisar yang ceria terlihat sangat menyedihkan sekarang. Sebelum butiran air menetes dari matanya, Devan mengusap rambut Kaisar dan pamit pulang. "Gue pulang, Sar. Kamu bisa."
***
Sudah
satu minggu Devan tak datang ke rumah Kaisar. Kaisar merasa sangat
kehilangan. Dia membayangkan kembali masa-masa mereka memulai
melangkahkan kaki mereka mengejar mimpi. Kaisar ingin jadi pelukis dan
Devan ingin jadi musisi. Selepas lulus dari SMA, keduanya melanjutkan
kuliah di perguruan tinggi. Kaisar mengambil jurusan seni rupa dan Devan
di jurusan sastra.
"Enak
ya lu, bokap sama nyokap lu dukung keinginan lu. Sementara gue,
boro-boro didukung. Bokap gue malah sebenernya pengen gue jadi dokter
kayak dia. Tapi, lu tahu sendiri lah, mana mungkin gue yang bebal ini
bisa masuk kedokteran. Bisa diterima di sastra aja udah untung." Devan
tertawa lebar.
"Iya,
gue bersyukur banget, Van. Gue beruntung punya bokap sama nyokap kayak
mereka. Mereka mendukung keinginan gue sejak kecil." Kaisar tersenyum
bangga. "Lu hanya perlu membuktikan pada ortu lu kalo lu bisa bertahan
hidup dari keinginan lu. Mereka hanya cemas. Orang tua mana sih yang
nggak ingin anaknya sukses. Makanya, mari kita buktikan pada mereka kita
bisa sukses dengan pilihan kita."
"Yap.
Dulu mereka juga berharap kakak gue bisa kerja di kantoran. Makanya
kakak gue disuruh ambil jurusan ekonomi. Berhubung kakak gue sangat
mencintai dunia memasak, setelah lulus dia justru bekerja sebagai chef.
Bokap sama nyokap gue sempat marah besar waktu itu, namun setelah kakak
gue bisa buka rumah makan sendiri dan sukses, hati mereka pun luluh.
Hidup ini lucu ya, Sar," Devan tersenyum. Kaisar ikut tersenyum. "Gue
juga mau ngikutin jalan ini dulu, Sar. Siapa tahu gue bisa mencipta lagu
dengan lirik-lirik yang puitis."
Kaisar kembali dari lamunannya. Dua butiran air telah mengintip di ujung matanya, bersiap untuk meluncur jatuh. Iya. Lu bener, Van. Hidup ini lucu. Katanya dalam hati. Tuhan lebih memilih tangan gue. Kenapa bukan kaki gue? Atau nyawa gue sekalian, gue
lebih ikhlas. Kehilangan tangan lebih menyiksa gue. Tuhan bukan hanya
merampas tangan gue, tapi juga mimpi gue. Ini nggak adil. Pipinya
kini telah basah. Dan dia semakin sedih ketika sadar bahwa dia tak bisa
menghapus air matanya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara yang sangat
dikenalnya dari radio yang sejak tadi dinyalakannya tapi tak begitu
didengarkan. Susah payah dia membesarkan volumenya dengan kaki kanannya.
Hari ini kan ku pastikan
Aku masih ada disini
Mencoba lepaskan, coba bebaskan
Segala rasa perih di hati
Kucoba resapi, kucoba hayati
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi
And I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Tuk lewati semua ini
Engkau selalu ada
Di saat jiwaku rapuh, di kala ku jatuh
And I want you to know
That I will fight to survive
I will not give up, I will not give in
I'll stay alive for you..for you..for You..
Di
tengah kesedihannya dia tersadar. Tuhan Maha Adil. Tuhan percaya kalau
dia punya hal lebih selain dari kekuatan tangannya yang selama ini dia
banggakan. Tugasnya sekarang adalah membuktikan pada Hidup, juga pada
dirinya sendiri bahwa dia bisa bertahan tanpa tangan. Kenapa
harus ditangisi sesuatu yang bukan miliknya. Tangan itu milikNya. Dan
Dia berhak mengambilnya kapanpun, tanpa harus menunggu kesiapan dari
yang selama ini mengakuinya sebagai miliknya.
***
"Maaf, Tante. Kemarin-kemarin nggak bisa dateng."
"Dia ada di galeri."
Devan
tersentak. Antara kaget dan senang melihat senyum yang mengembang
kembali di wajah Mamanya Kaisar. Sudah lama dia tak melihat pemandangan
itu. Dia langsung berlari ke galeri yang terletak di samping kanan
rumah. Dia semakin kaget ketika mendapati Kaisar melukis menggunakan
mulutnya. Terharu dengan apa yang dilihatnya, dia justru hanya berdiri
mematung di mulut pintu.
"Ngapain
lu disitu, sini masuk!" Kata Kaisar setelah melihat sahabatnya yang
hanya diam di pintu. "Lihat ini! Nggak usah buru-buru memuji. Nggak usah
membesarkan hati gue. Hati gue sudah terlalu besar, sebesar semangat
gue sekarang." Kaisar tertawa. "Selain dengan mulut, gue juga ngelatih
kaki gue. Gue yakin, nantinya mulut dan kaki gue bisa sehebat tangan gue
dulu." Devan mengangguk. "Pasti."
"Oh,
ya. Be te we, kemarin kemana aja lu?" Kaisar seperti menginterogasi.
Ketus. "Sory banget, Sar. Gue rekaman, demo gue diterima label. Tapi,
untuk permulaan, sekarang single dulu." Devan berkata penuh semangat. "WOW! KEREN!" Devan kaget mendengar teriakan Kaisar.
"Selamat."
Kaisar hendak mengulurkan tangannya. Sejenak dia tersadar, kemudian
berkata lirih dan menunduk. "Selamat, Van." Devan yang melihat itu,
langsung memeluk sahabatnya. Mendekapnya erat. Pandangannya mulai kabur.
Bulir air telah menetes dari matanya.
"Lu
nangis, Van. Cengeng. Cepetan hapus. Gue nggak perlu dikasihani. Gue
akan buktiin gue bisa bertahan hidup tanpa harus menjual kekurangan gue
dengan meminta-minta di pinggir jalan." Devan melepaskan pelukannya.
"Siapa juga yang nangis, gue abis nguap tau!" Kaisar tertawa. Devan
tertawa. Tak tahu apa yang mereka tertawakan, barangkali mereka sedang
menertawakan hidup yang sedang mereka jalani. "Lu ambil gitar gih! Kita
nyanyi lagu barunya Bondan, yuk!"
I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
I will survive, I will revive
Getting stronger to stay alive
Kau berikan aku kekuatan
Tuk lewati semua ini
"STOP!"
Teriakan Kaisar sekali lagi mengagetkan Devan. "Izinkan gue nyanyi
bagian terakhir ini sendiri. Dunia harus tahu kalau gue lebih besar dari
hidup. Gue yang mengendalikan hidup. Dan untuk Dia Yang Mengendalikan
Semua, Sang Maha Dalang Pemilik Skenario Sempurna, gue mau berterima
kasih padaNya. Dialah alasan terbesar gue untuk terus bertahan." Devan
mengangguk dan tersenyum bahagia. Sahabatnya telah menemukan lagi
kepingan dari dirinya sendiri yang sempat hilang.
I will survive, I will revive
Getting bigger, bigger than life
Engkau Yang Esa, Yang Perkasa
You give me reason to survive.
Salam,
@AriOtnaigus :)
*Pernah di ikutkan lomba disini, tapi kalah. :p