Kamis, 21 April 2016

Memilih Terpenjara

Sakit yang dulu terlampau sakit. Luka yang kemarin tak mudah mengering. Duka demi duka tersesap bagaikan menghirup udara. Menghimpit dada yang telah lelah untuk melawan. Menyempitkan ruang untuk singgahnya kebahagiaan.

Hati ini sejatinya belum mati. Hanya saja, dia tak berani untuk beranjak. Tampaknya dia belum siap. Lebih memilih menjadi pengecut yang sibuk menyangkal perasaannya sendiri.

Dia sendiri tak paham dengan apa yang terjadi pada dirinya. Segala yang bersinggungan dengannya seperti rentetan cerita yang memilukan. Bagaimana bisa, setiap keputusan yang dipilihnya selalu menggantungkan tanda tanya di akhirnya. Dia tak bisa yakin dengan pilihannya sendiri. Sehingga setiap keputusan yang diambil seringnya berujung dengan keputusasaan.

Membiarkan semuanya mengalir tanpa rencana juga bukan perkara mudah. Jiwanya terlalu lemah untuk menerima derasnya kejutan yang hadir membanjir. Raganya menjadi linglung. Tak tahu harus dengan apa atau dengan bagaimana lagi dia menyusuri sisa jalan yang dia juga tak tahu dimana dan kapan ujungnya.

Dia ingin dituntun tanpa terlebih dulu menjadi pikun. Dia ingin bebas tanpa harus lepas. Dia ingin lupa tapi tak perlu semua. Hanya untuk beberapa hal saja. Terutama hal-hal yang awalnya indah namun ternyata menggiringnya pada penjara yang pengap. Menyisakan dirinya ditemani bayangannya sendiri yang setia membantunya memukuli rasa penyesalan yang senantiasa menyergap.

Sementara air mata terus sibuk mencari alasan untuk merayakan kemenangannya, dirinya tetap berada disana. Tak kemana-mana. Hanya karena takut langkahnya akan membawanya ke lorong yang semakin sempit dan gelap, dia memilih terpenjara saat ini. Sakit ini cukup. Biarkan luka ini sembuh dahulu. Biarkan duka ini menyusut, meski harus perlahan.


Salam,
@AriOtnaigus


Jumat, 05 Februari 2016

ADA Band Mencuri Hatiku Lagi

ADA Band

Tampaknya, bulan pertama di tahun ini memberikan beberapa kejutan menyenangkan bagi saya yang sebelumnya tak pernah saya duga. Setelah di pertengahan bulan, saya berkesempatan bertatap muka langsung dengan satu dari dua penulis favorit saya, Fahd Pahdepie. Di akhir bulannya saya dijodohkan lagi oleh ruang dan waktu untuk bersua dengan salah satu band favorit saya, ADA Band.

Sudah lebih dari dua tahun, sejak terakhir kali menonton konser ADA Band secara langsung di Jatim Fair 2013. Rentang waktu yang relatif cukup lama untuk sebuah 'pertemuan' kembali. Namun, Malam Minggu kemarin, 30 Januari 2016, waktu menawarkan peluang yang sama lagi bagi saya, bertemu sekaligus bernyanyi bersama dengan Bang Donnie, Mas Dika, Mas Marshal dan Mas Adhy dalam sebuah acara peluncuran produk mobil baru. Walaupun saya datang agak terlambat karena suatu hal, tapi saya tetap merasa puas karena ADA Band malam itu tampil sangat prima. Dengan konsep akustik yang mereka suguhkan, seperti biasanya, mereka mampu menyebarkan cinta berbalut romantisme yang sudah menjadi ciri khasnya, tapi bukan berarti cengeng. Saat itu, mereka seperti mampu menyerap energi penonton dan menyebarkannya lagi sehingga para penonton, setidaknya saya, terhanyut dan larut dalam suasana dan mood yang mereka bangun. Joke-joke ringan dan celetukan dalam Bahasa Suroboyoan-nya Donnie di jeda perpindahan antara satu lagu ke lagu berikutnya menambah warna di penampilan mereka malam itu. Fantastis. Tak terlupakan.

Dika Satjadibrata
Donnie Sibarani
Marshal Surya Rachman
Adhy Pratama


Sebenarnya intensitas saya mengikuti perjalanan ADA Band sudah tidak seperti dulu. Kabar bahwa mereka akan manggung di Surabaya pun diinfokan oleh teman. Tapi, sepertinya malam itu memang garis takdir sedang berbaik hati kepada saya. Sebelumnya, saya tak pernah tahu situasi nantinya akan bagaimana. Sempat ragu antara bawa CD atau tidak karena mengingat dulu waktu mendapatkan tanda tangannya Bang Donnie dan Mas Dika lumayan susah dan butuh perjuangan yang lebih. Bukan merekanya yang nggak ramah atau menjaga jarak. Mereka semua sangat ramah dan terbuka pada penggemarnya, tapi untuk mendekati mereka memang perlu menembus lapisan-lapisan benteng, baik penggemar yang lain atau pun barisan keamanan. Namun, akhirnya saya bawa juga. Pikir saya waktu itu, kepalang tanggung kalau dari empat personel cuma dapat setengahnya saja. Toh jika pun tak dapat tanda tangannya Mas Marshal dan Mas Adhy, dua keping CD tak akan memperberat ransel saya.

Seperti yang saya bilang di atas, nasib baik sedang berpihak ke saya. Malam itu mendapatkan tanda tangannya Mas Marshal dan Mas Adhy di CD relatif lebih mudah daripada ketika minta ke Bang Donnie dan Mas Dika dulu. Malam itu juga, ada ruang yang cukup lama beku yang tersentuh lagi, mulai terhangatkan kembali. Sejak malam itu, ADA Band mencuri hatiku lagi. Kematangan usia mereka tampaknya tak mengendurkan sedikit pun semangat mereka untuk terus berkarya dan menginspirasi, bahkan aura dan kharisma mereka kian bersinar. Terus melajulah ADA Band! Tetaplah selalu menyebarkan cinta. Saya tunggu album barunya yang (katanya) akan lahir bulan Februari ini. Keep solid!

Barangkali saya bukanlah fans garis keras mereka, tapi saya mengapresiasi karya mereka. :)


Terima kasih Mas Adhy. ;p
Chaos! ;D
 
Salam,
@AriOtnaigus

Kamis, 21 Januari 2016

Akhirnya, Ber-#Jodoh Juga dengan Bang Fahd!

"Akhirnya, terima kasih yang paling besar saya haturkan kepada kalian semua, atas kesediaannya membaca dan menghabiskan waktu bersama-sama. Pernahkah berpikir bahwa suatu hari kita mungkin akan bertemu? Ya, suatu hari kita akan bertemu."

Itulah kutipan paragraf terakhir di ucapan terima kasih dalam buku "Perjalanan Rasa" dari Fahd Pahdepie, yang kala itu masih memakai nama pena Fahd Djibran yang terbit November 2012. Dua kalimat terakhir, saya menganggapnya sebagai janji beliau, meski pada kalimat tersebut sebenarnya mengandung probabilitas, yang mungkin bisa ya atau bisa tidak terjadi. Tapi, entah untuk alasan apa, harapan untuk bisa sekadar bersalaman dengan beliau yang barangkali terdengar konyol bagi banyak orang itu saya jaga dengan sabar.

Fahd Pahdepie

Dan akhirnya, kesempatan itu datang juga. 'Suatu hari' yang saya tunggu-tunggu itu tiba juga. Waktu menunjukkan kebaikannya. Kesabaran menemukan muaranya. Sabtu, 16 Januari 2016, memberikan salah satu momen tak terlupakan bagi diri saya, yaitu bertatap muka langsung (sekaligus bersalaman dan sedikit ngobrol) dengan satu dari dua penulis favorit saya, Fahd Pahdepie. Pertemuan kemarin menyempurnakan mimpi saya untuk bisa bertemu dengan dua penulis favorit karena dengan Dee Lestari, yang juga 'difasilitasi' oleh Bentang Pustaka, lebih dulu terjadi pada Minggu, 29 Maret 2015. Ini menjadi semacam harapan yang terbayar lunas. Penasaran yang akhirnya terjawab tuntas.

Bang Fahd hadir dalam acara yang bertajuk "Talkshow & Booksigning; Mengakrabi Jodoh, Merayakan Cinta Bersama Fahd Pahdepie" dalam rangka promo tour buku terbarunya, "Jodoh". Acara yang berlangsung pada pukul tujuh sampai sembilan malam di Gramedia Tunjungan Plaza Surabaya berlangsung lancar dan cukup seru. Semua yang hadir tampak antusias. Walaupun banyak pertanyaan yang keluar dari rel tema, namun Bang Fahd tetap menjawabnya dengan sabar dan senyum yang selalu mengembang. Termasuk pertanyaan-pertanyaan dari saya yang secara sadar saya akui cukup 'egois' karena pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan waktu itu memang sudah cukup lama mengendap dalam benak. Pikir saya, mumpung ada kesempatannya untuk menyampaikan secara langsung, saya lepaskan saja semuanya.

Novel Jodoh sendiri saya selesaikan membacanya pada Sabtu sore, sebelum berangkat ke acaranya Bang Fahd. Jujur, "Jodoh" bukanlah karya Bang Fahd favorit saya sejauh ini. Ada beberapa bukunya sebelum ini yang lebih membius dan memikat hati saya hingga saat ini. Seperempat awal buku ini terasa menjenuhkan bagi saya, bahkan buku ini sempat teronggok tak terbaca lebih dari seminggu. Namun, tak bisa disangkal bahwa tulisan-tulisan Bang Fahd selalu memukau, seperti biasanya. Ada kedalaman di kesederhanaan. Setelah mencoba membacanya lagi, ada semacam magnet yang menarik kuat untuk membolak-balik halaman demi halamannya. Ada penasaran yang senantiasa membuntuti hingga bertemulah saya pada ledakan dahsyat di tulisannya yang kemudian diikuti letupan-letupan kecil setelahnya. Sensasi yang unik saat itu dan Bang Fahd dengan semua tulisannya masih tetap mengagumkan.

Atau barangkali (setidaknya bagi saya), dibutuhkan suasana hati sedemikian rupa ketika membaca "Jodoh" untuk bisa mendapati sensasi-sensasi yang tak bisa saya gambarkan. Ada bagian-bagian tulisan di buku ini yang saat dibaca hari ini terasa biasa-biasa saja, tapi setelah esoknya dibaca lagi, dengan suasana hati yang sedang berbeda, tulisannya menjadi sangat istimewa. Begitu juga sebaliknya.

Ada tulisan di buku ini yang menjadi favorit saya yang seolah-olah mewakili saya yang sangat bersahabat dengan rindu; Dalam takdir yang memberikan semacam perpisahan kepada sepasang manusia, mengapa hidup sering kali begitu sialan menciptakan jarak yang tak bisa dilipat, juga waktu yang tak bisa disingkat? Bisakah kita menciptakan penawar untuk sekadar memberi kita sedetik dekat dekapan untuk sepasang dada yang mendambakan hangat sebuah pelukan? (hal. 81-82). Satu lagi yang menggetarkan titik sensitif saya adalah bab 'Pilihan', ada pelajaran hidup yang tersirat disana yang menurut saya patut kita renungkan.

Selain puisi-puisi dari Sapardi Djoko Damono yang Bang Fahd gunakan untuk merajut ceritanya di buku ini, dia juga memasukkan puisi-puisi karyanya sendiri yang tak kalah menawan, seperti di halaman 179;

seperti gerimis
aku jatuh cinta
perlahan-lahan

seperti badai
aku ingin mencintaimu
sampai mati

Tampaknya juga, Bang Fahd sangat tertarik untuk menggabungkan tulisan dengan karya dari media lain (lagu), seperti yang sering dia lakukan di 'rumah menulisnya' yang lama. Pun di buku ini, seperti di beberapa bukunya sebelumnya, Hidup Berawal dari Mimpi dan Tak Sempurna (berkolaborasi dengan Bondan & Fade 2 Black) serta Yang Galau Yang Meracau, "Jodoh' juga menyantumkan lirik-lirik lagu di beberapa lembar halamannya. Dan karena buku ini, akhir-akhir ini saya sering mendengarkan lagu "Iris"-nya Goo Goo Dolls.

Buku yang masuk dalam kategori novel ini bagi Bang Fahd sendiri adalah puzzle pikiran dan perasaan. Setelah dicermati, memang ada chapter-chapter di buku ini yang bisa berdiri sebagai tulisan sendiri saat ditarik keluar dari jalan cerita. Ah, Bang Fahd memang selalu kreatif. Dia selalu mengajak kita untuk menanyakan kembali, meninjau lagi, memikirkan ulang, memberi jarak dan tak serta merta menerima pada sesuatu yang hadir pada kita. Sudahlah, baca sendiri bukunya dan temukan sensasi #Jodoh-mu disana!


Akhirnya, terima kasih Bang Fahd untuk pertemuan kemarin yang singkat tapi sangat berkesan bagi saya. Terima kasih juga Bentang Pustaka yang telah memberikan kesempatan untuk saya berjumpa di dunia nyata dengan dua penulis favorit saya, Dee Lestari dan Fahd Pahdepie. Harapan saya, semoga waktu menjodohkkan kita lagi. Haha..



Salam,
@AriOtnaigus