Selasa, 13 Agustus 2013

Ceritaku Setelah Baca #Madre - Dee (Bukan Review)

Rasanya ada yang aneh ketika mengetikkan huruf demi huruf di blog ini lagi setelah satu bulan lebih tidak mengotorinya dengan sampah-sampah perasaan yang jelas-jelas tidak penting dan cenderung konyol. Entahlah, satu bulan kemarin virus malas akut sedang menyerangku begitu dahsyatnya. Padahal keinginan untuk menumpahkan perasaan dalam bentuk tulisan begitu besar. Tapi hari ini ada sesuatu yang sangat kuat mengusikku sehingga mampu mengalahkan rasa malas yang sangat besar.

Buku Madre karya Dewi Lestari (yang bernama pena Dee) yang kubeli pertengahan puasa lalu  dan yang menemani mudikku ke tempat penuntasan rinduku dimana cinta begitu tumbuh subur disana telah membawaku ke dunia kenangan dan imajinasi yang luar biasa. Aku baru menyelesaikan membacanya hari ini, pada suatu siang yang panas namun angin berhembus dengan sedang dan stabil sehingga mengantarkan hawa dingin yang menjalari kulitku. Jika ada yang menebak di jam satu lebih sepuluh menit siang aku belum mandi, itu adalah jawaban yang sangat-sangat benar. Hahaha..

Hampir satu bulan, waktu yang bagiku cukup lama untuk menuntaskan membaca sebuah buku. Sebenarnya aku memasang target untuk menyelesaikannya sebelum lebaran dan sesudah lebaran aku sudah memulai Rectoverso. Namun dayaku tak kuasa melawan malas dan sesampainya di rumah harus sabar menunggu Madre selesai dibaca oleh saudara-saudaraku. Tulisan ini jauh dari unsur review ataupun resensi. Bukan juga ceritaku tentang buku-buku yang telah selesai kubaca, yang aku sendiri lebih suka menyebutnya sebagai catatan kecil. Memang sejak awal memutuskan untuk menjelajahi karya-karya Dee, aku sudah berniat tak menulis catatan kecil untuk buku-bukunya. Selain sudah cukup terlambat mengenalnya, aku juga takut tulisanku justru hanya akan menodai karya-karyanya yang begitu luar biasa.

Tak ada sesuatu yang menyapaku lebih selain rasa kagumku akan tulisan-tulisan Dee ketika membaca bab-bab awal buku Madre. Jika di buku Filosofi Kopi (pertama kalinya aku berkenalan dengan Dee lewat tulisannya) aku dibuat misuh-misuh tak karuan di tiap akhir tulisannya yang sungguh diluar dugaan dan tak tertebak, kali ini aku sudah mulai terbiasa dan bisa mengikuti alur yang Dee sajikan. Namun dua cerita pendek terakhir buku ini, "Guruji" dan "Menunggu Layang-Layang" tak lagi membawaku ke alam imajinasi, tapi memaksaku untuk membuka lagi lembaran-lembaran kenangan yang telah tersusun rapi di arsip memory. Pikiranku telah terseret ke ingatan-ingatan dan pengalaman-pengalaman yang mulai berlesatan di kepala yang memanggil-manggil untuk segera dihamburkan dalam ruang khayal.

Guruji. Sebenarnya tak ada kesamaan kisah antara aku dan tokoh di cerita ini. Yang sama adalah kesamaan nama, Ari. Namun karena inilah, aku kembali mempertanyakan arti namaku yang aku sendiri tak pernah paham. Memiliki nama Ari kadang membuatku berpikir kenapa dulu orang tuaku tak memilih nama lain yang terdengar lebih keren. Ari, nama yang cukup pasaran. Nama yang lazim digunakan oleh laki-laki tapi tak sedikit pula perempuan yang memakainya. Aneh dan membingungkan, setidaknya menurutku. Aku si pemilik nama Ari pernah malu dengan nama Ari dan dipermalukan karena nama Ari oleh ibu yang memiliki anak perempuan bernama Ari. Ibu itu adalah guru Bahasa Indonesiaku waktu kelas dua SMP. Waktu itu seperti tak berdosa dan dengan santainya si ibu berbicara kalau Ari berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti anak perempuan. Aku yang saat itu duduk tepat di hadapannya hanya mampu menunduk malu mendengar celetukan-celetukan di kelas yang begitu ramai. Aku sempat down dan menjadi anak yang rendah diri waktu itu. Sempat kutanyakan ini pada Bapak dengan marah, beliau hanya menjawab "Jenengmu kuwi artine apik" tanpa mau memberi tahu maksud pemberian nama itu.

Ingatan tentang sebuah nama Ari melompat ke ingatan lainnya. Memiliki nama yang sama dalam satu kelas itu rasanya nggak enak banget. Hal ini kualami ketika kelas satu dan tiga SMA. Dan parahnya, di kelas tiga SMA nama ini dipakai oleh dua orang yang berjenis kelamin beda. Tentu saja hal ini menjadi bahan bercandaan utama yang mengundang tawa mereka ketika dengan sengaja mereka memanggil "Ari" dan memaksa kami berdua yang sama-sama merasa memilikinya menoleh. Tapi untunglah sekarang aku sudah tak begitu memedulikannya. Yang aku tahu, setiap nama adalah doa. Dan aku yakin tak ada orang tua yang mendoakan anaknya jelek. Apalah arti sebuah nama, begitu kata orang. Hehehe..

Tentang cerita "Menunggu Layang-Layang", aku dibawa mundur ke waktu disaat aku berada di posisi Christian yang terjebak di tengah-tengah hubungan antara Rako dan Starla. Aku ingat betul dimana dilemanya aku waktu itu yang berusaha harus tetap netral, menjaga agar sebisa mungkin tetap di tengah. Aku yang dijadikan keranjang sampah bagi keduanya harus menelan lalu memuntahkan kembali sampah dari satunya sebelum aku menelan sampah dari lainnya untuk kumuntahkan lagi. Begitu seterusnya, aku harus memastikan keranjangku kosong dari sampah sebelum menerima sampah lainnya. Hingga akhirnya hubungan itu harus berakhir, aku bisa dibilang orang yang paling tersiksa dan menangis daripada mereka yang menjalani. Usahaku untuk membuat mereka setidaknya tak saling menghindar cukup berat. Seringkali persahabatan berakhir dengan percintaan dan seringkali percintaan berakhir dengan permusuhan. Aku tahu betul hal itu.

Ada kalimat yang menyentakku di cerita ini. "Kamu ingin cinta, tapi takut jatuh cinta. Kadang-kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan." Apakah itu yang terjadi padaku? Entahlah.. :)

Jika menganggap ini adalah 'curcolku',
mungkin saja begitu. :p
*lanjut baca Rectoverso*



Salam,

@AriOtnaigus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar