Senin, 01 Juli 2013

Meja Makan

Meja makan. Ada cerita yang menyertainya.

Makan malam bersama. Hal inilah yang diwajibkan oleh keluarga Pak Huda dalam keluarganya. Sehingga ketika waktunya telah tiba, semua anggota keluarga berkumpul. Duduk mengitari meja makan berbentuk bundar. Pak Huda, Bu Dewi, Tiara, Rendra dan si bungsu Kevin. Setelah berdoa bersama, semua mengambil makanan yang telah disediakan Bi Inem bergantian, mulai dari Pak Huda hingga Kevin. Sepanjang mereka makan bersama, nyaris tak ada percakapan hangat keluarga. Mereka seperti asing satu sama lain, seperti ada benteng tinggi yang seolah memisahkan mereka. Kaku. Mereka larut dalam lamunan masing-masing. Menenggelamkan diri dalam percakapan dengan diri sendiri.

Bu Dewi, berkali-kali telah melirik jam dinding dengan gelisah. Sebentar lagi jadwal sinetron favoritnya segera tayang dan dia tak ingin kelewatan barang satu adegan saja. Rendra sudah terlebih dahulu menghabiskan makanannya, tinggal menyisakan sepotong tahu di tusukan garpunya. Dan kini dia hanya menggigit-gigit kecil tahu itu sembari sesekali melihat jam di telepon genggamnya. Kevin juga telah menyelesaikan makannya. Sekarang dia sedang menikmati buah apel. Dia hanya berharap acara makan malam ini segera selesai karena dia sudah tak sabar ingin melanjutkan bermain game yang harus ditinggalkannya tadi. Pak Huda sendiri ternyata juga sudah ingin sesegera mungkin menyelesaikan kebiasaan yang diwajibkannya itu. Laptop dan tugas-tugas kantor seolah telah memanggil-manggil namanya untuk segera disapa lagi. Mungkin hanya Tiara yang tak punya alasan untuk segera menyelesaikan makan malam bersama ini, namun sesungguhnya dia sudah tak nyaman.

Semua sudah selesai. Tapi ada takut atau mungkin segan untuk mengawali beranjak dari kursi. Hingga akhirnya ada nada SMS masuk di telepon genggam Rendra yang memecah keheningan mereka. Ada rasa senang dan berharap bahwa itulah yang akan mengakhiri ritual ini pada diri masing-masing mereka. Benar saja, Rendra yang mengawali untuk mengakhiri makan malam bersama ini karena dialah yang mempunyai alasan paling tepat. "Pa, Ma. Rendra izin duluan, udah ditunggu teman." Kemudian Rendra meninggalkan mereka setelah terlebih dahulu mencium tangan Pak Huda dan Bu Dewi. Ada kelegaan dalam hati mereka semua. Aneh.

Kemudian secara hampir bersamaan semua beranjak meninggalkan meja makan. Kevin segera berlari menuju sofa dan meraih PSP nya kembali. Pak Huda meghampiri meja kerjanya yang lengkap dengan laptop, bertumpuk-tumpuk berkas dan sederet tugas yang belum terselesaikan. Tiara dengan langkah malasnya menuju kamarnya. Memasang earphone dan kembali melanjutkan membaca novelnya. Itulah dunianya, surga baginya. Bu Dewi, melangkahkan kakinya ke ruang keluarga setelah terlebih dahulu memanggil Bi Inem agar membereskan meja makan. Segera diraihnya remote tv dan menghanyutkan diri dalam cerita sinetron yang penuh drama dan menjual air mata.

Makan bersama di keluarga Pak Huda yang seharusnya mendekatkan mereka tapi ini justru dianggap suatu yang biasa saja, bahkan cenderung keterpaksaan. Semacam ritual wajib tanpa makna. Makan bersama yang diawali dengan berdoa namun tak diakhiri dengan mengucap syukur. Entahlah, mungkin kekakuan mereka yang melupakan segalanya.

Selang tiga rumah dari rumah Pak Huda...

Pak Slamet juga mewajibkan anggota keluarganya untuk makan malam bersama. Di meja makan berbentuk persegi panjang, Pak Slamet duduk paling ujung. Di sebelah kanan ada Bu Rina dan si bungsu Nayla. Sedangkan Riska dan Angga di sebelah kiri. Makanan telah tersedia di meja makan. Ada nasi, tempe, tahu, tumis kangkung, kerupuk, pisang dan air putih. Semuanya dimasak sendiri oleh Bu Rina. Pak Slamet memimpin doa. Kemudian semua menyantap hidangan hasil jerih payah Pak Slamet sebagai supir angkot hari ini. "Maafkan Abah ya anak-anak. Kalian harus bersabar lagi untuk makan berlauk ayam. Mungkin besok jika rezeki Abah lebih daripada hari ini, kalian pasti akan makan ayam." Dalam hatinya, Pak Slamet merasa bersalah. "Amin. Insha Allah, Bah." Senyum mengembang di wajah Bu Rina yang kemudian dibalas oleh Pak Slamet.

"Nayla tadi disuruh nyanyi apa di sekolah?" tanya Pak Slamet pada anak bungsunya yang baru berusaha lima tahun. "Pelangi, Bah." Jawab Nayla yang kemudian membuka mulutnya lebar-lebar untuk menerima suapan dari ibunya. "Bah, tadi ada beberapa buku yang harus dibeli minggu depan. Pulpen Riska juga udah mau habis." "Pulpen Angga juga." "Iya. Besok beli."

Setelah semuanya selesai makan, Pak Slamet bermain dan bercanda dengan Angga dan Nayla. Sementara Bu Rina membereskan meja makan dibantu Riska. Ada kehangatan dalam keluarga ini. Percakapan ringan dan sederhana dengan keluarganya seolah menghilangkan rasa lelah yang mendera Pak Slamet. Semua beban berat seakan hilang. Tertutup oleh kebersamaan dan keakraban keluarga yang tak mampu terbeli oleh apapun.

Di kompleks perumahan mewah. Satu kilometer dari rumah Pak Slamet...

Seorang anak perempuan kecil duduk di meja makan panjang super mewah dengan segala masakan lezat, lauk-pauk serba enak dan beraneka buah segar bermacam warna tersaji di atasnya. Anak itu menunggu sang Ayah yang sudah empat hari tidak dilihatnya. Mungkin dia pulang terlalu malam ketika dia sudah berpetualang dalam mimpinya dan pergi lagi sebelum Bi Sumi membangunkannya. Mamanya sama saja. Hanya saja, dia masih kadang menelepon. Delia, kakak satu-satunya juga. Hanya singgah sebentar di rumah setelah pulang sekolah untuk mandi dan ganti baju. Kemudian pergi lagi. Hanya cubitan sayang di pipi yang didapat sebagai sapaan dari kakaknya untuknya. Itu pun kalau dia sedang beruntung, sedang tidak tidur siang. "Ayo makan Non Mayang, sudah malam. Bi Sum suapin ya?" Mayang hanya mengangguk. Kesedihan jelas tergambar di wajahnya. Sungguh kasihan.

Seberang jalan kompleks mewah itu. Di sebuah pemukiman kumuh...

Seorang nenek janda yang tak mempunyai anak. Tertidur di atas meja makan tuanya. Tak ada yang bisa dimakan, hanya sebuah piring dan sebuah sendok tanpa apa-apa di atasnya. Nenek itu sesekali terbangun dan terus berusaha untuk tertidur kembali. Mencoba melupakan bahwa dia belum makan seharian. Mencoba tak menghiraukan perih di perutnya. Tepat di samping rumah nenek itu, keluarga kecil sedang berbagi sepiring nasi berlauk garam untuk suami, istri dan seorang anaknya yang berumur tiga tahun. Mereka mendambakan dapat makan layak, cukup dan makan di sebuah meja makan sederhana bersama.

Di pintu tol. Sekitar dua ratus meter dari pemukiman kumuh...

Seorang penjaga tol yang beristirahat sedang menyantap nasi bungkusnya. Dia selalu berharap dapat makan bersama keluarganya di rumah. Mengobrol santai di meja makan. Tapi apa daya, keadaan tidak mengizinkannya untuk melakukannya selalu. Dia merapalkan doa di tiap suapan makanan di mulutnya. Semacam pengobat rindu. Pembunuh sepi.

Di bawah jalan tol. Tak jauh dari pintu tol...

Seorang bapak pedagang asongan masih berjuang untuk empat piring nasi di meja makannya. Bercucuran peluh di tubuhnya. Mencoba menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang mungkin mau membelinya. Pendapatan hari ini belum cukup untuk empat piring nasi dan lauk sekadarnya. Pikirannya tertuju di rumah dimana istri dan dua orang anaknya sedang menunggunya di meja makan. Berharap bapaknya pulang membawa beras dan tempe untuk makan malam ini.

Jauh dari itu semua. Di sebuah kamar kos..

Seorang laki-laki muda mensyukuri apa yang telah dia makan malam ini dan hari-hari sebelumnya. Dia tetap selalu merindukan makan bersama keluarganya di rumah. Merindukan kehangatan, keakraban dan kekeluargaan yang terjadi di meja makan.



Salam,

@AriOtnaigus :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar