Jumat, 20 Desember 2013

I Will Survive

Kaisar Wijaya, seorang pelukis muda berbakat yang sedang ramai dibicarakan oleh kalangan seniman dan kolektor-kolektor lukisan. Dari tangannya, lahirlah lukisan yang tampak hidup dan bernyawa. Jemarinya begitu terampil menarikan kuas dan memadu padankan warna sedemikian rupa di atas kanvas putih. Dia mampu berbicara lewat gambar yang dia goreskan. Lukisannya akan berkata-kata kepada setiap orang yang memandangnya. Semakin lama, semakin banyak cerita yang disampaikan. Begitu kata pengamat seni.

Sementara Devan yang mengaku dirinya musisi jelas tak mengerti dengan hal-hal seperti itu. Dia tak terlalu peduli dengan sisi magis yang dibawa oleh sebuah lukisan. Baginya lukisan yang indah adalah yang bisa memanjakan matanya tanpa harus mengerutkan dahi. Tapi, dia percaya dan setuju dengan apa yang pernah dikatakan Kaisar, sahabatnya. Apa yang kau hasilkan dari hati, akan diterima oleh hati juga.

"Makasih, Van. Lu udah nyempetin dateng kesini."
"Ini adalah pameran tunggal perdana lu, mana mungkin gue ngelewatin moment berharga sahabat gue ini. Congratulation, brother!" Devan menawarkan tangannya. Kaisar menyambutnya, kemudian memeluknya erat. "Thanks, Van."

"Minggu depan giliran lu dateng ke konser perdana gue." Kaisar melepaskan pelukannya. Antara bingung dan kaget. Devan tertawa. "Bukan konser sih, gue jadi penyanyi kafe sekarang. Dan lu harus dateng di moment pertama gue manggung sebagai penyanyi profesional."

"Hebat. Lu udah selangkah lebih maju mendekati mimpi lu. Pasti gue dateng, Van. Gue janji." Kaisar membentuk huruf V dari jari tengah dan telunjuk tangan kanannya.

***

Berulang kali Kaisar melihat jam tangannya, kemudian melihat ke luar lewat jendela. Hujan sangat deras. Langit begitu gelap. Kilat seakan membelah langit. Suara gemuruh semakin melengkapi tanda bahwa hujan tak mungkin reda setengah jam lagi.

"Telepon Devan saja. Dia pasti bisa memaklumi." Kaisar berhenti seketika dari mondar-mandirnya begitu mendengar suara Mamanya. "Nggak bisa, Ma. Aku udah janji sama Devan. Kalau aku nggak dateng, dia pasti kecewa." Mamanya nggak bisa bicara lagi. Dia tahu betul persahabatan anaknya dan Devan. Bahkan, Devan sudah dianggap anak sendiri olehnya.

Dengan berbalut jas hujan, Kaisar menembus lebatnya hujan dengan motornya. Jalan sangat gelap karena lampu penerangan jalan mati. Jarak pandang sangat terbatas. Kaisar kehilangan kendali motornya ketika ada mobil yang mengerem mendadak di depannya. Dia banting setirnya ke arah kiri. Motornya menabrak pohon di trotoar dan dia terlempar ke badan jalan. Nahas, sopir bus yang melintas tak sempat menginjak remnya. Tangan Kaisar terlindas roda depan bus, dua-duanya. Dia selamat, tapi dokter tak bisa menyelamatkan tangannya. Kedua tangannya harus diamputasi sebatas siku.

Kaisar sangat terpukul. Dia masih belum bisa menerima kenyataan. Sudah hampir dua bulan dia tak keluar kamar. Hampir setiap hari Devan datang ke rumahnya. Bukan hanya karena merasa bersalah, namun memang seharusnya dia ada disamping Kaisar. Kaisar membutuhkannya saat ini. Devan yakin, Kaisar tak mungkin menyalahkannya, karena hanya dia yang diizinkan masuk ke kamarnya selain orang tuanya. Walaupun tak pernah sepatah kata pun keluar dari mulut Kaisar, Devan mengerti dan tetap setia menemaninya dalam kebisuan. Kadang, Devan memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu dari Bondan Prakoso & Fade 2 Black, band favorit mereka. Kaisar hanya menoleh sebentar lalu kembali lagi larut dalam lamunannya sendiri. Namun, Devan tak merasa tersinggung dan kecewa sama sekali. Dia justru tersenyum senang karena Kaisar masih menganggapnya ada. Itu sudah cukup.

***

Hari ini aku disini
Berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada
Yang tlah membakar seluruh jiwa

Kucoba resapi, kucoba selami
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi

I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Untuk lewati semua ini

Devan berhenti bernyanyi. Dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih dia disana.

"Gue balik dulu ya, Sar. Yang terakhir tadi lagu terbarunya Bondan Prakoso. Judulnya 'I Will Survive'. Kalau pengen tahu lengkapnya, dengerin ini ya." Devan meletakkan sebuah CD di samping Kaisar yang sejak tadi hanya terbaring diam di ranjangnya. Kaisar hanya melihat sekilas seperti biasanya, kemudian membuang pandangannya ke tempat yang tak diketahui siapapun, bahkan dirinya sendiri. Tak ada kehidupan di sorot mata itu, hampa. Devan menghembuskan nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia masih tak percaya, Kaisar yang ceria terlihat sangat menyedihkan sekarang. Sebelum butiran air menetes dari matanya, Devan mengusap rambut Kaisar dan pamit pulang. "Gue pulang, Sar. Kamu bisa."

***

Sudah satu minggu Devan tak datang ke rumah Kaisar. Kaisar merasa sangat kehilangan. Dia membayangkan kembali masa-masa mereka memulai melangkahkan kaki mereka mengejar mimpi. Kaisar ingin jadi pelukis dan Devan ingin jadi musisi. Selepas lulus dari SMA, keduanya melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Kaisar mengambil jurusan seni rupa dan Devan di jurusan sastra.

"Enak ya lu, bokap sama nyokap lu dukung keinginan lu. Sementara gue, boro-boro didukung. Bokap gue malah sebenernya pengen gue jadi dokter kayak dia. Tapi, lu tahu sendiri lah, mana mungkin gue yang bebal ini bisa masuk kedokteran. Bisa diterima di sastra aja udah untung." Devan tertawa lebar.

"Iya, gue bersyukur banget, Van. Gue beruntung punya bokap sama nyokap kayak mereka. Mereka mendukung keinginan gue sejak kecil." Kaisar tersenyum bangga. "Lu hanya perlu membuktikan pada ortu lu kalo lu bisa bertahan hidup dari keinginan lu. Mereka hanya cemas. Orang tua mana sih yang nggak ingin anaknya sukses. Makanya, mari kita buktikan pada mereka kita bisa sukses dengan pilihan kita."

"Yap. Dulu mereka juga berharap kakak gue bisa kerja di kantoran. Makanya kakak gue disuruh ambil jurusan ekonomi. Berhubung kakak gue sangat mencintai dunia memasak, setelah lulus dia justru bekerja sebagai chef. Bokap sama nyokap gue sempat marah besar waktu itu, namun setelah kakak gue bisa buka rumah makan sendiri dan sukses, hati mereka pun luluh. Hidup ini lucu ya, Sar," Devan tersenyum. Kaisar ikut tersenyum. "Gue juga mau ngikutin jalan ini dulu, Sar. Siapa tahu gue bisa mencipta lagu dengan lirik-lirik yang puitis."

Kaisar kembali dari lamunannya. Dua butiran air telah mengintip di ujung matanya, bersiap untuk meluncur jatuh. Iya. Lu bener, Van. Hidup ini lucu. Katanya dalam hati. Tuhan lebih memilih tangan gue. Kenapa bukan kaki gue? Atau nyawa gue sekalian, gue lebih ikhlas. Kehilangan tangan lebih menyiksa gue. Tuhan bukan hanya merampas tangan gue, tapi juga mimpi gue. Ini nggak adil. Pipinya kini telah basah. Dan dia semakin sedih ketika sadar bahwa dia tak bisa menghapus air matanya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dikenalnya dari radio yang sejak tadi dinyalakannya tapi tak begitu didengarkan. Susah payah dia membesarkan volumenya dengan kaki kanannya.

Hari ini kan ku pastikan
Aku masih ada disini
Mencoba lepaskan, coba bebaskan
Segala rasa perih di hati

Kucoba resapi, kucoba hayati
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi

And I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Tuk lewati semua ini

Engkau selalu ada
Di saat jiwaku rapuh, di kala ku jatuh
And I want you to know
That I will fight to survive
I will not give up, I will not give in
I'll stay alive for you..for you..for You..

Di tengah kesedihannya dia tersadar. Tuhan Maha Adil. Tuhan percaya kalau dia punya hal lebih selain dari kekuatan tangannya yang selama ini dia banggakan. Tugasnya sekarang adalah membuktikan pada Hidup, juga pada dirinya sendiri bahwa dia bisa bertahan tanpa tangan. Kenapa harus ditangisi sesuatu yang bukan miliknya. Tangan itu milikNya. Dan Dia berhak mengambilnya kapanpun, tanpa harus menunggu kesiapan dari yang selama ini mengakuinya sebagai miliknya.

***

"Maaf, Tante. Kemarin-kemarin nggak bisa dateng."
"Dia ada di galeri."
Devan tersentak. Antara kaget dan senang melihat senyum yang mengembang kembali di wajah Mamanya Kaisar. Sudah lama dia tak melihat pemandangan itu. Dia langsung berlari ke galeri yang terletak di samping kanan rumah. Dia semakin kaget ketika mendapati Kaisar melukis menggunakan mulutnya. Terharu dengan apa yang dilihatnya, dia justru hanya berdiri mematung di mulut pintu.

"Ngapain lu disitu, sini masuk!" Kata Kaisar setelah melihat sahabatnya yang hanya diam di pintu. "Lihat ini! Nggak usah buru-buru memuji. Nggak usah membesarkan hati gue. Hati gue sudah terlalu besar, sebesar semangat gue sekarang." Kaisar tertawa. "Selain dengan mulut, gue juga ngelatih kaki gue. Gue yakin, nantinya mulut dan kaki gue bisa sehebat tangan gue dulu." Devan mengangguk. "Pasti."

"Oh, ya. Be te we, kemarin kemana aja lu?" Kaisar seperti menginterogasi. Ketus. "Sory banget, Sar. Gue rekaman, demo gue diterima label. Tapi, untuk permulaan, sekarang single dulu." Devan berkata penuh semangat. "WOW! KEREN!" Devan kaget mendengar teriakan Kaisar.

"Selamat." Kaisar hendak mengulurkan tangannya. Sejenak dia tersadar, kemudian berkata lirih dan menunduk. "Selamat, Van." Devan yang melihat itu, langsung memeluk sahabatnya. Mendekapnya erat. Pandangannya mulai kabur. Bulir air telah menetes dari matanya.

"Lu nangis, Van. Cengeng. Cepetan hapus. Gue nggak perlu dikasihani. Gue akan buktiin gue bisa bertahan hidup tanpa harus menjual kekurangan gue dengan meminta-minta di pinggir jalan." Devan melepaskan pelukannya. "Siapa juga yang nangis, gue abis nguap tau!" Kaisar tertawa. Devan tertawa. Tak tahu apa yang mereka tertawakan, barangkali mereka sedang menertawakan hidup yang sedang mereka jalani. "Lu ambil gitar gih! Kita nyanyi lagu barunya Bondan, yuk!"

I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive

I will survive, I will revive
Getting stronger to stay alive
Kau berikan aku kekuatan
Tuk lewati semua ini

"STOP!" Teriakan Kaisar sekali lagi mengagetkan Devan. "Izinkan gue nyanyi bagian terakhir ini sendiri. Dunia harus tahu kalau gue lebih besar dari hidup. Gue yang mengendalikan hidup. Dan untuk Dia Yang Mengendalikan Semua, Sang Maha Dalang Pemilik Skenario Sempurna, gue mau berterima kasih padaNya. Dialah alasan terbesar gue untuk terus bertahan." Devan mengangguk dan tersenyum bahagia. Sahabatnya telah menemukan lagi kepingan dari dirinya sendiri yang sempat hilang.

I will survive, I will revive
Getting bigger, bigger than life
Engkau Yang Esa, Yang Perkasa
You give me reason to survive.



Salam,
@AriOtnaigus :)


*Pernah di ikutkan lomba disini, tapi kalah. :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar