Selasa, 23 April 2013

#HappyWorldBookDay


Setahun terakhir ini aku sangat menyukai buku dan mencintai tulisan. Walau nggak banyak buku yang bisa kubeli, namun aku mendapat hal-hal baru yang belum pernah kudapati sebelumnya. Aku seperti diajak memasuki dimensi lain oleh buku. Aku menjadi melihat setiap persoalan dengan sudut pandang yang berbeda.

Membaca dan menulis adalah sesuatu yang sangat berkaitan dengan buku. Ketika gagasan dan pendapat tak ada yang mau mendengar, maka menulis adalah cara paling tepat untuk menyampaikannya. Dan ketika gagasan tersebut dibaca, maka gagasan itu telah didengar. Mungkin jauh lebih didengar daripada kita berbicara langsung. Membaca sendiri mengajari untuk menghargai gagasan orang lain dengan cara mendengar dengan seluruh perhatian.

Banyak istilah positif untuk buku, 'Buku adalah gudang ilmu', 'Buku adalah jendela dunia'. Dan rasanya tak ada alasan untuk menolak itu.Banyak yang mengibaratkan hidup seperti buku, ada awal dan akan berakhir dengan tamat. Aku ingin lebih bersahabat dengan buku. Entah rasa apa ini, tapi aku merasa nyaman berada di tengah-tengah buku. Disini aku ingin berterima kasih pada Fahd Djibran, yang membangkitkan kembali gairah membacaku dengan buku yang pertama aku beli "Hidup Berawal Dari Mimpi" yang berkolaborasi dengan Bondan Prakoso & Fade2Black. Karena buku-bukunyalah aku berani untuk menuliskan apa yang ingin aku tulis, salah satunya terwujudnya blog ini. Dialah penulis favoritku sampai detik ini.

Selain Fahd Djibran, aku juga ingin berterima kasih pada penulis-penulis lain yang buku-bukunya telah banyak mempengaruhi cara berpikirku. Aku ingin berterima kasih pada Sujiwo Tejo, Rahne Putri, Zarry Hendrik dan Bernard Batubara yang setidaknya aku memiliki salah satu buku mereka. Dan aku masih mempunyai mimpi, suatu saat nanti ada buku dengan namaku berada diantara buku-buku mereka di rak-rak toko buku. Dan di hari ini, 23 April 2013 aku mengucapkan "Selamat Hari Buku Sedunia". :)


Salam,

@AriOtnaigus

Rabu, 17 April 2013

Ini Kicauanku

Twitter. Aku berterima kasih pada jejaring sosial ini, karenanya aku menemukan akun-akun yang membantuku mendapatkan kembali gairah hidup. Aku mengikuti akun-akun yang aku sukai, akun-akun yang kuanggap penting bagiku, teman-teman dekatku dan mereka yang minta 'folbek'. Hehehe.. Ketika beberapa hari yang lalu, Pak Presiden yang terhormat negeri ini membuat akun twitter, entah kenapa aku tidak berhasrat untuk mengikutinya. Aku tahu akun ini sudah terverifikasi ketika Pak Presiden belum 'berkicau' sama sekali dan pengikutnya baru sekitar enam belas ribuan. Ketika Pak Presiden memulai kicauan pertamanya, dunia twitter langsung ramai membicarakannya. Sebagai manusia biasa, ternyata aku penasaran juga. Akhirnya aku mengikutinya. Setelah membaca kicauan-kicauannya, rasanya tak begitu penting buatku. Belum genap satu jam aku mengikutinya, langsung kutekan tombol 'setop ikuti'. Kenapa? Aku tidak menemukan sesuatu yang berarti dari akun itu. Setidaknya menurutku. "Apa kau tidak ingin menyampaikan sesuatu?" TIDAK. "Untuk curhat?" Bukannya kebalik? Bukankah selama ini aku yang sering mendapatkan curcol darinya. "Untuk mengeluh?" Tanggapan paling bagus paling hanya dapat ucapan, "Saya turut prihatin." Dan aku sudah cukup kenyang dengan itu. "Untuk mrmohan atau meminta?" Rasanya aku lebih punya 'tempat' memohon dan meminta yang lebih tepat, Tuhanku. Bukankah selama ini aku lebih banyak disuruh mendengar? Apakah jeritan perut kelaparanku belum cukup untuk didengar mereka? Aku menjadi sering banyak bertanya tentang keadilan, namun jawaban kenyataan yang kulihat justru makna adil semakin jauh dari arti sesungguhnya yang kutahu. "Ah, mungkin kau hanya iri?" Ya, aku iri dengan anak menteri. Mereka yang mempercepat kematian orang miskin (yang pada akhirnya akan mati juga karena menderita) dengan menubrukkan mobil mewah mereka (mungkin bagi mereka lebih mahal dari nyawa orang-orang miskin) ke orang-orang miskin, naun dengan mudahnya terbebaskan dari jerat hukum dengan status TIDAK BERSALAH. Dan korbannya hanya mendapat 'santunan' pengganti nyawa dan kata maaf. Karena mudahnya mengucap 'maaf', sehingga kata ini menjadi kehilangan makna indahnya. Menurut mereka, setelah mereka mengucap maaf, semua selesai. Seperti kasus UN yang terjadi tahun ini, yang terdengar lucu dan konyol namun menyakitksan. UN tahun ini adalah sistem 'sakit' yang disakiti. UN adalah sistem pendidikan yang 'sakit' parah, dan parahnya sistem ini telah menyakiti banyak orang. Korban yang paling tersakiti adalah siswa itu sendiri. Dan kasus ini (dipaksakan) diakhiri dengan maaf dan saling menyalahkan. Memang lebih melegakan bila bisa menyalahkan dan ada yang disalahkan, namun aku butuh pemimpin yang mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Aku mencintai negara ini. Tapi aku tak mampu mencintai pemimpin-pemimpin negeri ini. Aku boleh bangga pada negara ini tanpa harus bangga pada pemimpinnya, kan? Sebagai manusia, aku menghormayi dan menghargai mereka. Hanya saja, aku sudah terlalu lama merasakan hidup di negara yang seolah tak berpemimpin. Sekedar memberi tahu saja, sejak aku memiliki hak pilih, aku belum pernah menggunakannya. Dan aku tidak pernah menyesal dan merasa bersalah karenanya. Jika menganggap aku bukanlah warga negara yang baik, memang. Bukankah mereka yang mengatasnamakan 'panutan' yang mengajarkan ketidak baikan? Ah, sudahlah. Ini hanyalah ocehan 'sampah' dari seorang yang pernah menyalahkan orang tuanya  yang tak sanggup menyekolahkannya ke perguruan tinggi karena biayanya yang tak mampu dijangkau. Ini hanyalah celoteh 'busuk' dari seorang yang sempat menyalahikan Tuhannya karena menakdirkannya hidup di tengah-tengah keluarga miskin. Ini hanyalah kicauan 'gak penting' dari seorang yang terlanjur tidak percaya pada pemimpin-pemimpin negeri ini. Dan untuk akun twiter Pak Presiden, saya tetap mengikuti kata hati untuk tidak mengikuti. c3muNg9udHh p4K!! cUmaa aKkoh Ko9h, CiYuSs dW3cHh.. PISS!! (^_^)V



Salam,

@AriOtnaigus

Senin, 08 April 2013

Percakapan

PERCAKAPAN BUKU TULIS DAN PENA

Pena:
"Apa yang akan kau berikan untukku?"

Buku Tulis:
"Inilah aku. Aku menyediakan lembarn-lembaran kosong untuk kau isi. Kau boleh menulis, menggambar, corat-coret atau apa saja yang kau suka. Bebas. Kaulah yang akan menentukan isi ceritanya. Tapi yang harus kau ingat, kau akan dikenang lewat apa yang kau goreskan."

Pena:
"Bukankah aku dapat menghapus apa yang aku tuliskan?"

Buku Tulis:
"Kau benar. Tapi semuanya tak dapat kembali seperti semula. Ada bekas yang ditinggalkan. Atau barangkali kau tak cukup mampu untuk menghapuskannya, lalu kau hanya mencoba menutupinya saja."

Pena:
"Apakah salah jika aku menghapus kesalahan?"

Buku Tulis:
"Tak ada yang salah jika kau tak mengulang kesalahan yang sama. Jika kau mengulangi kesalahan, apa gunanya kau menghapus? Apa gunanya kau mencoba memperbaiki kesalahan? Kesalahan tak perlu dihapus! Biarkan saja! Anggap itu pengingat dan pelajaran agar lebih hati-hati, lebih waspada, lebih berpikir dahulu sebelum kau menari diatasku menggores tinta."

Pena:
"Kenapa harus ada halaman terakhir?"

Buku Tulis:
"Setiap yang berawal pasti berakhir. Semua cerita akan terhenti pada tamat."

Pena:
"Bolehkah aku melewatkan lembaranmu dalam keadaan kosong?"

Buku Tulis:
"Terserah kau saja. Hanya saja, apakah kau mau melewatkan kesempatanmu tanpa cerita, tanpa sesuatu yang berarti? Jika kau talah sampai di halaman terakhir buku ini tanpa meninggalkan catatan, apakah kau tidak akan menyesal? Nikmatilah setiap perjalananmu! Tak perlu terburu-buru. Jika sudah waktunya perjalananmu tamat, biarkan dia berakhir dengan senyummu."

Pena:
"Apakah aku tak bisa kembali mengisi halaman kosong yang aku tinggalkan?"

Buku Tulis:
"Itu kalau kau masih ada  cukup waktu. Pertanyaannya, apakah kau mau berjalan mundur?"

Pena:
"Maukah kau bersahabat denganku? Menemaniku menuliskan cerita indah yang dapat dikenang masa depan.

Buku Tulis:
"Pasti. Kita buat sejarah indah bersama."


PERCAKAPAN SEPASANG SEPATU

Kanan:
"Apa yang kau ingat dari hubungan ini?"

Kiri:
"Kita adlah pasangan yang setia. Kita selalu bersama melewati baik-buruknya jalan yang kita lalui."

Kanan:
"Apakah kau siap jika kita harus berpisah?"

Kiri:
"Kita bukan apa-apa jika sendiri-sendiri. Kita tak berarti lagi jika kita berpisah. Tapi jika itu harus terjadi, yang harus kita ingat adalah kita pernah sedekat ini sebagai pasangan."

Kanan:
"Terima kasih telah bersedia menjadi pasanganku."

Kiri:
"Maaf jika sepanjang menjadi pasanganmu, aku tak cukup baik untukmu. Terima kasih."


PERCAKAPAN WARNA PELANGI

Merah:
"Ini bukan semata keindahan yang kita hasilkan. Bagi kita, ini adalah arti kebersamaan kita yang mewujudkan senyum banyak orang."

Jingga:
Ya, kita adalah satu-kesatuan yang tak mungkin terpisahkan."

Kuning:
"Kita bukan menyeragamkan keanekaragaman, namun menyatukan perbedaan. Mungkin itulah yang mengindahkan kita."

Hijau:
"Jika kita harus terpisah, semoga itu atas kehendakNya."

Biru:
"Benar. Jika Dia menginginkan menghapus salah satu atau beberapa diantara kita, yang harus kita ingat adalah kita pernah menjadi satu keluarga yang sangat indah."

Nila:
"Aku tidak bisa membayangkan, apakah kita mampu membahagiakan banyak orang bila kita sendiri-sendiri?"

Ungu:
"Pastinya tak sebanyak jika kita bersama."

Merah:
"Kita saling melengkapi. Semoga kita tak ingin saling menutupi dan tak ingin terlihat dominan,"

Biru:
"Setidaknya, kita tak pernah ada rasa ingin merusak kebersamaan ini."

Hijau:
"Marilah kita jaga rasa ini! Kita buat kebersamaan kita berarti bagi banyak orang. Kita bagikan kebahagiaan dan senyum kita ke banyak lagi orang."

Kuning:
"Ya, mari kita rapatkan genggaman kita!"




Yang aku ingat, aku menuliskan ini ketika aku sedang berbicara dengan diriku sendiri. Mendengarkan percakapan 'aku' dan 'aku' ternyata menyenangkan. Jika orang lain tak ada yang mau mendengarkan pendapatku, setidaknya aku masih punya diriku sendiri yang mau mendengarkan. Dia lebih jujur. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dan aku masih cukup waras untuk menuliskan ini. Setidaknya menurutku.. :)

Salam,

@AriOtnaigus