Minggu, 01 Desember 2013

Empat Cangkir Kopi di Pagi Ini

Alarm membangunkanku tepat di jam enam lebih sepuluh pagi. Angka yang telah lama kusetel. Mataku sangat berat untuk membuka, namun aku harus memaksanya. Ada janji hari ini di jam delapan pagi yang harus aku penuhi. Aku berdiri di depan cermin. Ada zombie disana, mata merah dengan lingkaran hitam yang mengelilinginya. Kantung mata yang semakin menggantung. Raut muka yang kelelahan, kusut. Sangat menakutkan. Ya, itulah aku. Bagaimana tidak, aku selalu terjaga sepanjang malam selama satu minggu terakhir. Mataku baru memejam di atas jam tiga pagi, menjelang adzan subuh. Di sepanjang keterjagaanku, kenangan tentangnya terus mengalir deras tanpa bisa ditahan. Aku menangis tanpa berair mata. Cinta telah mengalahkanku. Menjatuhkanku dalam jurang luka yang begitu perih. Mengoyak hati, perasaan dan logikaku dengan kuku-kuku dan taringnya yang tajam. Merampas kebahagiaan yang kurawat selama empat tahun hanya dalam waktu beberapa menit saja. Ini tidak adil. Aku dikhianati. Cinta, waktu dan dunia telah bersepakat untuk itu. Aku tak berdaya di hadapan mereka. Seperti daun yang telah menguning yang bersiap untuk jatuh. Aku pasrah, namun aku tak akan menyerah.

Kopiku pagi ini kutambahi susu. Pahit dan manis akan menyatu dalam satu seduhan yang aku harapkan akan mampu menghilangkan kantuk yang masih menggelantung di mataku. Saat kutuang air di cangkir kopi, aku melihat gambaran diriku ketika belum mengenal cinta secara dekat. Ketika aku masih merasa puas melihatnya dari kejauhan. Hidupku kala itu berjalan dinamis. Bebas tanpa batas. Longgar tak bersangkar. Aku senang melihat mereka yang bersahabat dengan cinta .Dan tertawa saat mereka over dosis akan cinta hingga mereka mabuk kepayang karenanya. Sementara aku masih berdiri di balik benteng kokoh yang membatasi diriku dengan cinta. Mungkin aku dan cinta sama-sama sedang saling menunggu. Siapa yang akan menyapa terlebih dulu, aku atau cinta. Untuk urusan ini aku menyerahkan sepenuhnya pada waktu. Membiarkannya menjawab tanpa tendensi apa-apa.

Kopi susuku tak berpengaruh banyak. Mata justru semakin ingin terus memejam. Aku menyeduh kopi keduaku. Kali ini kutambahkan krimer. Kopi, susu dan krimer dalam sebuah cangkir adalah komposisi yang pas untuk menemani sepotong roti gandum dan sehelai roti tawar dengan selai coklat sebagai sarapanku. Manis. Seperti saat cinta menyapaku. Kemudian menawarkan tangannya dan kusambut dengan senyum bahagia. Kita resmi berkenalan. Waktu terasa melambat. Menetes secara teratur. Semuanya tampak indah. Ternyata beginilah rasanya dilanda cinta. Surga bisa kamu ciptakan sendiri. Membayangkannya membuatmu tersenyum, menyentuhnya membuatmu melayang dan memeluknya membuatmu menembus dimensi lain. Perasaan yang luar biasa. Aku selalu membawa cinta kemana pun aku pergi. Menggandengnya, menggendongnya dan kadang kumasukkan dalam saku atau ranselku. Untuknya, selalu ada tempat.

Cangkir keduaku tak banyak membantu. Aku mengambil handukku untuk mandi. Guyuran air hanya mampu mengusir sekilas rasa kantukku. Berbalut handuk yang melingkar di pinggang, kubuat kopi ketigaku. Hanya sedikit gula yang akan menemaninya kali ini. Pahit, namun masih ada rasa manis yang tersamar. Cinta mulai menusukku dari belakang. Menebarkan paku di sepanjang jalanku. Menjegal langkahku yang telah terseok. Tapi aku tak bisa menyalahkannya begitu saja. Mungkin ini adalah kesalahanku sendiri yang tak mampu menjadi sahabat yang baik untuknya. Betapa aku menyadari, dia yang dengan rela dan setia menemani setiap detik waktuku dan setiap jengkal langkah kakiku. Dan aku merasa kurang, aku selalu menuntut lebih.

Semua sudah siap. Dasi telah terpasang pada tempatnya. Semua berkas telah masuk ke dalam koper tanpa ada yang terlupa. Kopi pahit. Aku butuh kopi pahit di cangkir keempatku. Kumasukkan tiga sendok kopi ke dalam cangkirku. Kopi saja, tanpa teman yang lain. Kuseduh dengan air panas. Satu seruputan menyadarkanku. Ini sangat pahit. Pahit sekali. Dan ternyata aku butuh sesuatu yang pahit untuk benar-benar membukakan mataku. Aku tak boleh memanjakan lidahku saja. Seperti obat yang menyembuhkan luka. Aku harus menelan pahit itu. Tapi pahit itulah yang nantinya akan mengobatiku, menyembuhkanku dari segala penyakit dan luka. Hidupku harus dilanjutkan. Banyak yang menungguku untuk kukejar. Tak pantas aku berdiam diri saja dengan luka yang dibiarkan membusuk.

Jam telah menunjuk di angka tujuh lebih dua puluh menit. Aku harus berangkat sekarang. Haus menghentikan langkahku sejenak. Kuambil segelas air putih. Berteguk-teguk air telah tertelan hingga gelas itu kosong. Badanku terasa lebih segar. Ternyata air putih tadi menetralkan semuanya. Kini aku seperti terlahir kembali. Aku siap menyapa cinta dan bersahabat dengannya lagi. Langkah kakiku terasa sangat ringan, bahkan aku merasa diriku terbang. Kukembangkan senyum di wajahku. Apapun yang terjadi di hadapanku nanti. Apapun yang menghadangku di depan. Rasanya aku jauh lebih siap. Semoga.



Salam,

@AriOtnaigus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar