Rabu, 25 Februari 2015

Aku Pulang

"Tok..tok..tok..!"

Pintu rumah terketuk. Sebagai tanda bahwa ada tamu yang berkunjung. Jawaban yang akan diberikan rumah bergantung dengan tuannya. Tapi bagaimana jika tamunya ini adalah tuannya sendiri. Padahal kunci rumah ada di sakunya, namun kenapa harus mengetuk pintu segala.

Ternyata sudah lama rumah ini kosong tak dihuni. Tuannya sedang bertamu ke rumah orang, berpetualang demi mengejar 'pengalaman baru'. Sekaligus berusaha mencari jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaannya yang selama ini mengambang di udara, masih meraba-raba jawaban yang sekiranya bisa melegakan perasaannya. Namun memang benar adanya, setiap kepergian selalu merindukan kepulangan. Dan rumah selalu menunggu, bersedia membukakan pintunya kapanpun itu. Bahkan, jika tuannya ternyata melupakan jalan pulangnya, dia akan selalu setia menanti seiring usia yang terus menggerogoti. Meskipun hanya berteman dengan waktu dan bersahabat dengan sepi, dia tak akan pernah mengeluh. Memilih untuk menyesapinya sendiri. Barangkali saja.

"Klik.. Klik.."

Kunci diputar dua kali. Perlahan dan penuh kehati-hatian. Gagang pintu didorong sambil mengucap salam. Sempat melintas keraguan di benaknya sebelum akhirnya tuannya mulai melangkahkan kakinya. Bola matanya langsung berkeliling dari sudut satu ke sudut lainnya. Semuanya masih sama, tak ada yang berubah. Tapi entah kenapa terasa asing. Rasa bersalah segera merambati tuannya. Kemudian disusul hujaman kenangan-kenangan masa lalu yang kini hanya mampu ia baca. Banyak sesuatu yang terlewatkan yang seharusnya bisa dia lakukan disini, di rumahnya sendiri. Namun tak mengapa, ada banyak hal baru juga yang dia peroleh di luar.

Tepat ketika dia selesai memutar kembali rekaman kenangan-kenangan masa lalunya, tubuhnya melemas, ambruk bersama ranselnya yang berisi oleh-oleh berupa pelajaran tentang hidup. Bertumpu pada kedua lututnya, dia bergumam. Mungkin merapalkan doa-doa dan mengucap syukur. Tanpa disadarinya, dua bulir air telah mengintip di ujung dalam matanya. Sedetik kemudian, dua tanda aliran air telah terukir di kedua pipinya.

Tak ingin berlama-lama membiarkan pipinya basah, dia mengusap air matanya. Lalu tersenyum sembari membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Menurutnya, begitulah cara sederhana untuk memeluk hidup yang kadang berjalan tak selalu seperti yang diharapkan. Dia telah siap merangkul rumahnya untuk diajak lagi mengisi lembaran-lembaran kosong kedepannya. Kertas putih tak selamanya menarik, setidaknya itu yang ia yakini. Dia harus meninggalkan tulisan disini. Coretan menunjukkan bahwa dia masih hidup. Catatan akan bercerita untuk sepuluh tahun kedepan, dua puluh tahun ke depan atau sampai batas waktu yang tak pernah diketahui kapan akan berakhirnya mendatang, bahwa ada yang pernah hidup disini. Meninggalkan jejak kaki untuk generasinya. Dan sangat berharap, sejarah tak akan melupakannya.


Salam,
@AriOtnaigus