Rabu, 28 November 2012

Sepatu dan Topi

Hari ini  (lagi) aku merasakan kesepian di dalam keramaian. Setelah hujan yang membasahi tanah sore tadi dan kemenangan timnas Indonesia yang berhasil membuat sejarah baru dengan mengalahkan Singapura yang tentunya disambut gembira dan bangga oleh seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali saya. Sorak sorai teman-teman kos yang menyemangati timnas tadi kini telah reda, telah kembali normal seperti biasa. Sejenak aku terdiam dalam keheningan kamar, membayangkan petinggi-petinggi organisasi sepak bola kita yang seakan meributkan hal-hal yang 'tak penting' yang tak kunjung usai. Mungkin bukan petinggi bola saja, mungkin hampir semua petinggi di negeri ini yang seolah mereka mencari kebenaran mereka sendiri dengan mengecilkan kepentingan bersama.

Disaat seperti ini, pikiranku selalu tertuju pada tempat yang selalu aku rindukan, rumah. Aku merindukan segala yang ada di rumah, penghuninya --orang tua dan saudara tercinta, suasananya, kehangatan dan 'aroma' yang menyyebar ke setiap penjuru rumah. Kali ini aku teringat salah satu kata bapak ketika kami mengobrol santai di teras rumah (kapan tepatnya aku lupa), sesaat setelah melihat tayangan berita tentang petinggi yang korupsi. Kata bapak waktu itu "Jadilah seperti topi, seberapa jeleknya dia, pasti dipakai di kepala. Jangan jadi sepatu, semahal apapun harganya tetap aja dipakai di kaki". Waktu itu aku mengangguk, mungkin bapak ingin anaknya menjadi orang yang dihormati orang lain bukan diinjak-injak.

Sekarang aku melihat hal itulah yang terjadi pada petinggi-petinggi negeri ini. Mereka menjadikan dirinya topi. Mereka ingin dihormati, mereka ingin dipuja walau kelakuan mereka 'busuk'. Sementara rakyat kecil mereka anggap sebagai sepatu yang (terlalu) sering mereka injak-injak dengan seenak mereka sendiri, mereka masukkan ke lumpur, mereka gunakan sebagai tumpuan untuk memudahkah 'jalan' mereka ke tempat yang mereka inginkan. Namun mereka harusnya sadar ketika topi tersebut jatuh ke tanah entah (si)apa yang menjatuhkannya, si sepatu siap untuk menginjak mereka dengan kejam karena kekesalan dan kemarahan yang telah menggunung.

Tak semuanya memang petinggi 'busuk'. Akhir-akhir ini yang banyak diperbincangkan adalah Jokowi-Ahok, gubernur dan wakil gubernur 'baru' Jakarta. Di mataku mereka bukan hanya menempatkan dirinya sebagai topi, tapi juga sekaligus sepatu. Mereka menjadi fungsi topi sesungguhnya yaitu melindungi dan mengayomi, melayani dan menjadi alat bantu 'jalan' bagi warganya layaknya sepatu. Walaupun aku bukan warga Jakarta yang merasakan langsung kinerja mereka tapi aku turut bangga ternyata di negeri ini masih ada sosok petinggi seperti mereka.Aku percaya ini bukan pencitraan. Mungkin terlalu dini menilai mereka, namun entah kenapa aku yakin bahwa mereka akan tetap seperti ini. Kadang aku berpikir dan berandai-andai, seandainya mereka berdua jadi orang nomor satu dan dua di negeri ini. Apakah sosok seperti ini yang dibutuhkan untuk mengeluarkan Indonesia dari 'derita' ini? Apakah mereka sosok ideal itu? Ini tanpa maksud apa-apa, sesungguhnya aku hanyalah orang yang mengagumi akan kinerja mereka.

Akhirnya kini aku meralat apa yang dikatakan bapak. Topi dan sepatu tetap sama pentingnya selama dipakai sebagai fungsinya yang sesungguhnya. Keduanya dapat bersama-sama membantu 'perjalanan menuju tujuan. Jadilah 'pelayan' yang baik bagiNya dengan membantu 'jalan' setiap manusia yang membutuhkannya, maka dengan sendirinya kau akan diangkat, dijunjung dan dihormati tanpa kau menghalalkan segala cara. JADILAH TOPI JANGAN dan JADI SEPATU yang baik.


pengagum Bapak,

Ari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar