Senin, 30 September 2013

Biarlah Perlahan

Dua sahabat yang sudah sejak SMA merasakan sedih dan suka bersama, berbagi tawa dan tangis berdua. Hingga mereka bekerja di kantor yang sama, persahabatan itu masih terjalin. Meski keduanya tak selalu sepaham, tapi keduanya saling menghormati perbedaan. Keduanya saling melengkapi. Banyak yang mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih. Cukup beralasan, karena hampir bisa dipastikan keduanya selalu bersama. Dimana ada Brian, tak akan kesulitan untuk menemukan Vera. Jika ada Vera, tak perlu lagi bertanya, "Dimana Brian?" Brian yang tak suka nonton akan dengan ikhlas mengiyakan jika Vera sang film holic mengajaknya menemaninya ke bioskop. Walaupun sepanjang film diputar Brian tidur, bagi Vera tak jadi masalah. Dengan Brian disampingnya, dia merasa nyaman. Begitu juga sebaliknya, Vera akan merelakan waktunya untuk menemani Brian yang sangat menggilai fitnes. Dengan setia, Vera akan memegangi handuk olahraga Brian dan botol air mineral sembari memainkan telepon genggamnya. Dan bagi Brian, itu lebih dari cukup. Satu hal yang membuat mereka tak merasa berkorban adalah pergi ke perpustakaan atau ke toko buku. Keduanya sama-sama hobi baca. Keduanya merasa nyaman berada diantara buku-buku.

Satu hari, Brian mulai menyadari perubahan perasaannya ke Vera yang kian lama kian membesar. Rasa sayang yang berbeda. Rasa takut kehilangan yang berbeda. Rasa ingin memiliki.

"Ver, seperti gerimis malam ini aku mencintaimu perlahan-lahan. Rasa cinta yang kian membesar, rasa cinta yang berbeda dengan rasa cinta seorang sahabat. Aku merasakannya, Ver. Tidakkah denganmu?" Brian mencoba mengungkapkan perasaan sesungguhnya. Cukup lama Vera terdiam. Sesungguhnya dalam benaknya, hal itu sudah lama dirasakan Vera. " Belajarlah mencintaiku, Ver. Perlahan-lahan." Dengan kesungguhan hati Brian memohon. Vera masih diam. Berkali-kali wajahnya melihat sekitar. Matanya tak berani menatap langsung mata Brian. "Bukankah lebih baik begini, Bri. Aku takut kehilangan persahabatan kita." Vera tak berani untuk jujur tentang perasaannya. Dengan besar hati, Brian menerima alasan Vera. Brian menawarkan jari kelingkingnya kepada Vera. Vera menyambutnya. Keduanya tersenyum. Beberapa detik setelahnya, tawa mereka pecah. Entah apa yang ditertawakan, mereka juga tak tahu.

***

Ada pegawai baru di kantor Brian dan Vera. Melda, perempuan berambut panjang dan mempunyai kepribadian yang sangat bersahabat. Jika yang lain bersikap dingin dengan pegawai baru, tidak dengan Vera. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk akrab. Melda terlihat smart dimata Vera. Dari cara berbicara dan menyikapi masalah sangat memukau Vera. Dia sayang banget pada Melda dan berniat menjodohkannya dengan Brian. Apalagi setelah dia tahu kalau Melda sangat terpesona dengan Brian. Akhir-akhir ini, Melda banyak bertanya kepadanya tentang Brian. Dengan tubuhnya yang tegap, atletis dan kepalanya yang berisi, tak susah bagi Brian untuk menarik perhatian perempuan.

"Melda cantik ya, Bri? Smart lagi. Tipe kamu banget." Brian sedikit kaget dengan apa yang dikatakan Vera. "Jangan bilang kamu mau jodohin aku sama dia." kata Brian tegas. "Apa salahnya? Kamu hanya belum mengenal dia lebih jauh. Kalau sudah, pasti kamu akan sayang banget sama dia. Percaya sama aku." Brian hanya menaikkan bahunya. "Kamu akan mencintainya. Perlahan-lahan."

Benar saja, tak selang berapa lama, Brian dan Melda telah meresmikan diri mereka sebagai sepasang kekasih. Sebagai sahabat mereka berdua, Vera turut berbahagia. Semakin lama, Brian dan Melda semakin mesra. Mereka sering jalan berdua. Kesepian mulai menyerang Vera. Ada yang hilang dari dirinya.

***

Sudah dua hari Vera izin tak masuk kerja karena sakit. Brian dan Melda berencana menjenguknya, namun mendadak Melda membatalkannya karena ada saudara ibunya di kampung yang meninggal dunia. "Sakit apa sih, Ver? Nggak biasanya kamu dikalahkan sakit." Vera menghembuskan nafas dalam. "Cuma nggak enak badan. Akhir-akhir ini aku malas makan dan susah tidur." Vera menatap Brian. "Hubungan kamu dengan Melda baik, kan?" Brian hanya mengangguk. "Jujurlah denganku, Ver. Kamu nggak pernah bisa menyembunyikan masalah dariku. Ada apa sebenarnya?" Vera terdiam cukup lama, kemudian air mata mulai membasahi pipinya. Brian mendekatinya, lalu meletakkan kepala Vera di dadanya. "Aku mencintaimu, Bri. Aku membohongi perasaanku waktu itu. Aku baru merasakan kehilangan kamu setelah kamu bersama Melda. Tapi aku sayang Melda. Aku tak ingin dia disakiti." Dalam isak tangis, Vera mengungkapkan perasaannya. "Aku sebenarnya sudah bisa membaca apa yang kamu rasakan sejak dulu. Aku sayang Melda sebagai adik. Jika kamu tak terlalu memaksa dulu, mungkin aku tak pernah jadian sama dia. Namun sekarang, aku pun tak ingin menyakiti dia. Walaupu rasaku padamu masih kurawat di hatiku."

***

Meskipun mereka telah sepakat untuk tak menyakiti Melda, namun kenyataannya tak ada yang sanggup melawan perasaan mereka. Termasuk keduanya yang tak mampu menolak kehadiran cinta. Meski di tengah hubungan mereka ada orang yang mereka sayangi. Mereka sudah tahu segala resiko apabila hubungan terlarang itu terungkap. Mereka sudah siap dengan semua yang akan diterima kelak. Sekarang mereka sering jalan bertiga. Melda tak pernah menaruh rasa curiga pada hubungan Brian dan Vera.

Satu hari yang tak pernah Brian dan Vera sangka, Melda meninggal dalam kecelakaan tunggal. Keduanya sangat terpukul dan merasa bersalah.

Sudah seharian Brian duduk di pasir pantai. Hingga kini wajah malam sudah mulai menampakkan keramahannya, dia masih merenungi dirinya. Dia masih belum menerima kematian Melda. Dia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Seharusnya dia berlega hati, karena kini dia dan Vera bisa menjalin cinta tanpa merasa menyakiti. Tanpa sembunyi-sembunyi. Tapi nyatanya, dia malah tak tahu apa yang akan dilakukannya.

Dari kejauhan, Vera mulai berjalan mendekati Brian. Kemudian duduk disampingnya. "Mulailah mencintaiku dari awal lagi. Belajarlah mencintaiku lagi. Perlahan-lahan." Vera meletakkan kepalanya di bahu kiri Brian. Brian merangkulkan tangan kirinya mendekap Vera. Tak ada lagi suara selain ombak yang kian membesar. Satu ombak telah menyapa mereka. Malam sudah tak bersahabat. Dingin, membekukan kesunyian. Rintik gerimis mulai turun. Mereka berdiri dan berjalan bergandengan meninggalkan bibir pantai.

***

Satu tahun setelah kematian Melda. Brian masih larut menyalahkan dirinya sendiri. Vera berusaha keras untuk meyakinkan bahwa kesedihan ini tak perlu berlarut-larut. Vera mencoba membukakan mata Brian yang keasyikan memejam. Dia mencoba menyadarkan Brian bahwa ada yang sangat berharap mendapatkan perhatiannya. Ada yang berharap mendapatkan cintanya seperti dulu.

"Maaf, Bri. Aku harus pergi dari hidupmu. Aku sudah berusaha keras, aku tak mampu lagi. Kita kekasih, tapi kamu menganggapku asing. Kamu menyalahkan dirimu sendiri atas kematian Melda. Tapi aku merasanya, sebenarnya kamu menyalahkan hubungan ini. Kamu menyalahkanku." Vera akhirnya mengatakan apa yang sudah lama ditahannya. Tak ada reaksi apapun dari Brian. "Dulu aku memintamu mencintaiku secara perlahan. Sekarang rasanya, tak perlu perlahan-lahan untuk melupakanku. Selamat tinggal, Bri." Vera meninggalkan sebuah undangan pernikahannya dengan lelaki pilihan orang tuanya untuk Brian. Vera meninggalkannya. Mungkin tak akan kembali lagi. Selamanya.

Di hari pernikahan Vera. Brian memilih pergi ke pantai. Sendiri. Memandangi undangan pernikahan Vera, dia menyadari kebodohannya selama ini. Mengabaikan yang ada di genggaman untuk menangisi yang telah terlepas. Dia sangat menyesal, namun semua sudah terlambat. Sekarang dia sedang belajar untuk melepaskan, merelakan, kemudian tak lagi banyak berharap.

Brian menulis 'VERA' di pasir pantai, kemudian dengan cepat ombak menghapusnya. "Aku tak pernah bisa seperti ombak, menghapusmu dengan cepat di hatiku." Katanya dengan isak yang tertahan. Terdengar sangat pilu. "Jika dulu aku bisa mencintaimu secara perlahan, seharusnya sekarang aku mampu melupakanmu secara perlahan pula." Air mata mulai mengaburkan pandangannya. Tak lama, air itu menelusuri pipi lalu jatuh di pasir pantai. "Semoga dia bisa membahagiakanmu. Semoga dia mampu membuatmu selalu tersenyum, Vera." Dia berharap ombak yang datang dan pergi dapat membantunya mengikis sedikit demi sedikit luka hatinya.

When I Was Your Man - Bruno Mars

Same bed
But it feels just a little bit bigger now
Our song on the radio
But it don't sound the same
When our friends talk about you
All it does it just tear me down
Cause my heart breaks a little
When I hear your name
It all just sound like uh, uh, uh

Hmm too young, to dumb to realize
That I should have bought you flowers and held your hand
Should have given all my hours when I had the chance
Take you to every party
Cause all you wanted to do was dance
Now my baby is dancing
But she's dancing with another man

My pride, my ego, my needs and my selfish ways
Caused a good strong woman like you to walk out my life
Now I'll never, never get to clean out the mess I'm in
And it haunts me every time I close my eyes
It all just sounds like uh, uh, uh

Although it hurts
I'll be the first to say that I was wrong
Oh, I know I'm probably much too late
To try and apologize for my mistakes
But I just want you to know
I hope he buys you flowers
I hope he holds yours hands
Give you all his hours when he has the chance
Take you to every party
Cause I remember how much you loved to dance
Do all things I should have done
When I was your man



Salam,

@AriOtnaigus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar