Jumat, 20 Desember 2013

Berani Bermimpi Berani Bertanggung Jawab

"Lu masih ingat ini, kan? Sekarang gue kembalikan pada lu." Dira menyerahkan telepon genggam polyphonicnya kepada Branta. Bukan teleponnya yang ingin dikembalikan, melainkan pesan singkat dari sahabatnya itu beberapa tahun yang lalu yang masih tersimpan baik di kotak masuk. Pesan itulah yang menjadi alasan Dira masih mempertahankan telepon lawasnya yang mungkin lebih pantas sebagai ganjal pintu. Walaupun sudah punya tiga smartphone, Dira merasa telepon genggam pertamanya itu harus dipertahankan. Menurutnya, sejarah tak akan pernah bisa digantikan apalagi dibeli.

Jangan pernah meremehkan cita-cita dan tekad kalian. Yang aku tahu, orang yang paling kecewa adalah yang kandas cita-citanya. (Umar bin Khattab)

"Ini beda kasus, Dir. Kamu berbakat gambar. Dan arsitek adalah pilihan yang tepat untuk lu." Branta menghembuskan nafas panjang. "Maaf, Ta. Menjadi arsitek bukanlah sekadar pilihan. Ini panggilan hati gue, mimpi gue. Seperti halnya lu dan mimpi menjadi penulis."

Branta menatap paketan beramplop coklat, kemudian membuang mukanya dengan raut kecewa yang mendalam. "Realistis aja lah, Dir. Gue nggak berbakat. Itu yang terakhir." Dira terperanjat dari duduknya, tak percaya kalimat itu akan muncul dari mulut seorang Branta yang sangat mencintai dunia menulis.

"Lu tahu, kan? J.K. Rowling dengan Harry Potternya mengalami sepuluh kali penolakan dari penerbit sebelum diterbitkan oleh penerbit yang kesebelas. Sementara lu, ini baru yang ketiga kali. Lu hanya belum berjodoh. Pecayalah, waktu tak akan mengkhianati lu." Branta mengangkat bahunya. "Gue sudah lelah menunggu, Dir."

"Terserah lu aja lah. Sejak tadi lu hanya sibuk mencari alasan. Seharusnya pikirkan bagaimana caranya agar mimpi lu bisa terwujud. Lu bukan lagi Branta, sahabat gue yang gue kenal delapan tahun yang lalu." Branta hanya bisa diam melihat Dira yang semakin berjalan menjauh meninggalkannya sendiri.

***

Ada keraguan ketika tangan itu hendak mengetuk pintu. Dua bulan sejak kejadian waktu itu membuat keduanya asing. Tak pernah lagi bertemu, tak ada kabar dari masing-masing. Akhirnya setelah menguatkan hatinya, Branta memberanikan diri mengetuk pintu rumah Dira.

"Masuk, Ta. Ada apa?" Branta hanya mengangguk pelan. "Gue butuh bantuan lu, Dir." Dira menangkap masalah yang serius di wajah sahabatnya. "Gue mau pinjem uang sama lu. Adik gue harus operasi usus buntu besok." Branta menunduk lesu. "Niken?" Branta mengangguk lemah. Dira nampak berpikir. "Baiklah. Tapi ada syaratnya. Lu harus menyerahkan dua puluh cerpen ke gue. Setiap minggunya satu cerpen." Mata Branta membelalak. Tak menyangka dengan syarat yang diajukan Dira. Seolah tak ada pilihan, Branta akhirnya mengaku kalah pada Dira lewat anggukannya. "Deal." Dira menawarkan tangannya. Branta menyambutnya ragu-ragu.

***

Operasi Niken berhasil. Namun, kesepakatannya dengan Dira harus dilaksanakan. Setiap Minggu, Branta harus mengantarkan cerpennya ke rumah Dira. Hanya mengirim, tak lebih. Dua sahabat itu tak lagi seperti dulu. Tak ada lagi gelak tawa yang membunuh sepi diantara mereka. Tak ada lagi curhat konyol untuk meringkas panjangnya malam. Branta masih tak percaya Dira akan memberikan syarat layaknya deadline yang harus dipenuhi. Yang paling membuat Branta kesal adalah dia harus bersahabat lagi dengan menulis. Dunia yang sudah ingin dia lupakan, dia tinggalkan.

"Ini yang terakhir. Sudah dua puluh, kan? Hutang gue ke elu sudah lunas. Terima kasih." Branta menyerahkan dua lembar kertas folio kepada Dira. "Oke." Dira menerimanya dengan tersenyum.

***

Tak terasa sudah hampir satu tahun Dira tak mengunjungi tempat ini. Tempat yang dulu sering digunakan nongkrong sambil genjreng-genjreng gitar dengan Branta. Rumah Branta, tepatnya depan warung milik ibunya Branta. Dira melihat sahabatnya itu sedang asyik membaca buku di depan warung sehingga tak menyadari kalau dirinya sudah berdiri beberapa meter di depannya. Yang membuat Dira senang, ternyata Branta yang katanya sudah tak mau menulis lagi masih suka baca. Setidaknya dia tak meninggalkan dunia menulis sama sekali.

"Baca apaan sih? Asyik bener." Branta terperanjat dari duduknya. "Eh, elu Dir. Apa kabar?"

Dira hanya tersenyum sambil mengambil posisi duduk di samping Branta. "Ada yang mau gue kasih ke elu. Nih." Dira menyodorkan amplop coklat. Dengan ragu Branta menerimanya dan perlahan membukanya. Branta membelalak setelah membaca isi surat itu. Tak percaya, dengan pelan dan hati-hati dia mengulanginya. Seolah masih mengharapkan kejelasan, dia menoleh ke arah Dira.
"Ini?"
"Iya, Ta."
"Jadi selama ini?"
"Iya. Cerpen yang lu kirim tiap minggu ke gue, gue jadiin naskah kumcer dan gue kirim ke penerbit. Dan ternyata naskah itu diterima dan akan dibukukan bulan depan. Selamat ya." Dira tersenyum lebar.

Tak tahu apa yang harus diperbuat, akhirnya Branta memeluk Dira erat. "Makasih, Dir. Makasih banget." Dira menepuk-tepuk punggung Branta. "Sory ya waktu itu gue ninggalin lu. Mungkin waktu itu lu kecewa sama diri lu sendiri. Tapi gue lebih kecewa sama lu yang menyerah pada hidup, Ta." Branta tak tahu harus berkata apa lagi selain maaf. "Gue yang harusnya minta maaf, Dir. Sory banget ya."

"Pelukan ini bisa dilepasin nggak? Bau badan lu nggak enak." Dira tertawa lebar. Buru-buru Branta melepaskan pelukannya. "Sialan lu." Branta ikut tertawa. Kedua sahabat itu sudah menemukan lagi keping yang hilang diantara mereka.

"Ta, mimpi itu harus dikejar. Harus diwujudkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban lu pada mimpi lu. Berani bermimpi, berani bertanggung jawab."
"Siap komandan." Branta mengambil posisi hormat.
"Lebay lu ah. Lagian sejak kapan aba-aba siap ada gerakan hormatnya." Branta hanya nyengir. "Nggak ada perayaan nih?" Dira mengangkat alisnya. "Oke." Branta mengambil dua minuman botol dan sebungkus besar kacang kulit dari warung ibunya.

Dingin yang kini telah menghangat. Beku yang kini telah mencair. Malam itu menjadi saksi dua sahabat yang telah meraih mimpi-mimpinya.



Salam,
@AriOtnaigus :)



*Pernah di ikutkan lomba menulis disini, tapi kalah. :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar