Jangan
pernah meremehkan cita-cita dan tekad kalian. Yang aku tahu, orang yang
paling kecewa adalah yang kandas cita-citanya. (Umar bin Khattab)
"Ini beda kasus, Dir. Kamu berbakat gambar. Dan arsitek adalah pilihan yang tepat untuk lu." Branta menghembuskan nafas panjang. "Maaf, Ta. Menjadi arsitek bukanlah sekadar pilihan. Ini panggilan hati gue, mimpi gue. Seperti halnya lu dan mimpi menjadi penulis."
Branta menatap paketan beramplop coklat, kemudian membuang mukanya dengan raut kecewa yang mendalam. "Realistis aja lah, Dir. Gue nggak berbakat. Itu yang terakhir." Dira terperanjat dari duduknya, tak percaya kalimat itu akan muncul dari mulut seorang Branta yang sangat mencintai dunia menulis.
"Lu tahu, kan? J.K. Rowling dengan Harry Potternya mengalami sepuluh kali penolakan dari penerbit sebelum diterbitkan oleh penerbit yang kesebelas. Sementara lu, ini baru yang ketiga kali. Lu hanya belum berjodoh. Pecayalah, waktu tak akan mengkhianati lu." Branta mengangkat bahunya. "Gue sudah lelah menunggu, Dir."
"Terserah lu aja lah. Sejak tadi lu hanya sibuk mencari alasan. Seharusnya pikirkan bagaimana caranya agar mimpi lu bisa terwujud. Lu bukan lagi Branta, sahabat gue yang gue kenal delapan tahun yang lalu." Branta hanya bisa diam melihat Dira yang semakin berjalan menjauh meninggalkannya sendiri.
***
Ada
keraguan ketika tangan itu hendak mengetuk pintu. Dua bulan sejak
kejadian waktu itu membuat keduanya asing. Tak pernah lagi bertemu, tak
ada kabar dari masing-masing. Akhirnya setelah menguatkan hatinya,
Branta memberanikan diri mengetuk pintu rumah Dira.
"Masuk,
Ta. Ada apa?" Branta hanya mengangguk pelan. "Gue butuh bantuan lu,
Dir." Dira menangkap masalah yang serius di wajah sahabatnya. "Gue mau
pinjem uang sama lu. Adik gue harus operasi usus buntu besok." Branta
menunduk lesu. "Niken?" Branta mengangguk lemah. Dira nampak berpikir.
"Baiklah. Tapi ada syaratnya. Lu harus menyerahkan dua puluh cerpen ke
gue. Setiap minggunya satu cerpen." Mata Branta membelalak. Tak
menyangka dengan syarat yang diajukan Dira. Seolah tak ada pilihan,
Branta akhirnya mengaku kalah pada Dira lewat anggukannya. "Deal." Dira
menawarkan tangannya. Branta menyambutnya ragu-ragu.
***
Operasi
Niken berhasil. Namun, kesepakatannya dengan Dira harus dilaksanakan.
Setiap Minggu, Branta harus mengantarkan cerpennya ke rumah Dira. Hanya
mengirim, tak lebih. Dua sahabat itu tak lagi seperti dulu. Tak ada lagi
gelak tawa yang membunuh sepi diantara mereka. Tak ada lagi curhat
konyol untuk meringkas panjangnya malam. Branta masih tak percaya Dira
akan memberikan syarat layaknya deadline yang harus dipenuhi. Yang
paling membuat Branta kesal adalah dia harus bersahabat lagi dengan
menulis. Dunia yang sudah ingin dia lupakan, dia tinggalkan.
"Ini
yang terakhir. Sudah dua puluh, kan? Hutang gue ke elu sudah lunas.
Terima kasih." Branta menyerahkan dua lembar kertas folio kepada Dira.
"Oke." Dira menerimanya dengan tersenyum.
***
Tak
terasa sudah hampir satu tahun Dira tak mengunjungi tempat ini. Tempat
yang dulu sering digunakan nongkrong sambil genjreng-genjreng gitar
dengan Branta. Rumah Branta, tepatnya depan warung milik ibunya Branta.
Dira melihat sahabatnya itu sedang asyik membaca buku di depan warung
sehingga tak menyadari kalau dirinya sudah berdiri beberapa meter di
depannya. Yang membuat Dira senang, ternyata Branta yang katanya sudah
tak mau menulis lagi masih suka baca. Setidaknya dia tak meninggalkan
dunia menulis sama sekali.
"Baca apaan sih? Asyik bener." Branta terperanjat dari duduknya. "Eh, elu Dir. Apa kabar?"
Dira
hanya tersenyum sambil mengambil posisi duduk di samping Branta. "Ada
yang mau gue kasih ke elu. Nih." Dira menyodorkan amplop coklat. Dengan
ragu Branta menerimanya dan perlahan membukanya. Branta membelalak
setelah membaca isi surat itu. Tak percaya, dengan pelan dan hati-hati
dia mengulanginya. Seolah masih mengharapkan kejelasan, dia menoleh ke
arah Dira.
"Ini?"
"Iya, Ta."
"Jadi selama ini?"
"Iya.
Cerpen yang lu kirim tiap minggu ke gue, gue jadiin naskah kumcer dan
gue kirim ke penerbit. Dan ternyata naskah itu diterima dan akan
dibukukan bulan depan. Selamat ya." Dira tersenyum lebar.
Tak
tahu apa yang harus diperbuat, akhirnya Branta memeluk Dira erat.
"Makasih, Dir. Makasih banget." Dira menepuk-tepuk punggung Branta.
"Sory ya waktu itu gue ninggalin lu. Mungkin waktu itu lu kecewa sama
diri lu sendiri. Tapi gue lebih kecewa sama lu yang menyerah pada hidup,
Ta." Branta tak tahu harus berkata apa lagi selain maaf. "Gue yang
harusnya minta maaf, Dir. Sory banget ya."
"Pelukan
ini bisa dilepasin nggak? Bau badan lu nggak enak." Dira tertawa lebar.
Buru-buru Branta melepaskan pelukannya. "Sialan lu." Branta ikut
tertawa. Kedua sahabat itu sudah menemukan lagi keping yang hilang
diantara mereka.
"Ta,
mimpi itu harus dikejar. Harus diwujudkan. Sebagai bentuk
pertanggungjawaban lu pada mimpi lu. Berani bermimpi, berani bertanggung
jawab."
"Siap komandan." Branta mengambil posisi hormat.
"Lebay
lu ah. Lagian sejak kapan aba-aba siap ada gerakan hormatnya." Branta
hanya nyengir. "Nggak ada perayaan nih?" Dira mengangkat alisnya. "Oke."
Branta mengambil dua minuman botol dan sebungkus besar kacang kulit
dari warung ibunya.
Salam,
@AriOtnaigus :)
*Pernah di ikutkan lomba menulis disini, tapi kalah. :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar