Jumat, 27 November 2015

Salah Saya Apa, Yang Mulia?

Benarkah sudah terlambat?

Disaat tangan ini menawarkan pertemanan menuju masa depan, tangan itu sudah berjabat erat dengan tangan lainnya. Menuju ke arah yang entah. Apakah ruas-ruas di sela jemarimu sanggup digenapi oleh jari-jarinya? Tidakkah bercelah? Sekecil pori pun bisa sangat berbahaya. Saya tidak menakuti. Juga bukan menyumpahi. Sebenarnya saya hanya ingin menawari. Sekali lagi. Tidakkah kamu ingin mencoba mengikatkan tangan kita dengan simpul cengkraman jari. Saling mengaitkannya dengan gandengan untuk menjalani hari demi hari. Namun segenap harap tadi luruh sekejap. Lewat sekali saja gelengan kepala tanpa ucap. Perlahan tapi penuh keyakinan, seolah tiada lagi bagi saya untuk dibagi kesempatan.

Benarkah tak boleh lagi harap?

Kalian berjalan dengan langkah-langkah kecil, tapi entah kenapa lariku tak mampu mengejarmu. Teriak lantangku memanggil, namun entah bagaimana tak cukup bagimu untuk berhenti walau sekadar menoleh usahaku. Padahal dari semua jerih, susah, payah ini. Letih dan lelah ini. Saya hanya ingin berpesan, jika dibilang terlalu berani menyampuri bila mengingatkan. Berhati-hatilah kalian di jalan. Saya akan berusaha tulus melepaskan. Saya akan berupaya ikhlas merelakan. Mendoakan pun juga akan saya coba. Tapi maaf, saya tak mau menerima melupakan. Biarkan saya mengenang. Saya sudah menyiapkan ruang.

Apa saya salah?

Benar atau salah, saya tak tahu. Sama tak tahunya saya tentang adakah ruang tengah diantara keduanya. Cinta datang memang tak memandang. Hadir pada siapa saja. Tapi tetap saja, dia akan memandang ketika akan diberikan untuk siapa. Ini tentang memilih dan dipilih. Berbahagialah kalian yang mendapatkan keduanya. Saya memilih tapi tak dipilih. Rasanya pedih seperti disiram air mendidih. Laksana luka yang mengundang rintih, perih.

Barangkali memang saya salah, memilih yang sudah dipilih. Mungkin saya benar, hanya menyilakan masuk ketika cinta datang mengetuk. Membiarkannya mengalir tanpa buntu. Tapi, jangan-jangan dia tamu yang salah alamat dan saya terlanjur berbahagia menjamunya dengan teramat. Jika kejadiannya demikian, bolehkah pertanyaannya saya balik, "Salah saya apa, Yang Mulia?" hingga saya harus menerima tamu yang ternyata perampas semuanya yang saya punya.



Salam,
@AriOtnaigus

Rabu, 11 November 2015

Bicara Tulus, Selalu Tentang Kejujuran

Muhammad Tulus Rusydi adalah nama yang saat ini sedang cukup ramai dibicarakan karena karya-karyanya yang luar biasa. Banyak penghargaan telah ia terima sebagai bentuk apresiasi atas karya-karya musiknya.

Saya pribadi belum terlalu lama menjelajahi secara jauh sosok ini. Dulu lagunya hanya terdengar selintas di telinga saya tanpa pernah saya rasuki maksud di dalamnya. Sosoknya yang tinggi besar pun belum mampu mencuri perhatian saya kala itu. Apalagi memperhatikan apa yang dia ucapkan, jauh dari kerelaan saya meluangkan waktu. Saat itu saya cukup acuh dan abai akan keberadaan Tulus meski media baik televisi, radio maupun media sosial sudah cukup sering membicarakannya.

Namun, ketika pertama kali kuping ini mendengar lagu "Jangan Cintai Aku Apa Adanya" langsung membuat saya menengok ke arahnya kemudian mengernyitkan dahi. Yang terjadi berikutnya adalah timbul pertanyaan dalam benak saya. "Apa yang ingin didapat oleh orang ini? Sensasikah?". Ketika orang-orang sedang menyuarakan untuk bisa atau ingin mencintai dan dicintai apa adanya, dia malah berjalan ke kutub yang berlawanan.

Kemudian saya mencoba mencari tahu lebih dalam tentang dirinya. Pertama kali yang saya lakukan adalah mem-follow akun twitter-nya, @tulusm (karena inilah satu-satunya media sosial yang saya mainkan). Dari sana saya menemukan hal yang jauh lebih menarik dari cuitannya, bahwa Tulus juga punya blog. Saya selalu tertarik dengan tulisan-tulisan. Tak sempat berpikir lama, link blog itu langsung saya klik karena penasaran saya sudah di puncaknya, ingin tahu buah pemikiran apa saja yang telah dia tuangkan disana.

Di blognya, Palawija, saya dibuat tercengang. Tulisan-tulisan panjang maupun pendeknya sama mengagumkannya. Perbendaharaan katanya sangat kaya, kepekaan terhadap bahasa tinggi serta pintar dalam diksi. Ketika membaca halaman demi halaman blognya, banyak sekali tulisan-tulisan pendeknya yang menggebrak tentang peribahasa ataupun istilah yang sudah sangat lama disepakati. Ini menandakan bahwa Tulus tidak mau menerima begitu saja yang sudah menjadi tradisi. Dia mencoba mencerna kembali, mengkaji ulang yang sudah ada. Memperbarui yang menurutnya sudah tidak relevan untuk saat ini.

Kita sering mendengar peribahasa, Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Tapi setelah melewati lorong otak Tulus, peribahasa tersebut berubah menjadi sebuah harapan, Semoga nggak perlu berakit ke hulu lalu berenang ke tepian. Tapi kita semua, naik kapal motor cepat ke hulu dan turun tepat di tepian. Aaamin. Ada lagi, Caridina Cantonensis di pulau seberang, tampak. Macrobrachium Rosenbergii menggerogoti mata, tidak tampak. Sebuah penjelasan yang lebih mendetail dengan menggunakan nama ilmiah dari peribahasa, Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan nampak jelas.

Lalu ada lagi, Semenjak ada detektor metal. Mencari jarum di tumpukan jerami jadi masuk akal. Permisi leluhur. Kemudian ada keresahan dirinya pada istilah dalam lagu anak-anak sepanjang masa karya Almarhum A.T. Mahmud, Jangan ambilkan bulan, Bu. Yang lain juga ingin lihat. Dan masih banyak lagi goresan-goresan keren yang lainnya disana. Barangkali ada yang menganggapnya 'kurang ajar', kenapa harus mengubah yang sudah lama ada. Tapi bagi saya tidak, dia adalah seorang yang kritis. Mempertanyakan dahulu apa yang hadir padanya, kemudian menghamburkan keresahan-keresahannya dalam bentuk tulisan-tulisan baik di blog maupun di lirik lagu-lagunya. Dan di setiap tulisannya tersebut, saya membaca kejujuran.


Tapi bukan hanya tulisannya saja yang jujur. Musik, lagu, aksi panggung dan suaranya juga mengirimkan aura kejujuran untuk ditangkap oleh siapa saja yang melihatnya. Suaranya bagus tanpa harus dilebih-lebihkan. Barangkali untuk istilah satu ini Tulus juga akan setuju, bahwa apa yang dilahirkan dari hati akan diterima oleh hati juga. Inilah yang dilakukannya, berkarya dari hati. Sehingga yang keluar pun adalah kejujuran.


Pertanyaan awal saya tentang "Jangan Cintai Aku Apa Adanya" pun terjawab bahwa itu salah satu keresahannya. Dan setelah dipikir, memang benar juga. Kadang kita butuh dituntut untuk bisa berkembang dan menuntut bukan berarti tak mencintai. Setelah itu, saya mencoba mendengar lagu-lagunya yang lain. Ternyata saya juga menyukai Sepatu, Gajah, Sewindu, Teman Hidup, Lagu Untuk Matahari, Bunga Tidur, semuanya. Saya juga termasuk yang sangat peduli dengan lirik. Bahkan tak jarang saya jatuh cinta pada liriknya dulu ketimbang lagunya. Dan di dua album Tulus yang berjudul 'Tulus" untuk album pertamanya dan "Gajah" untuk album keduanya, semua lagunya menyajikan lirik-lirik yang menarik bagi saya. Banyak analogi menawan disana. Ada yang puitis, ada pula yang lugas namun tetap indah dibaca maupun didengar. Seperti yang sudah saya tulis diatas, itulah buah pemikiran dan perenungan yang jujur. Dan saya dapat merasakan itu.

Akhirnya saya memutuskan untuk membeli CD-nya. Dan setiap beli CD, pertama yang saya baca adalah ucapan terima kasihnya. Lagi-lagi saya dibuat takjub oleh goresannya. Tak banyak basa-basi. Sederhana namun pesannya sampai dan yang selalu membuat saya salut adalah diksinya. Sekali lagi saya menangkap kejujuran disana. Jadi menurut saya, Tulus adalah kejujuran. Tulus itu jujur. :)


Salam,
@AriOtnaigus