Rabu, 17 April 2013

Ini Kicauanku

Twitter. Aku berterima kasih pada jejaring sosial ini, karenanya aku menemukan akun-akun yang membantuku mendapatkan kembali gairah hidup. Aku mengikuti akun-akun yang aku sukai, akun-akun yang kuanggap penting bagiku, teman-teman dekatku dan mereka yang minta 'folbek'. Hehehe.. Ketika beberapa hari yang lalu, Pak Presiden yang terhormat negeri ini membuat akun twitter, entah kenapa aku tidak berhasrat untuk mengikutinya. Aku tahu akun ini sudah terverifikasi ketika Pak Presiden belum 'berkicau' sama sekali dan pengikutnya baru sekitar enam belas ribuan. Ketika Pak Presiden memulai kicauan pertamanya, dunia twitter langsung ramai membicarakannya. Sebagai manusia biasa, ternyata aku penasaran juga. Akhirnya aku mengikutinya. Setelah membaca kicauan-kicauannya, rasanya tak begitu penting buatku. Belum genap satu jam aku mengikutinya, langsung kutekan tombol 'setop ikuti'. Kenapa? Aku tidak menemukan sesuatu yang berarti dari akun itu. Setidaknya menurutku. "Apa kau tidak ingin menyampaikan sesuatu?" TIDAK. "Untuk curhat?" Bukannya kebalik? Bukankah selama ini aku yang sering mendapatkan curcol darinya. "Untuk mengeluh?" Tanggapan paling bagus paling hanya dapat ucapan, "Saya turut prihatin." Dan aku sudah cukup kenyang dengan itu. "Untuk mrmohan atau meminta?" Rasanya aku lebih punya 'tempat' memohon dan meminta yang lebih tepat, Tuhanku. Bukankah selama ini aku lebih banyak disuruh mendengar? Apakah jeritan perut kelaparanku belum cukup untuk didengar mereka? Aku menjadi sering banyak bertanya tentang keadilan, namun jawaban kenyataan yang kulihat justru makna adil semakin jauh dari arti sesungguhnya yang kutahu. "Ah, mungkin kau hanya iri?" Ya, aku iri dengan anak menteri. Mereka yang mempercepat kematian orang miskin (yang pada akhirnya akan mati juga karena menderita) dengan menubrukkan mobil mewah mereka (mungkin bagi mereka lebih mahal dari nyawa orang-orang miskin) ke orang-orang miskin, naun dengan mudahnya terbebaskan dari jerat hukum dengan status TIDAK BERSALAH. Dan korbannya hanya mendapat 'santunan' pengganti nyawa dan kata maaf. Karena mudahnya mengucap 'maaf', sehingga kata ini menjadi kehilangan makna indahnya. Menurut mereka, setelah mereka mengucap maaf, semua selesai. Seperti kasus UN yang terjadi tahun ini, yang terdengar lucu dan konyol namun menyakitksan. UN tahun ini adalah sistem 'sakit' yang disakiti. UN adalah sistem pendidikan yang 'sakit' parah, dan parahnya sistem ini telah menyakiti banyak orang. Korban yang paling tersakiti adalah siswa itu sendiri. Dan kasus ini (dipaksakan) diakhiri dengan maaf dan saling menyalahkan. Memang lebih melegakan bila bisa menyalahkan dan ada yang disalahkan, namun aku butuh pemimpin yang mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Aku mencintai negara ini. Tapi aku tak mampu mencintai pemimpin-pemimpin negeri ini. Aku boleh bangga pada negara ini tanpa harus bangga pada pemimpinnya, kan? Sebagai manusia, aku menghormayi dan menghargai mereka. Hanya saja, aku sudah terlalu lama merasakan hidup di negara yang seolah tak berpemimpin. Sekedar memberi tahu saja, sejak aku memiliki hak pilih, aku belum pernah menggunakannya. Dan aku tidak pernah menyesal dan merasa bersalah karenanya. Jika menganggap aku bukanlah warga negara yang baik, memang. Bukankah mereka yang mengatasnamakan 'panutan' yang mengajarkan ketidak baikan? Ah, sudahlah. Ini hanyalah ocehan 'sampah' dari seorang yang pernah menyalahkan orang tuanya  yang tak sanggup menyekolahkannya ke perguruan tinggi karena biayanya yang tak mampu dijangkau. Ini hanyalah celoteh 'busuk' dari seorang yang sempat menyalahikan Tuhannya karena menakdirkannya hidup di tengah-tengah keluarga miskin. Ini hanyalah kicauan 'gak penting' dari seorang yang terlanjur tidak percaya pada pemimpin-pemimpin negeri ini. Dan untuk akun twiter Pak Presiden, saya tetap mengikuti kata hati untuk tidak mengikuti. c3muNg9udHh p4K!! cUmaa aKkoh Ko9h, CiYuSs dW3cHh.. PISS!! (^_^)V



Salam,

@AriOtnaigus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar