Selasa, 27 Agustus 2013

Cukup Mengagumimu

Beberapa pasang mata abege cewek tak berkedip melihatnya memasuki toko buku yang sedang ramai pengunjung. Ada perasaan mengenal, namun mereka tak cukup berani menyapanya. Mereka terdiam dan masih tak percaya dengan sosok yang baru saja melintas di hadapan mereka. Tapi banyak yang tak menyadari kedatangannya yang tiba-tiba, mungkin memang mereka cenderung tak merasa mengenalnya. Lelaki kurus berkacamata minus dengan kemeja putih dan celana jeans itu tepat berhenti di depan rak buku laris. Matanya terfokus pada dua buah buku yang dipajang berdampingan. Bibirnya tersenyum kecil, ada kepuasan terlukis disana. Tangan kanannya meraih sebuah buku, diikuti tangan kirinya yang mengambil buku lainnya. Cukup lama dia memandangi keduanya yang masih terbungkus plastik rapi. Pikirannya tanpa sadar terseret ke ingatan-ingatan masa lalunya. Kenangan-kenangan mulai memenuhi kepalanya dengan cepat.

***
Perempuan itu adalah penulis yang sudah menerbitkan dua buku waktu itu. Sementara dia adalah pengagum karya-karyanya yang bermimpi menjadi penulis. Perkenalan mereka berlangsung sepihak dan terjadi tanpa jabat tangan. Dia yang menjadi sang pengagum yang merasa mengenal dekat dengan idolanya melalui karya-karyanya, sedangkan sang idola tak pernah tahu dia siapa.

Mereka benar-benar bertemu secara tatap muka pada acara peluncuran buku ketiga perempuan itu. Disitulah pertama kalinya dia melihat secara langsung mata hitam bulat dengan alis tebal, rambut hitam ikal sebahu dan wajah oval dengan tahi lalat dibawah mata sebelah kiri yang biasanya hanya dia lihat dalam foto-foto di bukunya atau di akun-akun sosial medianya. Rupanya rasa kagum itu telah berubah menjadi rasa cinta pada pandangan pertama. Dia sempat tak ingin mengakui perasaannya. Terlalu dini untuk disebut sebagai cinta, menurutnya waktu itu. Namun setiap dia berbicara, ada getaran asing yang telah lama tak dirasakannya. Setiap dia tersenyum, jantungnya semakin berdetak cepat, tak bisa dikendalikannya.

"Mas, yang pakai kacamata ada yang ingin ditanyakan?" Suara itu mengembalikan dirinya dari alam fantasinya. Semua mata yang hadir tertuju padanya. Sepertinya perempuan itu tertarik padanya karena ketika yang lain antusias mengajukan pertanyaan kepadanya, dia hanya melongo dengan tatapan tajam pada perempuan yang dikaguminya itu. Kedua pasang mata itu kini bertemu. Keringat dingin membanjiri tubuhnya ketika mata mereka saling beradu.

"Kamu manis." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Wajahnya memerah. Kemudian tersenyum.
Seisi ruangan tertawa. "Oh, makasih." Jawabnya sembari tersenyum. "Ada yang ingin ditanyakan?" Lanjutnya, masih dengan senyum khasnya. Senyuman yang membuatnya membisu. Tak tahu harus berkata apa. Pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkannya dari rumah tiba-tiba sembunyi entah dimana.  Dia menggeleng. Lalu menyodorkan tiga buku dan sebuah pulpen. Perempuan itu ternyata mengerti maksudnya. "Spesial buat kamu." Kebahagiaan yang tak mampu diungkapkannya ketika melihat tanda tangan idolanya tercetak di ketiga buku yang dia bawa.

***

Satu hari dia mengetahui ada lomba menulis buku yang diadakan sebuah penerbit dan penulis perempuan yang dikaguminya menjadi salah satu jurinya. Inilah saatnya menunjukkan bakatnya selama ini. Inilah saatnya mewujudkan mimpinya menjadi penulis. Inilah kesempatan dimana idolanya akan menilai karyanya. Selama ini, dia hanya menulis di blog pribadinya yang sepi pengunjung. Puluhan cerpen yang tak jadi diikutkan lomba atau dikirim ke surat kabar hanya teronggok di meja kamarnya. Begitu pun dengan beberapa draf buku setengah jadi yang tak pernah sampai ke meja penerbit karena ketidak percayaan dirinya. Kali ini sesuatu yang sangat besar mendorongnya untuk mengalahkan rasa tidak percayanya pada kemampuan dirinya.

Bakat itu memang ada pada dirinya. Dia menjadi juara tiga, namun bukunya lebih dulu diterbitkan daripada juara satu ataupun juara dua. Konon, itu karena desakan penulis perempuan yang dikaguminaya dengan alasan ceritanya sesuai selera pasar saat itu.

"Selamat. Semoga sukses." Ucapan ini menjadi motivator baginya saat bukunya mulai diterbitkan. Peluncuran buku perdananya bersamaan dengan peluncuran buku keempat penulis perempuan yang dikaguminya itu. "Tenang saja. Pasti laku kok. Setiap buku akan menemui pembacanya dengan caranya sendiri." Kata-katanya seakan mengerti apa yang sedang digelisahkannya. Dia melihat senyum itu lagi, namun kali ini senyum itu menenangkannya. Tak ada lagi keringat dingin yang terpancing oleh kedahsyatan senyumannya.

Kedua buku itu sukses di pasaran. Keduanya menjadi buku laris di toko-toko buku. Di bulan keenam setelah peluncuran perdana, bukunya telah memasuki cetakan ketiga, sementara buku dia sudah di cetakan keempat.

"Terima kasih untuk dukungan, inspirasi dan kepercayaan yang telah kamu berikan selama ini. Ini adalah mimpiku. Dan ternyata lewat tanganmu lah semua itu terwujud." Katanya dalam sebuah pesan singkat untuk dia. "You deserve it. :)" Balasnya.

Jatuh cinta. Itulah yang sedang melanda dirinya. Tapi cinta itu tak pernah terucap. Cinta itu tak pernah dikatakannya. Cinta itu tak pernah diketahui oleh dia. Hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Tak ada hubungan yang lebih indah dari persahabatan. Namun tak ada yang lebih sakit dari menyimpan cinta untuk dikecap sendiri. Dalam lubuk hatinya, dia masih menyimpan asa. Barangkali saja,suatu saat nanti sahabat itu bisa dimilikinya. Seutuhnya.

***

Seperti biasanya, sehabis temu blogger mereka selalu menghabiskan sisa malam dengan bercerita panjang lebar, tentang apa saja. Malam itu dia bercerita tentang berakhirnya hubungannya dengan pacarnya yang diwarnai putus nyambung berkali-kali selama dua tahun masa pacaran mereka. "Apa yang membuatmu bahagia? Tanyanya pada satu malam di akhir curhat mereka. "Bahagiaku adalah melihatmu bahagia." Tapi semua itu tak berlaku hari ini. Hari ini adalah hari pernikahan penulis perempuan yang dikaguminya itu. Suaminya adalah penyanyi terkenal. Mereka hanya pacaran dua bulan sebelum mereka memutuskan menikah hari ini. Dia sudah mengetahui hal ini akan terjadi. Hanya menunggu waktu. Namun hari ini dia memilih untuk tidak hadir. Dia belum cukup lkhlas tersenyum untuk senyuman mereka.

"Ini Mas Tian Ramadhan, kan? Aku menyukai bukumu. Boleh minta tanda tangan dan foto bareng kan?"

Dia melihat cewek dengan mata hitam bulat dengan alis tebal, rambut hitam ikal sebahu dan muka oval tepat di sebelah kiri cewek yang berbicara padanya. Hanya saja, tak ada tahi lalat di sebelah bawah mata kirinya. Tahi lalatnya terletak di ujung bawah lubang hidung kanannya. Manis sekali.

"Boleh kan, Mas? Mas?" Dia tersentak. "Ya."

Kedua cewek abege itu meninggalkannya setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia mencoba tetap tersenyum. Kedua buku yang dipegangnya tadi dikembalikan ke tempatnya. "Setidaknya di rak buku ini nama kita bersanding." Ucapnya lirih.

"Cukup mengagumimu, begitulah caraku mencintaimu." Katanya dalam hati. Dengan sisa-sisa senyum yang dimilikinya dia berjalan keluar dari toko buku itu.




Teruntuk sahabat yang tak pernah bisa memeluk cintanya.

Salam,
@AriOtnaigus :)

Minggu, 18 Agustus 2013

Untuk Sebuah Keputusan

Untuk sebuah keputusan
Aku memasukkan diri di ruang keraguan
Diantara banyak pilihan
Berpikir tentang ribuan kemungkinan
Menentukan jalan terbaik yang tak pernah berjanji mengantar ke tujuan

Untuk sebuah keputusan
Aku mengunci diriku dalam kamar bimbang yang tak pernah nyaman
Semua tanya masih meraba jawabannya
Segala harapan belum menerima kepastian
Ramalan akan masa depan seperti dunia kira-kira
Membawaku ke alam khayalan dan memaksaku untuk berandai saja

Untuk sebuah keputusan
Setiap malam aku terjaga
Memanjat doa dan bersahabat dengan air mata
Mencari ketenangan perasaan dalam khusyuk sujud yang kupersembahkan

Untuk sebuah keputusan
Kuikhlaskan akalku dijajah resah
Kurelakan hatiku dijarah gelisah

Untuk sebuah keputusan
Kututup mulutku pada mereka yang tak percaya
Akan aku, kamu dan hubungan indah kita

Untuk sebuah keputusan
Kusumbat telingaku untuk suara-suara mereka
Yang mengatakan kita tak mungkin bahagia

Untuk sebuah keputusan
Kubiarkan tubuhku tak bergerak
Diam mematung seakan tak menahu
Tentang anggapan mereka bahwa kita buta akan makna cinta

Untuk sebuah keputusan
Telah kulalui keraguan
Telah kulewati rasa bimbang
Telah kukenyangkan perasaanku pada resah dan gelisah
Telah kucukupkan diriku menjadi tuli dan buta

Untuk Sebuah keputusan
Kamu..





@AriOtnaigus

Sabtu, 17 Agustus 2013

Ceritaku Tentang Bulutangkis Indonesia

Sesuatu yang agak aneh (bahkan menurutku) ketika tiba-tiba aku bercerita tentang bulutangkis. Sebelumnya aku ucapkan "SELAMAT" kepada Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Muhammad Ahsan/Hendra Setiawan yang telah berhasil menjadi juara dunia bulutangkis. Terima kasih kupersembahkan untuk mereka yang telah memberikan kado indah untuk kemerdekaan Indonesia yang telah mencapai usianya yang ke enam puluh delapan tahun. Di tengah euforia masyarakat akan keberhasilan mereka, banyak yang belum tahu perjuangan mereka di lapangan. Sungguh ironis, ketika kita dengan mudah menyaksikan pertandingan Barcelona atau Manchester United tapi sulit untuk menyaksikan perjuangan atlet kita yang bertanding membawa nama negara. Akan dengan mudah untuk kita melihat selebrasi Lionel Messi setelah mencetak gol, namun jarang kita melihat selebrasi seorang Liliyana Natsir ketika mendapat poin atau memenangkan pertandingan.

Tentu saja dua gelar juara dunia ini adalah angin segar bagi bulutangkis Indonesia. Ada orang yang menganggap kemenangan ini biasa saja karena dulu Susi Susanti, Riky/Rexy dan lainnya juga meraih hal serupa. Itu hal yang wajar karena tak banyak yang tahu kalau bulutangkis Indonesia pernah mengalami penurunan prestasi dan puncak kemrosotan itu terjadi di tahun 2012 dimana tradisi emas bulutangkis Olimpiade terputus. Olimpiade London 2012 adalah mimpi buruk bagi bulutangkis Indonesia. Indonesia gagal mendapat medali dan parahnya pemain ganda putri Indonesia terlibat kasus kecurangan yang sangat memalukan. Saking kecewanya, aku tak pernah mau menganggap Olimpiade London ada dan tak mau mengakui pemenangnya sebagai juara olimpiade. Tapi ada hal positif yang didapat dari kegagalan ini, yaitu mantan-mantan pemain bulutangkis yang dulu enggan mengurusi langsung kini bersedia bergabung dan terlibat dalam kepengurusan dan kepelatihan.

Aku yakin kalau 2013 adalah titik dimana bulutangkis Indonesia akan kembali meraih prestasi terbaiknya. Masa gelap itu pasti akan berlalu. Aku secara pribadi menaruh harapan besar pada pemain-pemain muda terutama Angga Pratama, Suci Rizky Andini dan Tiara Rosalia Nuraidah. Entahlah kenapa harus tiga orang itu. Mungkin cukup subyektif, namun aku melihat potensi besar pada mereka.

Inilah pendapatku untuk masing-masing sektor:

Tunggal Putra
Bulutangkis Indonesia memiliki sejarah bagus di sektor ini. Nama-nama seperti Rudi Hartono, Liem Swie King, Alan Budikusuma, Ardy Wiranata, Haryanto Arbi, Joko Supriyanto, Hermawan Susanto, Hendrawan dan Taufik Hidayat pernah mencatatkan namanya sebagai yang terbaik di kejuaraan-kejuaraan internasional. Untuk sekarang, Sony masih yang terbaik menurutku. Tommy yang baru saja meraih gelar di Singapura dan Hayom masih harus banyak pembuktian untuk meraih prestasi seperti pendahulu-pendahulunya. Simon sudah sulit diharapkan. Harapanku justru muncul untuk Jonathan Christie.

Angga Pratama
Ganda Putra
Ini adalah sektor andalan bulutangkis Indonesia sejak dulu. Dari enam medali emas yang pernah diraih Indonesia di olimpiade, setengahnya disumbang dari sektor ini. Riky/Rexy di tahun 1996, Chandra/Tony tahun 2000 dan Hendra/Markis di tahun 2008. Riky Subagja, Rexy Mainaky, Rudy Gunawan, Chandra Wijaya, Sigit Budiarto, Halim Haryanto, Tony Gunawan, Eng Hian dan masih banyak lagi nama-nama yang sukses meraih banyak gelar dari sektor ini. Jika sekarang perhatian tersedot untuk Ahsan/Hendra, aku justru tertarik mengikuti kelanjutan prestasi Angga Pratama/Rian Agung Saputro. Aku sangat menikmati setiap pertandingan mereka. Hanya menunggu faktor X menghampiri mereka untuk berdiri di podium tertinggi, karena syarat untuk menjadi juara sudah ada pada mereka. Aku melihat ada 'juara' di tengah nama Angga Pratama. Anak ini yang (mungkin) akan mewarisi kesuksesan senior-seniornya. Berharap pula pada Rendy Sugiarto, Berry Angriawan dan Muhammad Ulinnuha.

Tunggal Putri
Sulit menemukan penerus kesuksesan Susi Susanti dan Mia Audina di nomor ini. Sempat muncul harapan ketika Maria Kristin Yulianti mampu meraih medali perunggu olimpiade di tahun 2008, namun setelah itu Indonesia harus bersabar lagi. Lindaweni dan Bellatrix yang sekarang sedikit memberikan asa, yang lainnya entahlah.

Ganda Putri
Suci Rizky Andini
Tiara Rosalia Nuraidah

Hanya sektor ini yang belum pernah menyumbangkan gelar juara dunia dan medali olimpiade. Bahkan nama-nama seperti Lili Tampi/Finarsih dan Eliza/Zelin yang menjadi bagian merebut dan mempertahankan piala uber tahun 1994 dan 1996 belum bisa meraih banyak gelar bergengsi. Untuk sekarang, entah kenapa aku tak pernah berharap banyak pada Greysia Polii. Justru aku sangat berharap pada Suci dan Tiara. Jika mereka mau berpasangan (lagi), semoga saja ada sedikit nafas untuk sektor ini.

Ganda Campuran
Semoga estafet prestasi di nomor ini terus terjaga. Sejak Nova Widianto/Lilyana Natsir dan Flandy Limpele/Vita Marisa hingga sekarang Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir., sektor ini masih menjadi andalan Indonesia selain ganda putra. Sempat berharap pada Riky Widianto/Jenna Gozali, namun entah kenapa Jenna lebih memilih ganda putri. Ada keinginan pula melihat Angga/Tiara bermain di nomor ini. Tapi dengan tim ganda campuran yang sekarang, aku masih yakin prestasinya masih akan terus berlanjut.

Semoga pemerintah memberikan perhatian khusus pada olahraga-olahraga yang sering mengharumkan nama bangsa seperti bulutangkis dan angkat berat. Tak ada yang salah dengan bermimpi menjadi juara dunia sepakbola. Tapi kenyataannya bulutangkislah yang telah menjadi juara dunia (berkali-kali). INDONESIA, BISA!! :)




Salam,

@AriOtnaigus


*gambar diambil dari sini

Selasa, 13 Agustus 2013

Ceritaku Setelah Baca #Madre - Dee (Bukan Review)

Rasanya ada yang aneh ketika mengetikkan huruf demi huruf di blog ini lagi setelah satu bulan lebih tidak mengotorinya dengan sampah-sampah perasaan yang jelas-jelas tidak penting dan cenderung konyol. Entahlah, satu bulan kemarin virus malas akut sedang menyerangku begitu dahsyatnya. Padahal keinginan untuk menumpahkan perasaan dalam bentuk tulisan begitu besar. Tapi hari ini ada sesuatu yang sangat kuat mengusikku sehingga mampu mengalahkan rasa malas yang sangat besar.

Buku Madre karya Dewi Lestari (yang bernama pena Dee) yang kubeli pertengahan puasa lalu  dan yang menemani mudikku ke tempat penuntasan rinduku dimana cinta begitu tumbuh subur disana telah membawaku ke dunia kenangan dan imajinasi yang luar biasa. Aku baru menyelesaikan membacanya hari ini, pada suatu siang yang panas namun angin berhembus dengan sedang dan stabil sehingga mengantarkan hawa dingin yang menjalari kulitku. Jika ada yang menebak di jam satu lebih sepuluh menit siang aku belum mandi, itu adalah jawaban yang sangat-sangat benar. Hahaha..

Hampir satu bulan, waktu yang bagiku cukup lama untuk menuntaskan membaca sebuah buku. Sebenarnya aku memasang target untuk menyelesaikannya sebelum lebaran dan sesudah lebaran aku sudah memulai Rectoverso. Namun dayaku tak kuasa melawan malas dan sesampainya di rumah harus sabar menunggu Madre selesai dibaca oleh saudara-saudaraku. Tulisan ini jauh dari unsur review ataupun resensi. Bukan juga ceritaku tentang buku-buku yang telah selesai kubaca, yang aku sendiri lebih suka menyebutnya sebagai catatan kecil. Memang sejak awal memutuskan untuk menjelajahi karya-karya Dee, aku sudah berniat tak menulis catatan kecil untuk buku-bukunya. Selain sudah cukup terlambat mengenalnya, aku juga takut tulisanku justru hanya akan menodai karya-karyanya yang begitu luar biasa.

Tak ada sesuatu yang menyapaku lebih selain rasa kagumku akan tulisan-tulisan Dee ketika membaca bab-bab awal buku Madre. Jika di buku Filosofi Kopi (pertama kalinya aku berkenalan dengan Dee lewat tulisannya) aku dibuat misuh-misuh tak karuan di tiap akhir tulisannya yang sungguh diluar dugaan dan tak tertebak, kali ini aku sudah mulai terbiasa dan bisa mengikuti alur yang Dee sajikan. Namun dua cerita pendek terakhir buku ini, "Guruji" dan "Menunggu Layang-Layang" tak lagi membawaku ke alam imajinasi, tapi memaksaku untuk membuka lagi lembaran-lembaran kenangan yang telah tersusun rapi di arsip memory. Pikiranku telah terseret ke ingatan-ingatan dan pengalaman-pengalaman yang mulai berlesatan di kepala yang memanggil-manggil untuk segera dihamburkan dalam ruang khayal.

Guruji. Sebenarnya tak ada kesamaan kisah antara aku dan tokoh di cerita ini. Yang sama adalah kesamaan nama, Ari. Namun karena inilah, aku kembali mempertanyakan arti namaku yang aku sendiri tak pernah paham. Memiliki nama Ari kadang membuatku berpikir kenapa dulu orang tuaku tak memilih nama lain yang terdengar lebih keren. Ari, nama yang cukup pasaran. Nama yang lazim digunakan oleh laki-laki tapi tak sedikit pula perempuan yang memakainya. Aneh dan membingungkan, setidaknya menurutku. Aku si pemilik nama Ari pernah malu dengan nama Ari dan dipermalukan karena nama Ari oleh ibu yang memiliki anak perempuan bernama Ari. Ibu itu adalah guru Bahasa Indonesiaku waktu kelas dua SMP. Waktu itu seperti tak berdosa dan dengan santainya si ibu berbicara kalau Ari berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti anak perempuan. Aku yang saat itu duduk tepat di hadapannya hanya mampu menunduk malu mendengar celetukan-celetukan di kelas yang begitu ramai. Aku sempat down dan menjadi anak yang rendah diri waktu itu. Sempat kutanyakan ini pada Bapak dengan marah, beliau hanya menjawab "Jenengmu kuwi artine apik" tanpa mau memberi tahu maksud pemberian nama itu.

Ingatan tentang sebuah nama Ari melompat ke ingatan lainnya. Memiliki nama yang sama dalam satu kelas itu rasanya nggak enak banget. Hal ini kualami ketika kelas satu dan tiga SMA. Dan parahnya, di kelas tiga SMA nama ini dipakai oleh dua orang yang berjenis kelamin beda. Tentu saja hal ini menjadi bahan bercandaan utama yang mengundang tawa mereka ketika dengan sengaja mereka memanggil "Ari" dan memaksa kami berdua yang sama-sama merasa memilikinya menoleh. Tapi untunglah sekarang aku sudah tak begitu memedulikannya. Yang aku tahu, setiap nama adalah doa. Dan aku yakin tak ada orang tua yang mendoakan anaknya jelek. Apalah arti sebuah nama, begitu kata orang. Hehehe..

Tentang cerita "Menunggu Layang-Layang", aku dibawa mundur ke waktu disaat aku berada di posisi Christian yang terjebak di tengah-tengah hubungan antara Rako dan Starla. Aku ingat betul dimana dilemanya aku waktu itu yang berusaha harus tetap netral, menjaga agar sebisa mungkin tetap di tengah. Aku yang dijadikan keranjang sampah bagi keduanya harus menelan lalu memuntahkan kembali sampah dari satunya sebelum aku menelan sampah dari lainnya untuk kumuntahkan lagi. Begitu seterusnya, aku harus memastikan keranjangku kosong dari sampah sebelum menerima sampah lainnya. Hingga akhirnya hubungan itu harus berakhir, aku bisa dibilang orang yang paling tersiksa dan menangis daripada mereka yang menjalani. Usahaku untuk membuat mereka setidaknya tak saling menghindar cukup berat. Seringkali persahabatan berakhir dengan percintaan dan seringkali percintaan berakhir dengan permusuhan. Aku tahu betul hal itu.

Ada kalimat yang menyentakku di cerita ini. "Kamu ingin cinta, tapi takut jatuh cinta. Kadang-kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan." Apakah itu yang terjadi padaku? Entahlah.. :)

Jika menganggap ini adalah 'curcolku',
mungkin saja begitu. :p
*lanjut baca Rectoverso*



Salam,

@AriOtnaigus