Jumat, 20 Desember 2013

I Will Survive

Kaisar Wijaya, seorang pelukis muda berbakat yang sedang ramai dibicarakan oleh kalangan seniman dan kolektor-kolektor lukisan. Dari tangannya, lahirlah lukisan yang tampak hidup dan bernyawa. Jemarinya begitu terampil menarikan kuas dan memadu padankan warna sedemikian rupa di atas kanvas putih. Dia mampu berbicara lewat gambar yang dia goreskan. Lukisannya akan berkata-kata kepada setiap orang yang memandangnya. Semakin lama, semakin banyak cerita yang disampaikan. Begitu kata pengamat seni.

Sementara Devan yang mengaku dirinya musisi jelas tak mengerti dengan hal-hal seperti itu. Dia tak terlalu peduli dengan sisi magis yang dibawa oleh sebuah lukisan. Baginya lukisan yang indah adalah yang bisa memanjakan matanya tanpa harus mengerutkan dahi. Tapi, dia percaya dan setuju dengan apa yang pernah dikatakan Kaisar, sahabatnya. Apa yang kau hasilkan dari hati, akan diterima oleh hati juga.

"Makasih, Van. Lu udah nyempetin dateng kesini."
"Ini adalah pameran tunggal perdana lu, mana mungkin gue ngelewatin moment berharga sahabat gue ini. Congratulation, brother!" Devan menawarkan tangannya. Kaisar menyambutnya, kemudian memeluknya erat. "Thanks, Van."

"Minggu depan giliran lu dateng ke konser perdana gue." Kaisar melepaskan pelukannya. Antara bingung dan kaget. Devan tertawa. "Bukan konser sih, gue jadi penyanyi kafe sekarang. Dan lu harus dateng di moment pertama gue manggung sebagai penyanyi profesional."

"Hebat. Lu udah selangkah lebih maju mendekati mimpi lu. Pasti gue dateng, Van. Gue janji." Kaisar membentuk huruf V dari jari tengah dan telunjuk tangan kanannya.

***

Berulang kali Kaisar melihat jam tangannya, kemudian melihat ke luar lewat jendela. Hujan sangat deras. Langit begitu gelap. Kilat seakan membelah langit. Suara gemuruh semakin melengkapi tanda bahwa hujan tak mungkin reda setengah jam lagi.

"Telepon Devan saja. Dia pasti bisa memaklumi." Kaisar berhenti seketika dari mondar-mandirnya begitu mendengar suara Mamanya. "Nggak bisa, Ma. Aku udah janji sama Devan. Kalau aku nggak dateng, dia pasti kecewa." Mamanya nggak bisa bicara lagi. Dia tahu betul persahabatan anaknya dan Devan. Bahkan, Devan sudah dianggap anak sendiri olehnya.

Dengan berbalut jas hujan, Kaisar menembus lebatnya hujan dengan motornya. Jalan sangat gelap karena lampu penerangan jalan mati. Jarak pandang sangat terbatas. Kaisar kehilangan kendali motornya ketika ada mobil yang mengerem mendadak di depannya. Dia banting setirnya ke arah kiri. Motornya menabrak pohon di trotoar dan dia terlempar ke badan jalan. Nahas, sopir bus yang melintas tak sempat menginjak remnya. Tangan Kaisar terlindas roda depan bus, dua-duanya. Dia selamat, tapi dokter tak bisa menyelamatkan tangannya. Kedua tangannya harus diamputasi sebatas siku.

Kaisar sangat terpukul. Dia masih belum bisa menerima kenyataan. Sudah hampir dua bulan dia tak keluar kamar. Hampir setiap hari Devan datang ke rumahnya. Bukan hanya karena merasa bersalah, namun memang seharusnya dia ada disamping Kaisar. Kaisar membutuhkannya saat ini. Devan yakin, Kaisar tak mungkin menyalahkannya, karena hanya dia yang diizinkan masuk ke kamarnya selain orang tuanya. Walaupun tak pernah sepatah kata pun keluar dari mulut Kaisar, Devan mengerti dan tetap setia menemaninya dalam kebisuan. Kadang, Devan memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu dari Bondan Prakoso & Fade 2 Black, band favorit mereka. Kaisar hanya menoleh sebentar lalu kembali lagi larut dalam lamunannya sendiri. Namun, Devan tak merasa tersinggung dan kecewa sama sekali. Dia justru tersenyum senang karena Kaisar masih menganggapnya ada. Itu sudah cukup.

***

Hari ini aku disini
Berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada
Yang tlah membakar seluruh jiwa

Kucoba resapi, kucoba selami
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi

I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Untuk lewati semua ini

Devan berhenti bernyanyi. Dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih dia disana.

"Gue balik dulu ya, Sar. Yang terakhir tadi lagu terbarunya Bondan Prakoso. Judulnya 'I Will Survive'. Kalau pengen tahu lengkapnya, dengerin ini ya." Devan meletakkan sebuah CD di samping Kaisar yang sejak tadi hanya terbaring diam di ranjangnya. Kaisar hanya melihat sekilas seperti biasanya, kemudian membuang pandangannya ke tempat yang tak diketahui siapapun, bahkan dirinya sendiri. Tak ada kehidupan di sorot mata itu, hampa. Devan menghembuskan nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia masih tak percaya, Kaisar yang ceria terlihat sangat menyedihkan sekarang. Sebelum butiran air menetes dari matanya, Devan mengusap rambut Kaisar dan pamit pulang. "Gue pulang, Sar. Kamu bisa."

***

Sudah satu minggu Devan tak datang ke rumah Kaisar. Kaisar merasa sangat kehilangan. Dia membayangkan kembali masa-masa mereka memulai melangkahkan kaki mereka mengejar mimpi. Kaisar ingin jadi pelukis dan Devan ingin jadi musisi. Selepas lulus dari SMA, keduanya melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Kaisar mengambil jurusan seni rupa dan Devan di jurusan sastra.

"Enak ya lu, bokap sama nyokap lu dukung keinginan lu. Sementara gue, boro-boro didukung. Bokap gue malah sebenernya pengen gue jadi dokter kayak dia. Tapi, lu tahu sendiri lah, mana mungkin gue yang bebal ini bisa masuk kedokteran. Bisa diterima di sastra aja udah untung." Devan tertawa lebar.

"Iya, gue bersyukur banget, Van. Gue beruntung punya bokap sama nyokap kayak mereka. Mereka mendukung keinginan gue sejak kecil." Kaisar tersenyum bangga. "Lu hanya perlu membuktikan pada ortu lu kalo lu bisa bertahan hidup dari keinginan lu. Mereka hanya cemas. Orang tua mana sih yang nggak ingin anaknya sukses. Makanya, mari kita buktikan pada mereka kita bisa sukses dengan pilihan kita."

"Yap. Dulu mereka juga berharap kakak gue bisa kerja di kantoran. Makanya kakak gue disuruh ambil jurusan ekonomi. Berhubung kakak gue sangat mencintai dunia memasak, setelah lulus dia justru bekerja sebagai chef. Bokap sama nyokap gue sempat marah besar waktu itu, namun setelah kakak gue bisa buka rumah makan sendiri dan sukses, hati mereka pun luluh. Hidup ini lucu ya, Sar," Devan tersenyum. Kaisar ikut tersenyum. "Gue juga mau ngikutin jalan ini dulu, Sar. Siapa tahu gue bisa mencipta lagu dengan lirik-lirik yang puitis."

Kaisar kembali dari lamunannya. Dua butiran air telah mengintip di ujung matanya, bersiap untuk meluncur jatuh. Iya. Lu bener, Van. Hidup ini lucu. Katanya dalam hati. Tuhan lebih memilih tangan gue. Kenapa bukan kaki gue? Atau nyawa gue sekalian, gue lebih ikhlas. Kehilangan tangan lebih menyiksa gue. Tuhan bukan hanya merampas tangan gue, tapi juga mimpi gue. Ini nggak adil. Pipinya kini telah basah. Dan dia semakin sedih ketika sadar bahwa dia tak bisa menghapus air matanya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dikenalnya dari radio yang sejak tadi dinyalakannya tapi tak begitu didengarkan. Susah payah dia membesarkan volumenya dengan kaki kanannya.

Hari ini kan ku pastikan
Aku masih ada disini
Mencoba lepaskan, coba bebaskan
Segala rasa perih di hati

Kucoba resapi, kucoba hayati
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi

And I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Tuk lewati semua ini

Engkau selalu ada
Di saat jiwaku rapuh, di kala ku jatuh
And I want you to know
That I will fight to survive
I will not give up, I will not give in
I'll stay alive for you..for you..for You..

Di tengah kesedihannya dia tersadar. Tuhan Maha Adil. Tuhan percaya kalau dia punya hal lebih selain dari kekuatan tangannya yang selama ini dia banggakan. Tugasnya sekarang adalah membuktikan pada Hidup, juga pada dirinya sendiri bahwa dia bisa bertahan tanpa tangan. Kenapa harus ditangisi sesuatu yang bukan miliknya. Tangan itu milikNya. Dan Dia berhak mengambilnya kapanpun, tanpa harus menunggu kesiapan dari yang selama ini mengakuinya sebagai miliknya.

***

"Maaf, Tante. Kemarin-kemarin nggak bisa dateng."
"Dia ada di galeri."
Devan tersentak. Antara kaget dan senang melihat senyum yang mengembang kembali di wajah Mamanya Kaisar. Sudah lama dia tak melihat pemandangan itu. Dia langsung berlari ke galeri yang terletak di samping kanan rumah. Dia semakin kaget ketika mendapati Kaisar melukis menggunakan mulutnya. Terharu dengan apa yang dilihatnya, dia justru hanya berdiri mematung di mulut pintu.

"Ngapain lu disitu, sini masuk!" Kata Kaisar setelah melihat sahabatnya yang hanya diam di pintu. "Lihat ini! Nggak usah buru-buru memuji. Nggak usah membesarkan hati gue. Hati gue sudah terlalu besar, sebesar semangat gue sekarang." Kaisar tertawa. "Selain dengan mulut, gue juga ngelatih kaki gue. Gue yakin, nantinya mulut dan kaki gue bisa sehebat tangan gue dulu." Devan mengangguk. "Pasti."

"Oh, ya. Be te we, kemarin kemana aja lu?" Kaisar seperti menginterogasi. Ketus. "Sory banget, Sar. Gue rekaman, demo gue diterima label. Tapi, untuk permulaan, sekarang single dulu." Devan berkata penuh semangat. "WOW! KEREN!" Devan kaget mendengar teriakan Kaisar.

"Selamat." Kaisar hendak mengulurkan tangannya. Sejenak dia tersadar, kemudian berkata lirih dan menunduk. "Selamat, Van." Devan yang melihat itu, langsung memeluk sahabatnya. Mendekapnya erat. Pandangannya mulai kabur. Bulir air telah menetes dari matanya.

"Lu nangis, Van. Cengeng. Cepetan hapus. Gue nggak perlu dikasihani. Gue akan buktiin gue bisa bertahan hidup tanpa harus menjual kekurangan gue dengan meminta-minta di pinggir jalan." Devan melepaskan pelukannya. "Siapa juga yang nangis, gue abis nguap tau!" Kaisar tertawa. Devan tertawa. Tak tahu apa yang mereka tertawakan, barangkali mereka sedang menertawakan hidup yang sedang mereka jalani. "Lu ambil gitar gih! Kita nyanyi lagu barunya Bondan, yuk!"

I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive

I will survive, I will revive
Getting stronger to stay alive
Kau berikan aku kekuatan
Tuk lewati semua ini

"STOP!" Teriakan Kaisar sekali lagi mengagetkan Devan. "Izinkan gue nyanyi bagian terakhir ini sendiri. Dunia harus tahu kalau gue lebih besar dari hidup. Gue yang mengendalikan hidup. Dan untuk Dia Yang Mengendalikan Semua, Sang Maha Dalang Pemilik Skenario Sempurna, gue mau berterima kasih padaNya. Dialah alasan terbesar gue untuk terus bertahan." Devan mengangguk dan tersenyum bahagia. Sahabatnya telah menemukan lagi kepingan dari dirinya sendiri yang sempat hilang.

I will survive, I will revive
Getting bigger, bigger than life
Engkau Yang Esa, Yang Perkasa
You give me reason to survive.



Salam,
@AriOtnaigus :)


*Pernah di ikutkan lomba disini, tapi kalah. :p

Berani Bermimpi Berani Bertanggung Jawab

"Lu masih ingat ini, kan? Sekarang gue kembalikan pada lu." Dira menyerahkan telepon genggam polyphonicnya kepada Branta. Bukan teleponnya yang ingin dikembalikan, melainkan pesan singkat dari sahabatnya itu beberapa tahun yang lalu yang masih tersimpan baik di kotak masuk. Pesan itulah yang menjadi alasan Dira masih mempertahankan telepon lawasnya yang mungkin lebih pantas sebagai ganjal pintu. Walaupun sudah punya tiga smartphone, Dira merasa telepon genggam pertamanya itu harus dipertahankan. Menurutnya, sejarah tak akan pernah bisa digantikan apalagi dibeli.

Jangan pernah meremehkan cita-cita dan tekad kalian. Yang aku tahu, orang yang paling kecewa adalah yang kandas cita-citanya. (Umar bin Khattab)

"Ini beda kasus, Dir. Kamu berbakat gambar. Dan arsitek adalah pilihan yang tepat untuk lu." Branta menghembuskan nafas panjang. "Maaf, Ta. Menjadi arsitek bukanlah sekadar pilihan. Ini panggilan hati gue, mimpi gue. Seperti halnya lu dan mimpi menjadi penulis."

Branta menatap paketan beramplop coklat, kemudian membuang mukanya dengan raut kecewa yang mendalam. "Realistis aja lah, Dir. Gue nggak berbakat. Itu yang terakhir." Dira terperanjat dari duduknya, tak percaya kalimat itu akan muncul dari mulut seorang Branta yang sangat mencintai dunia menulis.

"Lu tahu, kan? J.K. Rowling dengan Harry Potternya mengalami sepuluh kali penolakan dari penerbit sebelum diterbitkan oleh penerbit yang kesebelas. Sementara lu, ini baru yang ketiga kali. Lu hanya belum berjodoh. Pecayalah, waktu tak akan mengkhianati lu." Branta mengangkat bahunya. "Gue sudah lelah menunggu, Dir."

"Terserah lu aja lah. Sejak tadi lu hanya sibuk mencari alasan. Seharusnya pikirkan bagaimana caranya agar mimpi lu bisa terwujud. Lu bukan lagi Branta, sahabat gue yang gue kenal delapan tahun yang lalu." Branta hanya bisa diam melihat Dira yang semakin berjalan menjauh meninggalkannya sendiri.

***

Ada keraguan ketika tangan itu hendak mengetuk pintu. Dua bulan sejak kejadian waktu itu membuat keduanya asing. Tak pernah lagi bertemu, tak ada kabar dari masing-masing. Akhirnya setelah menguatkan hatinya, Branta memberanikan diri mengetuk pintu rumah Dira.

"Masuk, Ta. Ada apa?" Branta hanya mengangguk pelan. "Gue butuh bantuan lu, Dir." Dira menangkap masalah yang serius di wajah sahabatnya. "Gue mau pinjem uang sama lu. Adik gue harus operasi usus buntu besok." Branta menunduk lesu. "Niken?" Branta mengangguk lemah. Dira nampak berpikir. "Baiklah. Tapi ada syaratnya. Lu harus menyerahkan dua puluh cerpen ke gue. Setiap minggunya satu cerpen." Mata Branta membelalak. Tak menyangka dengan syarat yang diajukan Dira. Seolah tak ada pilihan, Branta akhirnya mengaku kalah pada Dira lewat anggukannya. "Deal." Dira menawarkan tangannya. Branta menyambutnya ragu-ragu.

***

Operasi Niken berhasil. Namun, kesepakatannya dengan Dira harus dilaksanakan. Setiap Minggu, Branta harus mengantarkan cerpennya ke rumah Dira. Hanya mengirim, tak lebih. Dua sahabat itu tak lagi seperti dulu. Tak ada lagi gelak tawa yang membunuh sepi diantara mereka. Tak ada lagi curhat konyol untuk meringkas panjangnya malam. Branta masih tak percaya Dira akan memberikan syarat layaknya deadline yang harus dipenuhi. Yang paling membuat Branta kesal adalah dia harus bersahabat lagi dengan menulis. Dunia yang sudah ingin dia lupakan, dia tinggalkan.

"Ini yang terakhir. Sudah dua puluh, kan? Hutang gue ke elu sudah lunas. Terima kasih." Branta menyerahkan dua lembar kertas folio kepada Dira. "Oke." Dira menerimanya dengan tersenyum.

***

Tak terasa sudah hampir satu tahun Dira tak mengunjungi tempat ini. Tempat yang dulu sering digunakan nongkrong sambil genjreng-genjreng gitar dengan Branta. Rumah Branta, tepatnya depan warung milik ibunya Branta. Dira melihat sahabatnya itu sedang asyik membaca buku di depan warung sehingga tak menyadari kalau dirinya sudah berdiri beberapa meter di depannya. Yang membuat Dira senang, ternyata Branta yang katanya sudah tak mau menulis lagi masih suka baca. Setidaknya dia tak meninggalkan dunia menulis sama sekali.

"Baca apaan sih? Asyik bener." Branta terperanjat dari duduknya. "Eh, elu Dir. Apa kabar?"

Dira hanya tersenyum sambil mengambil posisi duduk di samping Branta. "Ada yang mau gue kasih ke elu. Nih." Dira menyodorkan amplop coklat. Dengan ragu Branta menerimanya dan perlahan membukanya. Branta membelalak setelah membaca isi surat itu. Tak percaya, dengan pelan dan hati-hati dia mengulanginya. Seolah masih mengharapkan kejelasan, dia menoleh ke arah Dira.
"Ini?"
"Iya, Ta."
"Jadi selama ini?"
"Iya. Cerpen yang lu kirim tiap minggu ke gue, gue jadiin naskah kumcer dan gue kirim ke penerbit. Dan ternyata naskah itu diterima dan akan dibukukan bulan depan. Selamat ya." Dira tersenyum lebar.

Tak tahu apa yang harus diperbuat, akhirnya Branta memeluk Dira erat. "Makasih, Dir. Makasih banget." Dira menepuk-tepuk punggung Branta. "Sory ya waktu itu gue ninggalin lu. Mungkin waktu itu lu kecewa sama diri lu sendiri. Tapi gue lebih kecewa sama lu yang menyerah pada hidup, Ta." Branta tak tahu harus berkata apa lagi selain maaf. "Gue yang harusnya minta maaf, Dir. Sory banget ya."

"Pelukan ini bisa dilepasin nggak? Bau badan lu nggak enak." Dira tertawa lebar. Buru-buru Branta melepaskan pelukannya. "Sialan lu." Branta ikut tertawa. Kedua sahabat itu sudah menemukan lagi keping yang hilang diantara mereka.

"Ta, mimpi itu harus dikejar. Harus diwujudkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban lu pada mimpi lu. Berani bermimpi, berani bertanggung jawab."
"Siap komandan." Branta mengambil posisi hormat.
"Lebay lu ah. Lagian sejak kapan aba-aba siap ada gerakan hormatnya." Branta hanya nyengir. "Nggak ada perayaan nih?" Dira mengangkat alisnya. "Oke." Branta mengambil dua minuman botol dan sebungkus besar kacang kulit dari warung ibunya.

Dingin yang kini telah menghangat. Beku yang kini telah mencair. Malam itu menjadi saksi dua sahabat yang telah meraih mimpi-mimpinya.



Salam,
@AriOtnaigus :)



*Pernah di ikutkan lomba menulis disini, tapi kalah. :p

Minggu, 01 Desember 2013

Empat Cangkir Kopi di Pagi Ini

Alarm membangunkanku tepat di jam enam lebih sepuluh pagi. Angka yang telah lama kusetel. Mataku sangat berat untuk membuka, namun aku harus memaksanya. Ada janji hari ini di jam delapan pagi yang harus aku penuhi. Aku berdiri di depan cermin. Ada zombie disana, mata merah dengan lingkaran hitam yang mengelilinginya. Kantung mata yang semakin menggantung. Raut muka yang kelelahan, kusut. Sangat menakutkan. Ya, itulah aku. Bagaimana tidak, aku selalu terjaga sepanjang malam selama satu minggu terakhir. Mataku baru memejam di atas jam tiga pagi, menjelang adzan subuh. Di sepanjang keterjagaanku, kenangan tentangnya terus mengalir deras tanpa bisa ditahan. Aku menangis tanpa berair mata. Cinta telah mengalahkanku. Menjatuhkanku dalam jurang luka yang begitu perih. Mengoyak hati, perasaan dan logikaku dengan kuku-kuku dan taringnya yang tajam. Merampas kebahagiaan yang kurawat selama empat tahun hanya dalam waktu beberapa menit saja. Ini tidak adil. Aku dikhianati. Cinta, waktu dan dunia telah bersepakat untuk itu. Aku tak berdaya di hadapan mereka. Seperti daun yang telah menguning yang bersiap untuk jatuh. Aku pasrah, namun aku tak akan menyerah.

Kopiku pagi ini kutambahi susu. Pahit dan manis akan menyatu dalam satu seduhan yang aku harapkan akan mampu menghilangkan kantuk yang masih menggelantung di mataku. Saat kutuang air di cangkir kopi, aku melihat gambaran diriku ketika belum mengenal cinta secara dekat. Ketika aku masih merasa puas melihatnya dari kejauhan. Hidupku kala itu berjalan dinamis. Bebas tanpa batas. Longgar tak bersangkar. Aku senang melihat mereka yang bersahabat dengan cinta .Dan tertawa saat mereka over dosis akan cinta hingga mereka mabuk kepayang karenanya. Sementara aku masih berdiri di balik benteng kokoh yang membatasi diriku dengan cinta. Mungkin aku dan cinta sama-sama sedang saling menunggu. Siapa yang akan menyapa terlebih dulu, aku atau cinta. Untuk urusan ini aku menyerahkan sepenuhnya pada waktu. Membiarkannya menjawab tanpa tendensi apa-apa.

Kopi susuku tak berpengaruh banyak. Mata justru semakin ingin terus memejam. Aku menyeduh kopi keduaku. Kali ini kutambahkan krimer. Kopi, susu dan krimer dalam sebuah cangkir adalah komposisi yang pas untuk menemani sepotong roti gandum dan sehelai roti tawar dengan selai coklat sebagai sarapanku. Manis. Seperti saat cinta menyapaku. Kemudian menawarkan tangannya dan kusambut dengan senyum bahagia. Kita resmi berkenalan. Waktu terasa melambat. Menetes secara teratur. Semuanya tampak indah. Ternyata beginilah rasanya dilanda cinta. Surga bisa kamu ciptakan sendiri. Membayangkannya membuatmu tersenyum, menyentuhnya membuatmu melayang dan memeluknya membuatmu menembus dimensi lain. Perasaan yang luar biasa. Aku selalu membawa cinta kemana pun aku pergi. Menggandengnya, menggendongnya dan kadang kumasukkan dalam saku atau ranselku. Untuknya, selalu ada tempat.

Cangkir keduaku tak banyak membantu. Aku mengambil handukku untuk mandi. Guyuran air hanya mampu mengusir sekilas rasa kantukku. Berbalut handuk yang melingkar di pinggang, kubuat kopi ketigaku. Hanya sedikit gula yang akan menemaninya kali ini. Pahit, namun masih ada rasa manis yang tersamar. Cinta mulai menusukku dari belakang. Menebarkan paku di sepanjang jalanku. Menjegal langkahku yang telah terseok. Tapi aku tak bisa menyalahkannya begitu saja. Mungkin ini adalah kesalahanku sendiri yang tak mampu menjadi sahabat yang baik untuknya. Betapa aku menyadari, dia yang dengan rela dan setia menemani setiap detik waktuku dan setiap jengkal langkah kakiku. Dan aku merasa kurang, aku selalu menuntut lebih.

Semua sudah siap. Dasi telah terpasang pada tempatnya. Semua berkas telah masuk ke dalam koper tanpa ada yang terlupa. Kopi pahit. Aku butuh kopi pahit di cangkir keempatku. Kumasukkan tiga sendok kopi ke dalam cangkirku. Kopi saja, tanpa teman yang lain. Kuseduh dengan air panas. Satu seruputan menyadarkanku. Ini sangat pahit. Pahit sekali. Dan ternyata aku butuh sesuatu yang pahit untuk benar-benar membukakan mataku. Aku tak boleh memanjakan lidahku saja. Seperti obat yang menyembuhkan luka. Aku harus menelan pahit itu. Tapi pahit itulah yang nantinya akan mengobatiku, menyembuhkanku dari segala penyakit dan luka. Hidupku harus dilanjutkan. Banyak yang menungguku untuk kukejar. Tak pantas aku berdiam diri saja dengan luka yang dibiarkan membusuk.

Jam telah menunjuk di angka tujuh lebih dua puluh menit. Aku harus berangkat sekarang. Haus menghentikan langkahku sejenak. Kuambil segelas air putih. Berteguk-teguk air telah tertelan hingga gelas itu kosong. Badanku terasa lebih segar. Ternyata air putih tadi menetralkan semuanya. Kini aku seperti terlahir kembali. Aku siap menyapa cinta dan bersahabat dengannya lagi. Langkah kakiku terasa sangat ringan, bahkan aku merasa diriku terbang. Kukembangkan senyum di wajahku. Apapun yang terjadi di hadapanku nanti. Apapun yang menghadangku di depan. Rasanya aku jauh lebih siap. Semoga.



Salam,

@AriOtnaigus