Rabu, 15 Mei 2013

Perempuan Dalam Mimpi (Episode 3)

Pagi ini, di kafe yang sama seperti terakhir kali aku melihat Kirana, seseorang yang mirip dengan perempuan dalam mimpiku. Ah, bukan. Kirana sudah meninggal. Aku meyakinkan diriku sendiri yang tak mampu mempercayai kematian Kirana.

Kafe masih sepi, mungkin saja baru buka.

"Mau pesan apa?" Tanya seorang pelayan perempuan. Kemudian dia tersenyum.

Aku hanya menatapnya, tak membalas senyumnya. Entah kenapa, sejak mendengar kematian Kirana, aku lupa caranya tersenyum.

"Kopi hitam. Pahit." Jawabku datar.

"Tunggu sebentar, ya." Dia masih tersenyum ramah meski tak mendapatkan balasan senyumku.

Ada sesuatu yang hilang dari diriku setelah kudengar kematian Kirana dari Chandra. Ada ruang hati yang dingin dan gelap tanpa nama di dalamnya. Sepi. Aku merasa seperti burung yang kehilangan sayapnya. Bukan patah atau luka, namun benar-benar hilang. Musnah. Burung tak bersayap? Apa jadinya aku nanti? Aku bahkan tak berani membayangkan bagaimana aku menjalani kehidupanku ke depan tanpa sayap. Tanpa Kirana.

Tiga minggu sudah setelah aku mendengar kabar kematian Kirana. Dua puluh satu malam pula Kirana hadir di mimpiku. Kirana masih menjadi perempuan dalam mimpiku. Masih tanpa senyum. Raut wajahnya seperti ketakutan. Aku curiga ada sesuatu yang dia sembunyikan. Aku yakin ada yang ingin dia katakan padaku namun tak berani menyampaikannya.

Aku mengeluarkan laptop dari dalam tasku. Kemudian aku browsing tentang kemungkinan orang yang sudah mati hadir dalam mimpi. Akhir-akhir ini aku lebih banyak mencari tahu tentang mimpi, kematian atau apa saja yang dapat menjawab pertanyaan dan penasaranku akan mimpi tentang Kirana.

"Ini kopinya. Silahkan"

Aku hanya mengangguk tanpa melihat wajahnya.

"Ada lagi yang bisa saya bantu?" Suara pelayan perempuan itu terdengar sangat ramah.

Aku hanya memberikan isyarat dengan tangan bahwa aku tak butuh bantuannya dengan mata tetap fokus pada layar laptop. Jahat, tapi tak tahulah.

"Boleh ganggu sebentar?"

Suara perempuan kali ini sangat akrab di telingaku. Aku sangat mengenalinya. Ya, suara Kirana. Tak salah lagi.

"Ki...rana." Kataku lirih. Sedikit tak percaya dengan apa yang aku lihat.

"Ya, ini aku Ram. Kamu tak perlu takut dan mengira kalau aku adalah hantu. Aku manusia kok." Dia tersenyum kemudian duduk di depanku. Ah, indah sekali. Senyum inilah yang telah lama aku rindukan. Senyum inilah yang telah lama tak kulihat, sekalipun dalam mimpi.

Aku hanya mengangguk-angguk saja. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Aku masih cukup kaget dengan kehadiran Kirana yang tiba-tiba dan sulit di percaya.

"Semua yang kamu dengar dari Chandra tentangku tak semuanya benar, namun tak semuanya juga salah. Tentang aku menikah dengan Chandra atas permintaan ibuku, itu benar. Tapi alasan dia menikahiku dan kematianku adalah rekayasa dia saja. Banyak hal yang harus kamu tahu kebenarannya, Ram. Mungkin bukan sekarang, aku terburu-buru."

Aku masih tak berkata apa-apa. Lidahku seperti terpotong.

"Ini yang lebih penting, Rama. Ini yang harus kamu tahu lebih dulu. Aku tak menuntut apapun, aku hanya ingin kamu tahu. Itu saja." Kirana menyerahkan sebuah foto kepadaku.

Belum tuntas rasa terkejutku akan kehadiran Kirana, aku dibuat seratus kali lebih terkejut. Seorang bayi perempuan mungil tercetak dalam foto ukuran 3R yang diserahkan Kirana tadi.

"Kamu masih ingat apa yang pernah kita lakukan 3 bulan sebelum kamu kecelakaan dan amnesia, kan? Kamu sudah ingat, kan? Dialah buah cinta kita waktu itu, Ram. Lucu dan cantik, ya? Namanya Cemara. Panggilannya Rara. Sekarang baru berumur 2 bulan."

Ada sesuatu yang sangat keras menghantam dadaku. Sesak.

"Ini anakku?" Tanyaku dalam hati. Bukan meragukannya, hanya aku terlalu kaget untuk hal ini.

"Maaf, aku harus pergi sekarang. Hubungi aku di nomor di balik foto itu, ya!"

Kirana tampak tergesa. Dia melihat jam. Kemudian berlari meninggalkanku yang masih penuh dengan tanya. Aku mematung, kakiku seperti mengakar pada lantai. Aku tak pernah menyiapkan diri untuk kemungkinan yang baru saja terjadi padaku tadi. Aku masih shock.

Sementara aku sudah bisa mengatur nafas dan mengendalikan diriku, aku mengejar Kirana. Aku hampir berhasil mengejarnya sebelum akhirnya dia masuk ke dalam mobil Jazz merah miliknya. Aku hendak berteriak memanggil namanya, namun kuurungkan karena aku melihat Chandra masuk ke dalam mobil. Kemudian mobil itu melaju, beradu dengan aspal jalanan.

Mobil itu semakin menghilang dalam pandanganku, bertolak dengan pertanyaan-pertanyaan yang kian berlesatan dalam kepalaku.



Baca: #FlashFictionBersambung
Perempuan Dalam Mimpi (Episode 1) oleh @benzbara_

Perempuan Dalam Mimpi (Episode 2) oleh @momo_DM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar