Jumat, 01 Agustus 2014

Kumenangkan Hatimu

Mahkota memang tak menghias kepalaku. Medali tak menggantung di leherku. Terlebih lagi, tubuhmu tak bisa kugenggam kemudian kuangkat tinggi-tinggi layaknya sebuah piala yang berhak diperoleh pemenang dalam sebuah pertandingan. Namun di akhir pertemuan ini, tanganku tetap mampu mengisi dan melengkapi kekosongan ruas-ruas jarimu dengan sempurna, meski ada sesuatu yang melingkar di jari manismu yang memaksa kita untuk saling melepaskan.

"Aku harus pergi. Mungkin tidak untuk selamanya. Tapi hati kita tak mungkin lagi berpelukan."

"Berbahagialah. Aku baik-baik saja."

"Percayalah. Namamu akan selalu kusebut dalam doaku."

"Terima kasih."

"Cepat nyusul, ya."

Sebuah senyuman sempat terlukis di wajah kita sebelum kamu mengakhiri pertemuan ini dengan lambaian tangan yang bagiku sesungguhnya tak cukup untuk mewakili salam perpisahan. Hanya air mata yang mampu mengiringi langkahmu yang semakin jauh meninggalkanku. Namun, itu tak lama. Segera kuhapus air mataku ketika aku menyadari bahwa kamu juga meninggalkan jejak air mata di setiap jengkal langkahmu. Langkahmu sudah sangat berat. Betapa bodoh dan egoisnya aku yang semakin memperberat langkahmu dengan tak merelakan kepergianmu.

Sejujurnya, aku sedang tak baik-baik saja ketika kamu menyampaikan kabar ini. Tapi, aku sedang berjuang untuk baik-baik saja untuk menerima kenyataan ini. Ya, aku telah memenangkan hatimu ketika kamu berkata akan menyebut namaku di dalam doamu. Aku juga akan mendoakanmu. Semoga kamu selalu bahagia, meskipun bukan aku yang membahagiakanmu.



Salam,
@AriOtnaigus