Minggu, 07 Juli 2013

Cukup Sampai Disini

Setiap ada pertemuan selalu pasti akan ada perpisahan, kan? Bukankah memang sudah begitu hukumnya?

Aku masih ingat betul waktu itu. Saat pertama kali kita dipertemukan di ujung gang menuju rumahmu. Aku kehujanan. Tubuhku basah kuyup, menggigil kedinginan dan sekuat tenaga mencoba menahan rasa perih dikakiku karena luka perkelahianku demi sisa makanan di tempat sampah. Aku sangat lapar. Sejak aku dibuang dua hari yang lalu, hingga sore ini belum ada yang bisa kumakan. Kakiku sudah tak kuat lagi menopang berat tubuhku sendiri. Kekuatan yang kucoba kukumpulkan ternyata tak cukup mampu menggiring tubuhku walau hanya untuk sekadar mencari tempat berteduh. Aku tersungkur di bawah tiang listrik. Langit semakin gelap. Hujan semakin deras. Dan angin bertiup semakin kencang. Tubuhku semakin lemas. Kamu berhenti tepat di depanku. Tatapan mata bulatmu menatap tajam diriku penuh keibaan. "Kasihan sekali". Mungkin begitulah isi hatimu saat itu kalau aku boleh menebaknya. Ah, aku sangat malu. Pasti aku terlihat sangat menyedihkan ketika itu.

Kamu berjongkok di depanku. Payung biru yang kamu bawa sepertinya tak mampu melindungimu dari air hujan sepenuhnya. Seragam ptih abu-abumu terlihat basah di beberapa tempat. Kamu mengeluarkan jaket merah jambumu dari tas ranselmu. Kamu memberikan jaket itu untuk menghangatkanku, lalu kamu menggendongku.

Kamu berhenti di depan rumah bercat hijau yang nampak sepi. Kamu mengajakku masuk ke rumah itu. Banyak foto-fotomu dari kecil hingga sekarang di rumah itu. Kamu menghandukiku dengan lembut. Rasa sayang sangat kurasakan dari setiap usapan yang kamu berikan padaku. Kemudian dengan hati-hati kamu mengobati lukaku. Kamu juga dengan sabar menyuapiku. Aku sangat berterima kasih padamu, Tiara. Kamu memperlakukanku layaknya tamu kehormatan. Aku sudah tak kedinginan lagi. Aku sudah tidak kelaparan lagi. Kamu telah menyelamatkanku. Kamulah pahlawanku.

"KENRA". Begitu kamu memanggilku. Tak pernah aku merasa sangat dihargai seperti ini. Biasanya aku hanya dipanggil dengan "PUS" oleh mereka yang sedikit menaruh perhatian padaku. Tak jarang aku dipanggil dengan "Kucing Sial" atau apalah yang menyakiti perasaanku. Kenra, Kucing kerEN tiaRa punyA. Ah, aku keren? Aku jadi tersanjung karenanya.

"Kamu tinggal disini saja ya? Menemani kesendirianku?" pintamu waktu itu. Tapi ternyata untuk dekat dan bersahabat denganmu tak mudah. Ibumu tak mengizinkanku ada di rumahmu. Beliau tak menyukaiku. Aku diusirnya, dilempar dengan kasar keluar rumah. Sakit. Aku berjalan keluar dari gerbang rumahmu dengan langkah berat. Aku sempat menoleh ke arahmu, kamu menangis. Sesuatu yang memilukan hatiku. Sesaat setelah aku keluar dari gerbang rumahmu, kudengar kamu berteriak pada ibumu, "MAMA JAHAT!" Aku jadi merasa sangat bersalah telah merusak hubungan baikmu dengan ibumu. Semoga kamu tak pernah benar- benar membenci ibumu hanya karena aku. Doaku saat itu.

Keesokan paginya, aku sengaja menunggumu di tempat pertama kita bertemu. Di bawah tiang listrik, aku menantimu yang hendak berangkat sekolah. Aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Aku melihat senyum yang luar biasa indah terlukis di wajah cantikmu ketika kamu melihatku lagi. Senyum yang menghangatkan. Sehangat sinar mentari pagi kala itu.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Harusnya akulah yang bertanya seperti itu kepadamu. "Kamu belum makan ya? Kasihan. Nih." Kamu menyodorkan bekal sekolahmu untukku. Sungguh kamu adalah bidadari berhati malaikat. Cantik, secantik parasmu. Hehehe..

Kamu mengajakku ke rumah temanmu. "Aku hanya titip saja kok. Untuk urusan makan dan keperluan Kenra yang lain, aku yang mengurusnya. Kamu tenang saja." Katamu pada Ita. Sahabatmu yang sebenarnya alergi pada bulu-bulu rambut binatang.

***
Akhirnya kamu lulus dari SMA. Kamu juga diterima di perguruan tinggi negeri yang kau dambakan dan di jurusan yang sesuai keinginanmu. Aku turut senang dan bangga akan prestasimu. Namun ada kecemasan dalam diriku. Kamu akan bersekolah di luar kota, berarti kamu akan meninggalkanku sendiri disini. Aku sedih membayangkannya.

Satu hari aku bermanja-manja di pangkuanmu, kamu membelai-belaiku dengan penuh rasa sayang. Pemandanga ini seolah menunjukkan bahwa ini adalah kali terakhir kita berintim berdua. Aku tak tahu harus berbuat apa saat mendengarmu mengucap salam perpisahan nanti. Aku bingung. Apakah aku harus berpura-pura senang saat mengantar kepergianmu? Apakah aku harus tersenyum palsu sambil melambaikan tangan ketika melepasmu? Ataukah aku harus berakting tegar dan berkata "Kejarlah mimpimu. Doaku selalu mengiringi langkahmu. Aku baik-baik saja disini." begitu? Sungguh, aku takut kamu tak akan pernah kembali lagi untuk sekadar menengokku. Aku takut jika ini menjadi kepergian yang akan melupakan jalan pulangnya.

"Tenang saja, aku akan mengajakmu kok. Tentu saja secara diam-diam." Apakah kamu dapat membaca perasaanku? Aku senang mendengarnya. Sangat senang lebih tepatnya.

***
Aku dan kamu tinggal di kamar yang sama. Kamu dengan ikhlas mau berbagi apapun denganku. Bahkan saat kiriman uang orang tuamu terlambat datang, kamu bersedia memberikan separuh nasi bungkusmu untukku. Aku jadi tahu semua kebiasaanmu. Semua kelebihan dan kekuranganmu. Wajah baru bangunmu dengan ilernya disana sini, tak mengurangi aura kecantikanmu. Aku menyukai semua tentang kamu. Bahkan bau keringat dan kentutmu pun aku sudah sangat hafal.

Aku mempunyai hobi baru, menyelinap di balik selimutmu. Diam-diam berbaring di sampingmu. Aku sangat merasa nyaman jika kamu tidur memelukku. Seakan kamu mengajakku masuk ke dalam mimpi-mimpi indahmu.

Kamu menceritakan semua perasaanmu padaku. Tentang kegundahanmu, tentang kebahagiaanmu, tentang segalanya. Katamu, akulah pendengar terbaikmu. Katamu, hanya kepadakulah kamu dapat bercerita dengan lepas tanpa beban. Tanpa takut kerahasiaanmu tersebar. Namun dengan kegemaranmu berbicara denganku, membuatmu harus dihakimi sebagai orang gila, orang yang aneh. Tapi untungnya, kamu tak begitu mempedulikan apa yang orang tudingkan padamu. Kamu menganggapnya sebagai angin yang berhembus disamping telingamu. Hanya permisi lewat, tak akan kau izinkan berhenti walaupun sekadar singgah.

Satu hari kamu bercerita tentang ketertarikanmu pada seorang lelaki. Alrie, begitu kau menyebutnya. Katamu dia baik, pintar dan ganteng tentunya. Aku sebenarnya ingin meninggalkanmu ketika kamu mulai bercerita tentangnya, menyebut-nyebut namanya dengan bersemangat. Namun dengan sekuat hati aku bertahan untuk mendengarkanmu bercerita tentangnya yang seolah sempurna dimatamu. Aku sudah berjanji untuk menjadi pendengar setiamu.

"Aku sudah jadian dengannya. Dia telah menyatakan semua perasaannya padaku." Teriakmu di satu hari. Hatiku hancur karenanya, tapi aku berusaha memberikan senyum yang lebih dahsyat dari senyummu sendiri. Sulit, tapi harus kulakukan. Bukankah bahagiamu adalah bahagiaku?

Pertama kali kamu mengajak dia ke kamar kosmu, tatapan matanya sudah menunjukkan dia jelas tak suka padaku. Aku lari keluar kamarmu waktu itu. Seandainya aku bisa menangis, pasti air mataku sudah tumpah sejak tadi membasahi kedua pipiku. Rasanya aku ingin menabrakkan diriku ke mobil yang melintas. Namun untungnya aku bertemu dengan Puchi, kucing putih cantik yang memberiku semangat dan mampu menghiburku.

Yang paling tidak aku suka, Alrie telah merebut posisiku. Dialah yang sekarang sering tidur di sampingmu. Dan aku sangat terpukul, kamu telah memberikan mahkota berhargamu pada lelaki itu. Apakah kamu sadar memberikannya? Apakah cinta harus ditunjukkan seperti itu?

Pernah, ketika kamu mandi. Dia sedang asyik menelepon kekasih lainnya dengan mesra. Senjata rayuan gombalnya dikeluarkan semuanya. Sama halnya ketika dia membuaimu dengan kata-kata indah yang keluar dari mulut buayanya. Aku ingin sekali mencakar-cakar wajahnya waktu itu. Aku menatapnya tajam, menunjukkan padanya bahwa aku juga tak pernah menyukainya. Tampaknya dia tahu hal itu. Dia memelototiku, hanya dengan satu tendangan kerasnya ke perutku telah berhasil membuatku terlempar ke meja. Dan sialnya, telepon genggam kesayanganmu terjatuh dari meja. "Prakk.." Pecah berantakan. Dengan cerita karangannya yang meyakinkan, kamu memarahiku habis-habisan. Aku hanya menunduk lesu, tak mampu berbuat banyak. Aku melihat kemenangan diwajahnya yang memuakkanku.

Semakin lama, kamu semakin terkurung dalam kerangkeng yang  kamu sebut sebagai cinta. Kamu sudah tak lagi mempedulikanku. Sudah tak ada waktu lagi untuk sekadar menyapaku. Bahkan kamu tak mencariku saat aku tak pulang ke kosmu selama tiga hari. Apakah benar kamu sudah melupakanku? Apakah kenangan dan perjuangan kita untuk bersama sudah tak berarti lagi bagimu?

Akhirnya, mungkin perpisahanlah yang menjadi pilihan terbaik. Sudah saatnya aku harus pergi dari kehidupanmu. Memang seharusnyalah seperti ini. Aku sudah sadar sejak awal, kita tak mungkin bisa bersama selamanya. Kini aku melangkah meninggalkanmu. Maaf aku tak sempat berpamitan denganmu. Terima kasih telah memberikan arti di hidupku. Aku akan selalu merindukanmu. Aku akan selalu mendoakanmu. Semoga kamu baik-baik saja. Semoga kamu bahagia.

Cukup sampai disini. Selamat tinggal, Tiara..


Teruntuk Destiara,
yang kehilangan kucing kesayangannya



Salam,

@AriOtnaigus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar