Minggu, 24 Mei 2015

Punggung

Keadaan seperti ini, aku sangat menyukainya. Ketika kamu sedang berhias di depan cermin dan membelakangiku. Tapi, bukan juga. Bukan disaat kamu sedang mempercantik diri saja, namun ketika selalu ada kesempatan buatku menatap punggungmu. Tak pernah ada rasa bosan barang sedetik saja meski sudah berlama-lama aku memandanginya. Aku justru sangat menikmatinya. Bukan karena kagum, barangkali karena dengan begitu aku bisa memutar waktu ke kenangan itu.

Tidak ada yang istimewa dengan punggungmu. Tidak kokoh. Tidak juga indah. Biasa saja, sama seperti punggung-punggung wanita lainnya. Tapi karena waktu itu hanya sejauh itulah yang aku mampu, mengagumimu dari jauh. Tak cukup keberanianku saat itu untuk mengajakmu berkenalan. Mataku terlalu pengecut, takut memandangimu ketika kita berhadapan. Namun ketika kamu sudah melewatiku, aku segera mencarimu. Dan ketika mataku ini berhasil menemukanmu, yang aku dapatkan adalah punggungmu yang semakin menjauh pergi. Begitu seterusnya, menatap lekat punggungmu sembari berharap datangnya keberanian untuk beradu mata denganmu.

Hingga di satu hari, saat aku berjalan di belakangmu seperti biasanya. Punggung itu tiba-tiba berbalik. Berganti mata yang sedang mencari lawan. Memalukan sekali, lawan yang dicari itu gelagaban, namun akhirnya kedua mata itu bertemu juga untuk pertama kalinya. Dilanjutkan dengan senyum dan tawaran jabat tangan, diri yang belum siap ini menyambut tawaran itu dengan salah tingkah. Kemudian kita saling menyebutkan nama. Ternyata kamu sudah cukup lama juga memperhatikanku yang selalu memandangi punggungmu. Itulah kenangan di masa putih abu-abu kita.

Selanjutnya, tak mudah bagiku untuk menghilangkan kebiasaan memandangi punggungmu. Kebiasaan itu telah menjadi candu. Meski tubuhmu sudah bisa kupeluk dan aku bisa leluasa berjalan disampingmu sembari menggandeng tanganmu erat, aku tetap merindukan masa dimana aku menatap punggungmu. Maka tak jarang aku berjalan di belakangmu, membiarkan langkah dan mataku mengikuti kemanapun kamu akan membawa punggungmu berjalan. Ternyata kamu mengerti dan tidak merasa keberatan.

Dan disaat kita telah sepakat untuk saling mengikatkan diri, aku telah berjanji pada diri sendiri. Janji itu terucap di dalam hati disaat kamu tidur memunggungiku. Kuusap punggungmu perlahan, "Aku akan tetap mencintai punggung ini meski nantinya akan bungkuk atau bahkan berlubang sekalipun. Aku tak akan pernah bosan untuk memandanginya." Kamu berbalik perlahan dan tersenyum. Dan aku seperti mendapatkan dua kemenangan. Beradu mesra dengan matamu dan mengelus-elus lembut punggungmu.


Untuk pemilik punggung yang selalu kupandangi. ;p



Salam,
@AriOtnaigus