Minggu, 13 Januari 2013

Perasaanku Tak Berjudul (???)

Aku ingin bertanya , namun aku tak butuh jawaban.
Aku ingin berbicara, tanpa aku harus memberi alasan.
Aku ingin bercerita, walau mungkin tak ada yang mendengar.
Aku ingin menulis, meski tak akan pernah dibaca.

Belakangan ini, aku merasakan hidupku tak berarti. Mungkin sejak pergantian tahun kemarin aku merasa hidupku terlalu 'mengalir' mengikuti arus, segalanya berjalan serasa tanpa kesadaranku. Bahkan untuk sekedar mengingat kejadian yang terjadi pada hari-hariku pun aku tak sanggup. Ada apa dengan hidupku ini? Aku kembali menjalani hidupku pada rutinitas yang memaksa raga yang sebenarnya ingin berteriak, namun jiwaku seperti tak mau mengikuti raga ini melangkah. Jiwaku seperti masih tertinggal di rumah, tempat yang selalu aku rindukan. Aku tak tahu apakah karena tak berkualitasnya waktu yang kujalani selama di rumah kemarin atau karena aku sudah muak dengan topeng-topeng manusia di sekitarku sekarang.

Aku berada di titik hidup yang tak pernah aku mengerti. Di titik jenuh kehidupan yang memberikan jarak yang jauh antara yang 'ada' dan 'tak ada'. Kesenjangan yang menjadi batas dalam menikmati indahnya hidup. Hukum dunia yang semakin tak mampu untuk kupercayai. Tentang arti sebuah kata 'keadilan' yang semakin tak mampu aku mengerti, semakin tak tahu keadilan ini masih ada atau tidak, semakin bingung dengan terciptanya istilah keadilan, (diper)untuk(kan) (si)apa ???

Adil memang bukan harus menyama ratakan, namun adil itu sesuai porsinya. Porsi yang bagaimana? keadaan yang bagaimana? Ukuran keadilan menjadi rancu untuk dilaksanakan. Andai aku mampu hidup bebas seperti burung di angkasa. Mengepakkan sayap dengan sempurna menjelajahi cakrawala, berkicau menyanyikan kebahagiaan dan merayakan kebebasan. Ah, benarkah mereka benar-benar bebas? Bukankah kau juga tak pernah tahu hal itu??

Hidup memang kompetisi yang sengit. Pertandingan yang harus dimenangkan. Semua ingin menang, semua ingin jadi yang terbaik, namun ternyata harus ada yang bersedia untuk (di)kalah(kan). Menurtku, pemenang adalah mereka yang mau dan mampu belajar dari kekalahan, sementara pecundang adalah mereka yang takut akan kekalahan. Walaupun aku sendiri juga masih belum mampu untuk menghilangkan rasa takutku akan kekalahan-kekalahan. Kekalahan selalu meninggalkan luka, rasa sakitnya pun hanya kita yang mampu untuk menyembuhkannya. Aku ingin berteriak, meneriakkan tentang kemenangan yang harus ditentukan dengan deret rangking, standarisasi yang berdasarkan urutan yang menciptakan pengelompokan-pengelompokan kasta.

Cinta yang katanya mempunyai kekuatan lebih besar dari apapun di dunia ini, apakah masih menjaga kemurniannya sebagai rasa yang paling indah? Aku ingin melepaskan topeng-topeng kemunafikan, aku tak mau lagi berdiri di belakang 'citra', aku ingin jujur sejujur jujurnya, namun pertanyaan-pertanyaan bernada sinis dari suara-suara yang tak kukenali hingga suara yang sangat akrab denganku-- suara hatiku sendiri, mulai memenuhi telingaku. Apakah kau mampu? Apakah kau sanggup? Sampai kapan kau mampu? Sampai kapan kau sanggup???

Tentang perasaanku padanya, aku ingin menuliskan dan membisikkan untuknya. "Aku adalah udara yang kau hirup. Yang semestinya penting bagimu, namun hadirnya sering tak termaknai olehmu". Ah sudahlah, aku tak ingin bersok romantis, sesungguhnya aku sedang kesal akan keadaan, sedang rindu kehangatan rumah, sedang berharap dengan keajaiban yang mampu mengubah keadaan, sedang bingung melepaskan jerat topeng, sedang mencari tahu tentang makna keadilan, sedang bimbang akan perasaan, sedang belajar memaknai hidup..huh sedang mencoba menikmati tanda tanya kehidupan.

Aku ingin menangis tanpa berair mata...


Salam,

@AriOtnaigus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar