Rabu, 27 Februari 2013

Ceritaku Tentang #NovelTakSempurna ~ Fahd Djibran - BondanF2B

Aku tak tahu apakah tulisan ini termasuk review atau resensi, namun aku lebih suka menyebutnya sebagai 'catatan kecil'--walaupun mungkin terlalu panjang dan membosankan. Jika kau mempunyai cukup waktu dan bersedia meluangkan sebagian kecil waktumu itu, aku berharap kau mau membaca catatan ini sampai selesai. Catatan ini berisi ceritaku tentang novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran - Bondan Prakoso & Fade2Black. Bagaimana aku mendapatkannya, bagaimana caraku membaca dan memahami isi dan maksud buku ini, sensasi apa yang kudapat setelah baca novel ini dan sedikit 'curcolku'. Hehehe...

Aku membeli Novel Tak Sempurna, Sabtu, 23 Februari 2013 di Toga Mas Diponegoro Surabaya. Selain Tak Sempurna, aku juga membeli Sadgenic - Rahne Putri yang sudah lama aku incar, tetapi baru kemarin kesampaian. Dan akhirnya mempertemukannya dengan "pasangannya" Dear Zarry's - Zarry Hendrik --yang lebih dulu kubeli di ruang bacaku. Mengapa tidak ikut PO? Meskipun mereka menawarkan tanda tangan asli dari para penulisnya, namun aku juga memiliki beberapa alasan yang cukup prinsipil bagiku untuk seakan acuh pada tawaran yang sebetulnya cukup menggiurkan. Salah satu alasan itu adalah aku masih menyimpan 'keinginan', barangkali saja waktu dan kesempatan mengizinkan aku dan mereka (Fahd, Bondan, Tito, Santoz dan Eza) untuk bertatap muka, bersalaman secara langsung dan sedikit mengobrol. Sedikit saja. Walaupun aku tak tahu apakah aku cukup siap jika itu benar-benar terjadi. Jika itu terkesan berlebihan, mungkin saja melihat mereka menandatangani buku-buku dan CD-CD karya mereka yang kumiliki di hadapanku, rasanya cukup. Untuk kalimat yang terakhir aku masih menjaga asa. Terdengar konyol memang. Tapi.. Hahaha..



Novel Tak Sempurna adalah buku keenam dari Fahd Djibran yang kubeli. Sebelumnya Hidup Berawal Dari Mimpi, Seribu Malam Untuk Muhammad, Yang Galau Yang Meracau, Perjalanan Rasa dan Curhat Setan. Tak Sempurna merupakan kali kedua Fahd Djibran berkolaborasi dengan Bondan Prakoso & Fade2Black. Bila yang pertama, HBDM (menjadi best seller nasional) mereka sebut sebagai 'fiksi musikal' dan banyak kujumpai di toko buku biasanya ditempatkan di rak psikologi. Kali ini Tak Sempurna hadir sebagai 'novel utuh' yang bercerita tentang hitam putihnya sekolahan, meski menurutku buku ini lebih banyak mengungkapkan sisi gelapnya. Kesan pertamaku melihat buku ini adalah cukup 'kelam', dilihat dari covernya yang bergambar seragam sekolah penuh bercak darah dan berlatar belakang merah darah.

"Jangan menilai buku dari sampulnya". Aku pikir aku akan merenung, mengerutkan dahi dan berpikir serius sepanjang membaca novel ini. Tapi kenyataannya sesekali aku dibuat tersenyum hingga tertawa terbahak-bahak secara tidak sadar pada beberapa chapter di buiku ini. Sebelum menulis ini, aku telah membaca novel Tak Sempurna sebanyak dua kali dengan sudut pandang yang berbeda. Yangf pertama, aku berperan sebagai 'murni' pembaca dan yang kedua aku memposisikan diriku sebagai Rama --tokoh utama dan pencerita di novel ini. Aku mundur ke beberapa tahun yang lalu, membayangkan dirikum berseragam putih abu-abu (lagi), namun kali ini aku adalah Rama dan kehidupannya. Tertnyata aku lebih mudah 'masuk' ke dalam cerita dan lebih mendapatkan feel cerita ini dengan cara yang kedua. Walaupun sebenarnya aku paling menyukai sosok Heru di novel ini. Tokoh Heru sangat menghiburku, aku merasa menemukan sebagian diriku ada di dalam dirinya.

Aku menyiapkan playlist lagu-lagu BF2B yang ada dalam novel ini untuk ikut bernyanyi ketika lirik-liriknya muncul di lembaran-lembaran buku ini, mungkin supaya lebih 'terhanyut' atau mempause sejenak untuk mengendorkan kekauan dan keseriusan. Playlist lagu: S.O.S (Save Our Soul); R.I.P (Rhyme In Peace); Terinjak Terhempas; Ya Sudahlah; It's Not A Good Bye; Pelita Hidup; Tak Terkalahkan; Home; Tak Sempurna; Kita Selamanya; Bunga; Xpresikan.

Memang tidak mudah menyelesaikan masalah pendidikan yang begitu kompleks, tetapi novel ini mencoba mengurai satu per satu masalah yang 'melilit' dunia pendidikan. Seperti tamparan keras untuk dunia pendidikan, novel ini mengritik sekolahan dengan cara yang cerdas. Membongkar kebohongan-kebohongan sekolah yang diwariskan secara turun-temurun. Gaya bahasa yang sederhana dan mudah dicerna justru menjadi kekuatan buku ini. Novel ini sebenarnya kutargetkan selesai membacanya paling cepat satu minggu setelah aku membelinya. Tapi isi buku ini menantangku, kata-kata dalam novel ini menghipnotisku untuk membalik halaman demi halaman novel ini hingga tamat.

Novel ini menggunakan dua sudut pandang . Sudut pandang yang pertama dari orang pertama sebagai tokoh utama bernama Rama Aditya Putra. Dia bercerita tentang sekolahannya, perasaannya, harapannya,  kehidupannya dan menyampaikan pendapat-pendapatnya yang aku rasa cukup mewakili pelajar-pelajar dan korban-korban dari sistem industri yang kedua, sekolah. Sudut pandang yang kedua adalah dari orang ketiga di luar cerita --yang dalam novel ini disebut "Interlude". Ada 6 interlude disini yang berisi narasi, fakta-fakta yang mencengangkan, gagasan-gagasan dari orang-orang yang peduli dengan pendidikan atau sekadar mengajak kita jeda sejenak dengan lirik dari lagu BF2B. Ada tulisan dan gagasan dari Yusuf Gigan, Hiroshi Yoshimoto, Soe Hok Gie dan Thomas Lickona di novel ini. Tapi yang paling menghanyutkanku adalah sajak dari Pablo Neruda di hal. 183-184.

Alur yang digunakan dalam novel ini adalah "maju-mundur". sehingga untuk beberapa kali kita akan diajak flashback pada kejadian-kejadian yang pernah terjadi di kehidupan tokoh utama, Rama. Seperti pohan yang tak hanya tumbuh lurus, namun juga bercabang. Walau fokus buku ini adalah mengupas hitamnya dunia sekolah, khususnya tawuran. Akan tetapi, hal-hal lain yang mendukung terbentuknya karakter tokoh-tokohnya juga dibahas di novel ini, seperti bullying, persahabatan, cinta, keluarga 'broken home', narkoba dan seks bebas. Aku sebenarnya tertarik ketika buku ini menyinggung tentang disabilitas, orang-orang berkebutuhan khusus yang sangat berhak memiliki masa depan dan kesempatan yang sama dengan orang-orang normal. Sayang, hanya sedikit saja dibahasnya.

Menurutku, membaca novel ini tidak bisa hanya dengan kepala saja atau hati saja. Pikiran dan perasaan harus bersinergi untuk dapat mengerti maksud, tujuan dan harapan penulis. Novel ini (berani) jujur dan tidak munafik. Banyak kata-kata kasar dan kotor tanpa sensor dalam cerita ini. Menurutku sensor merupakan bentuk kemunafikan. Sementara perubahan tidak bisa terwujud dengan kebohongan-kebohongan. Bila menganggap buku ini mengajari untuk berkata kotor, aku rasa salah besar. Justru buku ini menceritakan kenyataan yang benar-benar nyata. Kitalah yang harus lebih cerdas mencerna isi dan maksud buku ini, bukan menelannya mentah-mentah. Sebaiknya bagi para pelajar membaca buku ini bersama-sama dengan orang tua atau guru-guru. Duduk berdampingan dengan kepala dingin dan pikiran terbuka. Dan bagi para korban-korban industri ini --termasuk aku, kita harus memutus mata rantai ini, setidaknya pada anak-anak kita kelak dengan tidak menuntut mereka menjadi sesuatu yang kita inginkan, harus begini, harus begitu,belajar mendengarkan mereka dan 'mendidik' mereka dengan kasih sayang.

Izinkanlah aku bertanya, bercerita dan menyampaikan sedikit pendapatku:
  • Mengapa ijazah dinilai penting? karena menurutku negara ini masih menggunakan standarisasi nilai untuk menilai kecerdasan, sebagai syarat mendapatkan pekerjaan. Dan parahnya sekolah mendidik kita untuk 'mencari' bukan 'mencipta'.
  • Pernah suatu kali dengar, ada seorang sarjana pertanian  dengan IPK 3,.. belajar menanam melon pada petani kampung yang bahkan tak lul;us SD. Lalu apa gunanya nilai yang disebut 'cumlaude' itu?
  • Kita hanya dijejali dengan teori-teori, hafalan-hafalan dan logika-logika di sekolah. Jarang kita diperbolehkan untuk bertanya atau diizinkan untuk berimajinasi. Padahal menurut Einstein, logika cuma sanggup mengantarmu dari A ke B. Sementara imajinasi sanggup membawamu dari A ke tak terhingga.
  • Kita dicekoki sejarah-sejarah yang penuh kebohongan. Bukankah untuk 'hidup' kita harus belajar dari sejarah? Kalau begini berarti kita belajar kebohongan dan meneruskan kebohongan itu ke generasi berikutnya.
  • Agama dan moral dinilai dengan angka-angka. Apakah angka-angka itu menentukan kita di akhirat? Apa nilai 9 dapat menjamin kita mendapat tiket masuk surga?
  • Jika 10 tanda kemunduran suatu bangsa menurut Thomas Lickona di bagian akhir buku ini benar, berarti bangsa ini sudah sangat-sangat mundur, karena 10 tanda itu sudah nyata-nyata terjadi.
Tentu harapan penulis, buku ini dapat membuka mata, hati dan pikiran pembacanya untuk lebih 'jujur' dan memaknai hidup, bukan sekadar bacaan atau hiburan. Dan pesan yang paling penting yang aku tangkap dari buku ini adalah bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan pendidikan.

Ada 2 pelajaran sederhana yang aku dapat dari novel ini:
  1. Memikirkan dahulu akibat-akibat sebelum menciptakan sebab, karena satu sebab mungkin saja menghasilkan lebih dari satu akibat. Dan akibat yang tidak mengenakkan selalu menghasilkan sesal.
  2. memelihara senyuman, karena senyum selalu menular. Senyum adalah energi positif sederhana yang murah, mudah dan membahagiakan banyak orang. Mungkin benar, "satu senyuman menghilangkan naluri saling menghancurkan".
Bagian yang cukup mewakiliku sebagai penikmat lagu-lagu BF2B adalah hal. 96 tantang tafsir lagu. "Aku tak peduli lagi pada apapun maksud pencipta lagu ini, apa cerita di sebaliknya atau untuk siapa lagu ini diciptakan.

Quotes favoritku di novel Tak Sempurna:
  • Jangan menjadi tawanan 'andai saja'! Kau harus tahu, kehidupan 'andai saja' adalah kehidupan yang hanya membuang-buang energi. Sia-sia belaka! (hal. 91)
  • Pasti ada jalannya, kalau kita kerja buat kebaikan, pasti bisa. (hal. 121)
  • Memang menyakitkan bahwa orang yang kita cintai hidup bahagia tanpa kehadiran kita di dalamnya, namun lebih menyakitkan jika kita bersama-sama dengannya tetapi gagl membuatnya bahagia. (hal. 154)
  • Kita akan lebih punya harga diri jika mengedepankan nilai-nilai persahabatan dan persaudaraan. Kita akan punya harga diri ketika kita bisa menghargai dan mencintai orang lain. Menolong satu sama lain! (hal. 219-220)
Kita tidak bisa menilai buku ini benar atau salah, karena buku ini hanya mencoba mengungkapkan kebenaran dan menunjukkan kesalahan. Benar atau salah biarlah menjadi urusan Gusti Dewata Mulia Raya. Semoga buku ini tidak 'ditunggangi' oleh para pemalas yang menjadikan buku ini alasan untuk tak sekolah sementara dia belum memiliki tujuan yang jelas pada hidupnya. Dan bagiku masa sekolah adalah "Good Time", asalkan "nakal tapi tatap kontrol".

Akhir novel ini terasa 'menggantung', seperti ada yang ingin ditulis tapi ditahan. Aku berharap novel ini ada lanjutannya. Ceritanya cukup filmis. Bila memang benar akan difilmkan, aku akn menantikan dan menontonnya meski harus 'merelakan' imajinasi yang kubangun saat membaca novel ini dengan imajinasi pembuat filmnya kelak. Novel ini sangat aku rekomendasikan untuk wajib dibeli dan dibaca. Terimakasih.. :)
TETAP SEMANGAT DAN TAK TERKALAHKAN!!


Salam,

@AriOtnaigus

Minggu, 17 Februari 2013

Rapuh

Kebanyakan wanita menyukai melihat warna-warni dari kelopak bunga yang bermekaran atau menatap bulan purnama dan bintang-bintang yang bertaburan di langit dari atas balkon, namun kau berbeda dari kebanyakan kaummu, meski tak aneh, hanya unik dan penuh misteri. Kau begitu suka memandang sarang laba-laba. Suatu hari aku pernah melihatmu dengan sangat serius memperhatikan seekor laba-laba yang sedang sibuk menyulam benang sarangnya dengan bentuk tak beraturan. Ketika aku mengganggu kesibukanmu itu dengan pertanyaan "Ada yang menarikkah dari sarang laba-laba itu?" Kau tampak kaget dan menjawab "Dia hanya misterius." Lalu kau pergi dan meninggalkan aku sendiri yang sebenarnya tak terlalu puas dengan jawabanmu.

Setelah hujan lebat yang seperti air tumpah dari atas membasahi tanah telah reda. Kita duduk santai di teras rumah, mengharapkan hadirnya pelangi yang tersenyum setelah tangisan yang luar biasa oleh sang langit. Sudah cukup lama kita tak melakukan hal seperti ini berdua. Kau terperanjat dari dudukmu menuju ke pohon jeruk yang kau tanam di dalam pot. Lagi-lagi laba-laba yang menyulam sarangnya menarik perhatianmu. Kau memperhatikan dengan seksama. Kembali aku bertanya "Ada yang menarikkah dari laba-laba yang sedang membangun sarangnya?". Aku berharap kali ini kau dapat sedikit memuaskanku dengan jawabanmu. Kau duduk kembali , setelah menghela nafas panjang kau mulai menjawab pertanyaanku. "Aku kagum dengan mereka, Don. Betapa tegarnya mereka, dengan keterbatasan yang mereka miliki mereka tak pernah menyerah. Mereka membangun kembali rumah mereka setelah hujan badai menghancurkannya, lagi dan lagi. Sendiri."

Berhari-hari aku merenung, memikirkan jawabanmu. Aku ingin kau tahu, aku tak ingin kau menjadi seperti laba-laba dengan sarangnya. Aku tak setuju denganmu. Menurutku mereka bukan tegar melainkan rapuh. Mereka tak benar-benar tegar. Ketegaran mereka semu. Sarang mereka adalah rumah yang paling rapuh dari rumah apapun. Aku juga sadar, kau menjadi orang yang pendiam, penyendiri dan misterius sejak kematian orang tuamu. Senyuman menjadi sesuatu yang mahal darimu. Suaramu menjadi sesuatu yang tertahan di kerongkonganmu. Kau lebih banyak menghabiskan waktumu di dalam kamar, berdiam, menutup diri dari dunia luar yang penuh warna.

Aisyah, aku ingin kau seperti dulu. Kau yang ceria, kau yang sangat suka bergaul, kau yang menebarkan cinta dengan senyummu walau sekali dua kau juga menangis. Aku baru menyadari sekarang, ternyata aku tak pernah melihat kau menangis lagi, air mata yang mengalir dari matamu kulihat terakhir kali waktu kau kehilangan orang tuamu tiga tahun lalu. Waktu itu tangismu pecah seakan itu adalah kesedihan terberat dalam hidupmu. Kau memperlihatkan ketegaranmu pada dunia, pada orang-orang dan terutama kepadaku. Tapi aku tak yakin kau benar-benar tegar. Dibalik ketegaran yang kau tampakkan, kau sebenarnya rapuh. Serapuh sarang laba-laba yang suka kau perhatikan.

Keluarlah Aisyah! Bicaralah! Tersenyumlah! Ceritakan padaku! Apa saja yang ingin kau ungkapkan. Menangislah! Kalau kau memang ingin menangis. Berbagilah denganku! Bahu ini selalu ada untukmu bersandar. Percayalah! Kau butuh teman bicara, teman yang mau mendengarkan perasaanmu. Aku berjanji akan menjadi pendengar yang baik untukmu. Kau tak usah berpura-pura tegar, tak usah merasa mampu menghadapi cobaan hidup sendirian.Tak perlu malu menunjukkan kerapuhanmu. Rapuh bukanlah kesalahan karena kita memang manusia, yang salah jika kau merasa semuanya akan baik-baik saja dengan menunjukkan ketegaranmu yang palsu. Maafkan aku, Aisyah. Maafkan aku yang terlalu lama mengabaikanmu. Terlalu lama tak menyadari jika ternyata kau bersembunyi dibalik topeng ketegaranmu. Sekarang, mari kita hadapi tantangan hidup berdua Aisyah. Sambutlah tanganku ini, genggamlah dan kita bergandengan menjalani perjalanan yang penuh liku ini bersama. Nyanyikanlah hidup ini dengan suara hati terindahmu. Kita pasti bisa. Kita kuat. Tersenyumlah dengan jujur, Aisyah. Tersenyumlah, adikku sayang. :)



Salam,

@AriOtnaigus

Sabtu, 09 Februari 2013

Merapikan Kata yang Berserakan

Rasa ini memang belum terucap, namun kuyakini suatu saat kan terungkap.

Ketika kehidupan memberikan tantangan, kita harus membayarnya dengan keberhasilan.

Senyumanmu adalah keindahan termahal yang selalu kurindukan.

Melangkah bukanlah hal yang mudah. Berjalan bukan perkara ringan. Tapi jika kau hanya diam, kau hanya akan melihat suram.

Bersabarlah! Aku masih berlayar. Percayalah! Kaulah pelabuhan terakhir untukku bersandar.

Tak ada yang benar-benar berakhir, karena akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu yang lain.

Hadirmu secara sederhana justru mampu menghapuskan bayangan kelam yang dulu kuanggap sesuatu yang istimewa.

Kehilangan mungkin cara Tuhan mengajari kita menjaga apa yang telah ada dalam genggaman.

Ketakutanku dalam cinta adalah keberanianmu mempermainkan hati.

Lebih baik merasa menyesal karena salah jalan daripada merasa beruntung karena diam.

Sentuhan kasihmu telah menyentuh ruang kosong di hatiku yang selama ini belum pernah tersentuh.

Angkuh akan membuatmu jatuh. Terjatuh adalah pengingat agar tak angkuh.

Tak perlu perjanjian dalam bercinta. Tak butuh alasan untuk mencinta. Tak ada persyaratan di percintaan.

Bergerak memang penuh resiko, namun bukan berarti diam tak beresiko. Sementara sukses hanya datang pada mereka yang bergerak, bukan diam.

Kau beranjak dari hatiku dengan meninggalkan kerak luka yang begitu pedih.

Mundur tak selalu berarti menyerah. Kadang mundur untuk menyiapkan lompatan yang lebih jauh.

Mencintai tapi tidak dicintai dan dicintai tapi tidak mencintai sama beratnya. Tak ada yang lebih baik.

Semua yang ditanam dengan setengah-setengah tak akan berbuah maksimal.

Rindu akan hadirmu dan kesal akan tingkahmu berbenturan dalam hatiku. Menghasilkan aku yang termenung dalam serpihan bimbang.

Menyerah dan merasa kalah tak akan mengenalkan dan mengantarkanmu pada nikmatnya berjuang dan perasaan menang.



penikmat rangkaian kata indah,
 
@AriOtnaigus

Minggu, 03 Februari 2013

Aku (bukan lagi) Lemah

Aku sedang bahagia. Aku ingin menuliskan kebahagiaan itu, namun aku bingung harus memulainya dari mana karena (mungkin) terlalu bahagianya aku. Berada di rumah adalah yang selalu aku rindukan, berada di tengah keluarga tercinta adalah kebahagiaanku yang tak mampu terkalahkan oleh apapun. Aku sadar ternyata aku terlalu banyak mengeluh di tempat rantau, terlalu mudah menyerah, terlalu sering mengaku kalah. Mungkin ini adalah bantahanku akan tulisanku sendiri sebelumnya "Aku Lemah". Sekarang aku menyadari bahwa aku hanya perlu merapikan mimipi-mimpiku yang berserakan, bukan tergesa-gesa untuk membuang atau menguburkannya. Mengapa harus takut dengan batas? Setinggi apapun dinding pembatas, pasti ada celah atau setidaknya banyak cara untuk melintasinya. Mengapa harus merasa kalah dan menyerah sebelum berjuang dan merasakan menang? Aku tak ingin jadi pecundang.

Di rumah ini, orang-orang tercinta membukakan mataku kembali. Aku harus terus berlari mengejar mimpi. Ketika aku tak mampu berlari, aku dapat berjalan perlahan, merangkak atau apapun itu aku harus bergerak walau hanya sejengkal dan tertatih. Terjatuh adalah pengingat agar tak angkuh. Gagal memang membuat mual, namun itulah langkah awal. Jika ternyata mimpi-mimpi berubah menjadi mimpi buruk, aku akan mengingat rumah. Aku akan pulang. Aku akan kembali, bukan untuk menyerah atau kalah. Aku mundur untuk bersyukur, karena di rumah "menyediakan" senyum-senyum tulus, pintu yang selalu terbuka, tangan-tangan yang senantiasa menyambutku dengan ikhlas di keadaan apapun. Rasanya tak ada tempat yang paling nyaman dari rumah. Suasana yang sulit digambarkan, namun selalu ada dalam ingatan. Suasana yang tak akan kau temukan dimanapun. Mungkin kau akan menyadarinya ketika kau meninggalkannya. Rasa rindu dan keinginan terbesar ketika kau jauh darinya adalah rasa rindu akan rumah dan keinginan untuk pulang. :)



Salam,

Ari