Sabtu, 04 April 2015

Saya, Dewi Lestari dan #DeesCoachingClinic Surabaya

Dewi 'DEE' Lestari

Dream come true, seperti itulah kira-kira. Menjadi salah satu peserta Dee's Coaching Clinic Surabaya merupakan keberuntungan sekaligus mimpi yang mewujud bagi saya. Dewi 'Dee' Lestari adalah satu dari dua penulis favorit saya. Satu lainnya adalah Fahd Pahdepie. Jangan tanya alasannya apa, karena saya juga tidak tahu. Tapi barangkali lebih tepatnya, menyukai kadang tak perlu alasan, bukan? :)

Dewi Lestari adalah nama yang sudah tidak asing di telinga saya sejak saya masih di Sekolah Dasar. Bahkan gambarnya bersama dua rekannya, Rida dan Sita yang dulu tergabung dalam grup vokal RSD sempat terpajang di kamar kakak saya. Namun, baru di tahun 2013 lah saya bersentuhan langsung dengan karya-karyanya. Tapi bukan berarti dalam rentang waktu tersebut saya tidak tahu buku-buku yang telah dilahirkan Dee.

Dulu, ketertarikan saya pada buku-buku Dee baru sebatas 'memegang, membolak-balik, membaca ringkasan di belakangnya kemudian mengembalikan buku itu ke tempatnya semula' ketika ke toko buku. Apalagi harga buku-bukunya Dee relatif 'berat' untuk saku saya saat itu. Dari ketertarikan yang seperti itu yang berulang sekian lama, akhirnya memunculkan bibit penasaran yang terus tumbuh. Penasaran itu kemudian terakumulasi hingga meledakkan kenekadan saya untuk menyobek salah satu kemasan plastik buku seri pertama Supernova, KPBJ dan mulai membolak-balik halaman demi halamannya. Sebenarnya kesan pertama saya pada buku itu adalah 'bingung'. Tapi dari kesan itulah justru yang mendorong saya untuk membelinya, ingin mencoba memahaminya lebih mendalam.

Tapi hati saya sulit ditebak (begitu kata orang-orang terdekat saya), termasuk saya sendiri. Setelah berputar-putar di toko buku dengan KPBJ tergamit di tangan kanan, langkahku terhenti di rak sastra, mataku tersedot pada buku Dee lainnya, Filosofi Kopi. Entah energi apa yang menggerakkan tangan kiriku waktu itu untuk mengambil buku itu, lalu memandangi keduanya beberapa saat. Beberapa detik kemudian, saya kembali ke rak dimana KPBJ ditempatkan untuk mengembalikannya. Lalu menuju kasir bersama Filosofi Kopi. Mungkin pertimbangan saya waktu itu karena Filosofi Kopi lebih tipis dan harganya lebih murah dari KPBJ. Haha.. ^_^v

Filosofi Kopi membawa saya dalam rimba aksara yang menakjubkan. Tulisan-tulisan Dee disitu mampu membius saya, menenggelamkan saya pada rangkaian-rangkaian kata indahnya yang menjelma menjadi candu. Ketagihan pada goresan tangan Dee membuat saya ingin mengunyah segala tulisan yang telah dihasilkannya. Buku Dee berikutnya yang saya beli adalah Madre, Rectoverso dan Perahu Kertas. Seri Supernova saya beli dan baca secara berurutan setelah keempat buku tersebut, KPBJ, Akar, Petir dan Partikel. Setelah semuanya selesai, saya menasbihkan diri sebagai salah satu 'adDEEction' yang menantikan kelahiran Gelombang. Mungkin benar, setiap buku akan menemui pembacanya dengan caranya sendiri. Dan begitulah cara buku-buku Dee menyapa saya, memanggil-manggil saya untuk menjamahnya.

Barang yang selamanya akan saya simpan. :)
Ketika Gelombang terbit, saya sudah bertekad, buku-buku saya harus ditandatangani Dee dan saya harus melihatnya secara langsung. Perasaan gembira langsung memenuhi hati ketika Surabaya terpilih menjadi salah satu kota yang akan dikunjungi dalam tour promo Gelombang. Tapi, tour kali ini dikemas secara berbeda karena Dee ingin mengadakan coaching clinic. Perasaan kian membuncah, tak hanya bisa bertemu langsung dengannya, tapi sekaligus bisa menimba ilmu menulis darinya. Sebuah kesempatan yang sangat berharga. Namun untuk bisa mengikuti acara tersebut, syaratnya harus membuat review Gelombang dan hanya disediakan dua puluh tempat saja untuk reviewer terbaik. Cukup kesulitan sebenarnya, karena saya sudah lama sekali tidak me-review buku, tapi keinginan saya sudah bulat, satu kursi tersebut harus menjadi milik saya.

Keinginan saya terkabul, saya menjadi satu dari dua puluh orang beruntung yang terpilih. Sangat senang, namun berbuntut minder ketika mencoba mencari tahu latar belakang calon rekan-rekan saya kala itu. Ada beberapa yang sudah pernah menerbitkan buku, ada pendiri komunitas menulis dan blogger. Sementara saya datang dengan pengetahuan yang sangat awam dalam hal menulis. Tapi saya putuskan untuk tetap hadir karena rasa penasaran saya lebih besar, mengalahkan rasa minder saya. Kesempatan yang luar biasa ini harus saya manfaatkan sebaik-baiknya.

Coaching clinic diadakan pada 29 Maret 2015 di Perpustakaan BI Surabaya (pertama kalinya saya ke perpustakaan kota.. :p). Acara tersebut dimulai sekitar jam sembilan pagi. Dee memulai menyalurkan ilmunya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan peserta lewat e-mail beberapa hari sebelumnya. Berikut saya tuliskan hasil dari Dee's Coaching Clinic berdasarkan apa yang ditangkap oleh indra pendengaran saya yang kemudian saya coba rangkum, karena sebetulnya apa yang Dee tulis di papan waktu itu tak dapat saya lihat dari tempat saya duduk. Hehe..

Menurut Dee, syarat untuk menjadi penulis ada empat :

1. Berpikir kreatif
Selama ini, yang terjadi adalah kesalahan dalam mengartikan berpikir kreatif. Berpikir kreatif bukan membuat cerita yang lain dari yang lain, karena hal tersebut tidak ada. Berpikir kreatif adalah memperluas medan kesadaran kita, menjadi sesuatu yang bukan kita. Seorang penulis harus bisa melihat sesuatu dengan kacamata lain, membuat yang abstrak menjadi konkret. Dan modal utama penulis adalah observasi. Penulis yang baik harus menjadi pengamat yang baik, karena segalanya unik dan menarik di mata penulis.

2. Tekun berlatih
Menulis adalah 'otot'. Otot akan terbentuk bagus jika terus dilatih. Carilah sarana yang paling mudah untuk melatih 'otot' tersebut, seperti blog barangkali.

3. Tahu buku yang ingin ditulis (yang paling ingin dibaca BANGET)
Inilah yang menjadi semacam kunci bagi saya pribadi untuk membuka pintu kesadaran menulis saya. Selama ini, saya terlalu pusing dengan apa komentar orang tentang tulisan saya nanti yang membuat saya sering gagal merampungkan tulisan saya. Carilah tema yang 'greget', yang disuka, yang diminati. Menulis sendiri adalah proses menggali. Yang digali adalah sesuatu yang bukan unik dari penulis. Mencari suara unik tersebut ibarat gatal yang tak kunjung reda, yang selalu menarik kita untuk terus menggaruknya.

4. Deadline
Adanya deadline sangat membantu penulis untuk fokus pada tulisan yang ingin diselesaikannya. Penulis harus bisa berdistraksi dengan ide yang 'mencari perhatian'. Sahabati ide-ide yang mengusik itu, beri ruang dan tampung ide tersebut dalam 'celengan' ide.

Kemudian Dee membahas masalah riset. Pertajam penggunaan panca indera. Dee menyarankan untuk menggunakan indra penciuman yang masih jarang digunakan saat ini, namun mempunyai kesan yang kuat di imajinasi pembaca. Untuk membuat cerita yang baik, buatlah cerita fiksi dengan sedikit fakta. Beri ruang untuk pembaca berimajinasi. Sedikit deskripsi tapi kreatif. Kemudian seimbangkan antara narasi dan dialog. Narasi berfungsi untuk melambatkan cerita dan dialog berfungsi untuk mempercepat/melancarkan cerita. Riset sendiri ada empat macam :
  1. Riset pustaka
  2. Riset internet
  3. Wawancara
  4. Datang langsung
Hal berikutnya yang dibahas adalah struktur. Dee menjelaskan besarnya manfaat pemetaan. Sebenarnya untuk hal ini lebih mudah dijelaskan dalam bagan seperti yang dilakukan Dee, tapi karena saya tidak bisa membuat bagan itu, saya akan mencoba menjelaskannya dalam bentuk kalimat-kalimat semampu saya. Membuat novel ibarat menyeberang dari pulau A ke pulau B. Untuk memudahkan dalam menyeberang pulau tersebut dibutuhkan pulau-pulau transisi. Bagi cerita dalam tiga babak, 1, 2 dan 3. Untuk babak kedua bagi lagi menjadi 2 bagian, 2a dan 2b, karena di bagian 2 inilah biasanya banyak sekali yang gagal, kehabisan tenaga karena kekomplekan cerita ada di bagian ini.

Di babak 1 berisi tentang pengenalan (tokoh, setting dan lainnya). Babak 2a adalah ketika tokoh utama terlempar dari zona nyamannya dan konflik mulai memuncak. Dalam babak 2b terjadi 'pertikaian' dalam diri tokoh utama dan babak 3 konflik turun (menjawab pertanyaan-pertanyaan). Satuan terkecil dari cerita adalah adegan. Tulis ide dalam adegan-adegan, agar menulis tidak terasa berat karena tinggal menggabungkan adegan-adegan tersebut. Perjalanan cerita adalah perjalanan karakter, menemukan apa yang tokoh utama inginkan. Dan cerita bisa mengalir karena adanya sebab-akibat. Dee juga memperkenalkan tehnik 'ciprat-ciprat', yaitu lompati dulu kebuntuan.

Lalu Dee mengajarkan kami dalam menciptakan karakter. Karakter berfungsi sebagai 'kuli', bukan menjalankan cerita. Karakter yang hidup harus punya kebiasaan, punya keistimewaan tapi juga perlu punya kelemahan. Dia harus beraksi, bukan korban keadaan. Dan karakter yang loveable adalah dia harus berkorban.

Dee juga memberikan tips tentang naskah yang bagus. Naskah yang bagus menurut dia harus rapi. Kemudian beri perhatian khusus pada halaman pertama (buku) ataupun paragraf pertama (artikel). Buang basa-basi di bagian itu.

Beauty and the beast. ;p
Begitulah hasil rangkuman yang saya dapatkan dari Dee's Coaching Clinic kemarin. Sebuah pelajaran menulis yang sangat berharga bagi saya. Di akhir acara sebenarnya ingin sekali menodong Dee untuk bernyanyi, tapi karena waktu sudah menjelang jam satu siang dan acara akan dilanjutkan dengan signing book, keinginan tersebut saya urungkan karena banyak sekali buku yang harus ditandatangani Dee. Empat jam yang berlalu, terasa begitu singkat. Hehe.. :p

Antrian panjang langsung mengular untuk mendapatkan tanda tangan Dee di bukunya masing-masing. Setelah tiba giliranku, seperti ada yang menjentik di hatiku. Inilah salah satu mimpiku yang terwujud itu, melihat Dee menandatangani langsung buku-bukuku. Setelah selesai, Dee bilang "Ari, pertanyaan-pertanyaan kamu bagus-bagus tadi.". Seketika tubuhku ingin melayang mendengarnya. Entah hanya sekadar basa-basi atau tidak, saya menganggapnya sebagai pujian. Dan keluar dari mulut seorang Dewi Lestari adalah penghargaan yang sangat besar bagi saya. Padahal, awalnya saya mengira pertanyaan-pertanyaan saya konyol dan tak layak jawab karena di awal-awal, pertanyaan saya tak ada yang dibacakan Dee. Saat itu rasanya saya seperti tak dianggap keberadaannya. Namun, menjelang tengah acara pertanyaan-pertanyaan saya dibacakan dan dijawab oleh Dee. Beruntungnya apa yang saya tanyakan, semuanya dijawab oleh Dee dengan pembahasan yang mendetail seperti yang sudah saya jabarkan diatas. Dan, saya sangat puas. Terima kasih Dee Lestari. Terima kasih Bentang Pustaka. Terima kasih teman-teman semua yang telah terlibat dalam acara ini, yang telah memberikan warna lain di hari Minggu saya waktu itu. Sebuah pengalaman yang sangat berharga dan tentunya tak akan pernah saya lupakan. :)


Orang-orang hebat. Senang menjadi bagian ini bersama kalian. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan. Cheers! ^_^v


Salam,
@AriOtnaigus ;p