Senin, 02 Maret 2015

Catatan Kecil Tentang Supernova #5: Gelombang ~ Dee Lestari

Saya memang cukup terlambat mengenal karya-karya Dee, namun beruntungnya, sekarang saya telah memiliki dan membaca semua bukunya. Buku pertama Dee yang saya baca adalah Filosofi Kopi. Saat baca buku kumpulan cerita tersebut saya dibuat 'misuh-misuh' nggak jelas karena gaya bercerita, pemilihan kata dan alur yang Dee sajikan sangat memukau saya. Gelombang sendiri merupakan buku kesembilan dari Dewi "Dee" Lestari dan seri kelima dari enam seri Supernova yang direncanakan. Barangkali, yang saya tulis disini nanti bukan tentang Gelombang, melainkan sebuah catatan setelah selesai membaca Gelombang.

Seri Supernova sengaja saya baca setelah empat buku lainnya, Filosofi Kopi, Madre, Rectoverso dan Perahu Kertas agar saya tidak terlalu kesulitan mengikuti jalan ceritanya. Sejujurnya, awal baca seri pertama Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh saya cukup tersengal menangkap maksud Dee di buku itu. Entah bukunya yang terlalu berat bagi saya atau memang sayanya yang terlalu bodoh untuk mengerti. Bahkan, pertama kali baca buku seri pertama tersebut, saya banyak melewatkan catatan kaki tentang istilah-istilah ilimiahnya. Kemudian saya mencoba untuk lebih bersabar membacanya di kesempatan kedua. Saya mencoba menahan penat, dan ternyata memang buku itu 'gila'. Sentuhan Dee benar-benar membuat saya kagum. Hingga di seri Supernova berikutnya, Akar, Petir, Partikel dan yang terbaru Gelombang, kekaguman saya akan karya-karya Dee tak pernah luntur.

Kelahiran Gelombang tentu saja sudah sangat dinantikan oleh penggemar Supernova, termasuk saya. Sama seperti tiga seri Supernova sebelumnya (Akar, Petir dan Partikel), Gelombang juga memakai sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama. Jika di Akar, Dee memunculkan sosok Bodhi Liong, di Petir kita diperkenalkan pada Elektra Wijaya dan di Partikel melahirkan seorang Zarah Amala sebagai tokoh sentral di masing-masing bukunya, maka di Gelombang kita diajak untuk berpetualang di kisah hidup Alfa Sagala. Keempat seri itu menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Hal ini karena Dee bercerita berdasarkan karakter tokoh utama yang dia ciptakan. Sehingga dengan mudah kita dapat mengenali karakter tokoh utamanya melalui gaya penulisan Dee, tanpa harus dijelaskan panjang kali lebar yang sama dengan luas (hehehe.. ;p). Sebuah pengenalan yang cukup menarik bagi saya. Tapi bukan berarti ciri khas seorang Dee hilang begitu saja. Dalam seri Supernova pula, saya diajak menyapa banyak bahasa selain bahasa yang lekat dengan saya, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Mulai dari bahasa daerah di Indonesia seperti bahasa Sunda dan Batak sampai bahasa luar negeri seperti Inggris dan Spanyol.

Sebetulnya setiap buku mempunyai kekuatannya sendiri-sendiri dan tak layak untuk dibanding-bandingkan. Namun sayangnya, susah sekali untuk tidak menilai tanpa membandingkan. Dibandingkan dengan seri Supernova lainnya, Gelombang termasuk yang 'ringan'. Kalau boleh mengurutkan dari yang paling 'ringan', saya akan menempatkan Gelombang di bawah Petir. Menurut saya, urutannya Petir, Gelombang, Akar, Partikel dan yang paling 'berat' KPBJ. Disamping kita bisa melihat kecerdasan Dee, di setiap serinya kita juga bisa dibuat tersenyum, mungkin juga sampai tertawa dengan komedi ala Dee. Walaupun tak sekonyol dan sebanyak di Petir, tapi sisi Dee yang satu itu saya temukan di Gelombang ketika baru membaca nukilannya. Satu hal yang membekas di ingatan saya, yang membuat saya tergelitik adalah kesemena-menaan Dee dalam menamai saudara-saudara tokoh utamanya. Di Petir, tokoh utama dinamai Elektra, nama yang keren menurut saya. Tapi kakaknya dinamai dengan nama yang seperti 'asal comot', Watti dengan dua huruf 't'. Sementara di Gelombang, meskipun tokoh utama dan saudara-saudaranya dinamai dengan nama yang lucu-lucu karena diceritakan salah dalam penulisan di akta dan mendapatkan nama panggilan Ichon, namun akhirnya namanya menjadi Alfa Sagala, nama yang juga keren menurut saya. Hal-hal jenaka yang terlihat sederhana seperti itu sepertinya sebenarnya dipikirkan serius oleh Dee.

Selalu ada sesuatu yang baru dan menarik yang saya temukan di setiap seri Supernova. Menurut Dee sendiri, apa yang dia sampaikan di buku semuanya melalui riset. Menurut saya, dia melakukannya bukan hanya karena kebutuhan cerita, namun ketertarikan pribadinya pada apa-apa yang ingin ia tulis. Lalu dari ketertarikannya itu, dia mencoba mengemas ulang untuk dibagikan kepada pembacannya secara menarik pula. Dalam buku Gelombang, yang paling sering dibicarakan pembaca adalah tentang mimpi sadar. Sejujurnya, saya pribadi termasuk yang jarang sekali bermimpi ketika tidur. Tapi dari buku ini, saya mendapatkan pengetahuan baru tentang dimensi lain yang bernama alam mimpi yang sebenarnya bisa kita 'kendalikan'.

Dari segi cerita Supernova, teka-teki dan misteri yang selama ini ada di benak pembaca mulai menemukan jalan terangnya melalui Gelombang. Di buku ini, saya mulai menebak-nebak jalan ceritanya. Tapi bukan Dee namanya jika dia cuma menjawab pertanyaan dan penasaran pembaca. Disaat sebagian pertanyaan dan penasaran telah terjawab, pertanyaan dan penasaran baru justru  bagai jamur di musim penghujan, tumbuh subur, muncul semakin banyak di kepala, mengantri untuk menemui jawabannya. Kejutan juga dihadirkan Dee disini, yang cukup mengagetkan saya adalah ketika Gio yang pada awal kemunculannya di KPBJ hanya diceritakan 'sepintas' ternyata justru menjadi salah satu bagian tokoh penting di cerita ini kedepannya.

Dee memang membebaskan pembacanya untuk berimajinasi dan menginterpretasikan tulisannya. Yang saya tangkap, Supernova bercerita tentang 'pencarian'. Perjalanan spiritual yang dalam hal ini membahas sesuatu yang cukup sensitif untuk dibicarakan di tengah masyarakat saat ini, yaitu agama. Barangkali saja, yang dimaksudkan Dee adalah jangan menuhankan agama. Agama adalah pilihan dan urusan personal dengan Tuhannya. Kita sudah terlalu banyak mengabaikan sekitar. Mungkin saja, Dee ingin mengajak untuk berbuat baik dan lebih peduli, karena setahu saya, kebaikan tak pernah memandang agamanya apa. Saya salut dengan keberanian Dee disini. Dibutuhkan keteguhan hati dan pemahaman yang lebih untuk menuliskannya dalam buku, karena untuk menuliskan hal ini saja, sempat ada ketakutan dan keraguan di diri saya.

Sempat berimajinasi bercakap-cakap dengan Mbak Dee seperti di buku Gelombang halaman 112-113. Percakapan antara Bapaktua dengan Ichon.

  "Aku tahu kau pintar, tapi jangan terlalu pintar. Sakit hati nanti kau."
  "Kenapa memangnya, Bapaktua?"
  "Kau tahu pekerjaan paling menyiksa dalam hidup ini? Menunggu. Kalau kau terlalu pintar, kau jadi harus tunggu orang-orang bodoh. Kau sudah di mana, mereka masih kepayahan lari di belakang. Ikut capek kita."
  Aku terkekeh. "Kalau begitu, jalan keluarnya memang bukan menunggu, Bapaktua. Kita harus lari sendiri. Tak usah tunggu yang lain."

Saya ingin bilang ke Mbak Dee, jangan terlalu pintar, saya cukup kelelahan mengejar ketertinggalan. Tapi barangkali saja, jawaban Mbak Dee sama seperti jawaban Ichon diatas. Hehehe..

Diluar itu semua, saya sangat menantikan kehadiran seri Supernova terakhir, Intelegensi Embun Pagi di ruang baca saya untuk menggenapkan kepingan-kepingan puzzle Supernova yang masih berserakan ini menjadi satu rangkaian cerita utuh. Saya sudah tidak sabar menunggu kejutan-kejutan yang lahir dari buah pemikiran dan goresan tangan seorang Dewi Lestari. Untuk penutup catatan saya ini, saya ingin mengutip puisi indah yang ada di awal halaman buku ini. Puisi-puisi ini menjadi ciri khas dari buku Supernova, selalu ada di halawan awal. Mungkin juga menjadi salah satu yang ditunggu di episode Supernova berikutnya. Tapi ada yang berbeda di puisi Gelombang kali ini dengan puisi-puisi di seri Supernova lainnya. Entah sengaja atau lupa, tidak ada tulisan kecil dalam tanda kurung di kanan bawah puisi, sebuah catatan yang sedikit konyol. Hahaha... :)

Dimensi tak terbilang dan tak terjelang
Engkaulah ketunggalan sebelum meledaknya segala percabangan
Bersatu denganmu menjadikan aku mata semesta
Berpisah menjadikan aku tanya dan engkau jawabnya
Berdua kita berkejaran tanpa pernah lagi bersua

Mencecapmu lewat mimpi
Terjauh yang sanggup kujalani
Meski hanya satu malam dari ribuan malam
Sekejap bersamamu menjadi tujuan peraduanku
Sekali mengenalimu menjadi tujuan hidupku

Selapis kelopak mata membatasi aku dan engkau
Setiap napas mendekatkan sekaligus menjauhkan kita
Engkau membuatku putus asa dan mencinta
Pada saat yang sama



Salam,
@AriOtnaigus

1 komentar: