Jumat, 20 Desember 2013

I Will Survive

Kaisar Wijaya, seorang pelukis muda berbakat yang sedang ramai dibicarakan oleh kalangan seniman dan kolektor-kolektor lukisan. Dari tangannya, lahirlah lukisan yang tampak hidup dan bernyawa. Jemarinya begitu terampil menarikan kuas dan memadu padankan warna sedemikian rupa di atas kanvas putih. Dia mampu berbicara lewat gambar yang dia goreskan. Lukisannya akan berkata-kata kepada setiap orang yang memandangnya. Semakin lama, semakin banyak cerita yang disampaikan. Begitu kata pengamat seni.

Sementara Devan yang mengaku dirinya musisi jelas tak mengerti dengan hal-hal seperti itu. Dia tak terlalu peduli dengan sisi magis yang dibawa oleh sebuah lukisan. Baginya lukisan yang indah adalah yang bisa memanjakan matanya tanpa harus mengerutkan dahi. Tapi, dia percaya dan setuju dengan apa yang pernah dikatakan Kaisar, sahabatnya. Apa yang kau hasilkan dari hati, akan diterima oleh hati juga.

"Makasih, Van. Lu udah nyempetin dateng kesini."
"Ini adalah pameran tunggal perdana lu, mana mungkin gue ngelewatin moment berharga sahabat gue ini. Congratulation, brother!" Devan menawarkan tangannya. Kaisar menyambutnya, kemudian memeluknya erat. "Thanks, Van."

"Minggu depan giliran lu dateng ke konser perdana gue." Kaisar melepaskan pelukannya. Antara bingung dan kaget. Devan tertawa. "Bukan konser sih, gue jadi penyanyi kafe sekarang. Dan lu harus dateng di moment pertama gue manggung sebagai penyanyi profesional."

"Hebat. Lu udah selangkah lebih maju mendekati mimpi lu. Pasti gue dateng, Van. Gue janji." Kaisar membentuk huruf V dari jari tengah dan telunjuk tangan kanannya.

***

Berulang kali Kaisar melihat jam tangannya, kemudian melihat ke luar lewat jendela. Hujan sangat deras. Langit begitu gelap. Kilat seakan membelah langit. Suara gemuruh semakin melengkapi tanda bahwa hujan tak mungkin reda setengah jam lagi.

"Telepon Devan saja. Dia pasti bisa memaklumi." Kaisar berhenti seketika dari mondar-mandirnya begitu mendengar suara Mamanya. "Nggak bisa, Ma. Aku udah janji sama Devan. Kalau aku nggak dateng, dia pasti kecewa." Mamanya nggak bisa bicara lagi. Dia tahu betul persahabatan anaknya dan Devan. Bahkan, Devan sudah dianggap anak sendiri olehnya.

Dengan berbalut jas hujan, Kaisar menembus lebatnya hujan dengan motornya. Jalan sangat gelap karena lampu penerangan jalan mati. Jarak pandang sangat terbatas. Kaisar kehilangan kendali motornya ketika ada mobil yang mengerem mendadak di depannya. Dia banting setirnya ke arah kiri. Motornya menabrak pohon di trotoar dan dia terlempar ke badan jalan. Nahas, sopir bus yang melintas tak sempat menginjak remnya. Tangan Kaisar terlindas roda depan bus, dua-duanya. Dia selamat, tapi dokter tak bisa menyelamatkan tangannya. Kedua tangannya harus diamputasi sebatas siku.

Kaisar sangat terpukul. Dia masih belum bisa menerima kenyataan. Sudah hampir dua bulan dia tak keluar kamar. Hampir setiap hari Devan datang ke rumahnya. Bukan hanya karena merasa bersalah, namun memang seharusnya dia ada disamping Kaisar. Kaisar membutuhkannya saat ini. Devan yakin, Kaisar tak mungkin menyalahkannya, karena hanya dia yang diizinkan masuk ke kamarnya selain orang tuanya. Walaupun tak pernah sepatah kata pun keluar dari mulut Kaisar, Devan mengerti dan tetap setia menemaninya dalam kebisuan. Kadang, Devan memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu dari Bondan Prakoso & Fade 2 Black, band favorit mereka. Kaisar hanya menoleh sebentar lalu kembali lagi larut dalam lamunannya sendiri. Namun, Devan tak merasa tersinggung dan kecewa sama sekali. Dia justru tersenyum senang karena Kaisar masih menganggapnya ada. Itu sudah cukup.

***

Hari ini aku disini
Berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada
Yang tlah membakar seluruh jiwa

Kucoba resapi, kucoba selami
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi

I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Untuk lewati semua ini

Devan berhenti bernyanyi. Dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih dia disana.

"Gue balik dulu ya, Sar. Yang terakhir tadi lagu terbarunya Bondan Prakoso. Judulnya 'I Will Survive'. Kalau pengen tahu lengkapnya, dengerin ini ya." Devan meletakkan sebuah CD di samping Kaisar yang sejak tadi hanya terbaring diam di ranjangnya. Kaisar hanya melihat sekilas seperti biasanya, kemudian membuang pandangannya ke tempat yang tak diketahui siapapun, bahkan dirinya sendiri. Tak ada kehidupan di sorot mata itu, hampa. Devan menghembuskan nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia masih tak percaya, Kaisar yang ceria terlihat sangat menyedihkan sekarang. Sebelum butiran air menetes dari matanya, Devan mengusap rambut Kaisar dan pamit pulang. "Gue pulang, Sar. Kamu bisa."

***

Sudah satu minggu Devan tak datang ke rumah Kaisar. Kaisar merasa sangat kehilangan. Dia membayangkan kembali masa-masa mereka memulai melangkahkan kaki mereka mengejar mimpi. Kaisar ingin jadi pelukis dan Devan ingin jadi musisi. Selepas lulus dari SMA, keduanya melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Kaisar mengambil jurusan seni rupa dan Devan di jurusan sastra.

"Enak ya lu, bokap sama nyokap lu dukung keinginan lu. Sementara gue, boro-boro didukung. Bokap gue malah sebenernya pengen gue jadi dokter kayak dia. Tapi, lu tahu sendiri lah, mana mungkin gue yang bebal ini bisa masuk kedokteran. Bisa diterima di sastra aja udah untung." Devan tertawa lebar.

"Iya, gue bersyukur banget, Van. Gue beruntung punya bokap sama nyokap kayak mereka. Mereka mendukung keinginan gue sejak kecil." Kaisar tersenyum bangga. "Lu hanya perlu membuktikan pada ortu lu kalo lu bisa bertahan hidup dari keinginan lu. Mereka hanya cemas. Orang tua mana sih yang nggak ingin anaknya sukses. Makanya, mari kita buktikan pada mereka kita bisa sukses dengan pilihan kita."

"Yap. Dulu mereka juga berharap kakak gue bisa kerja di kantoran. Makanya kakak gue disuruh ambil jurusan ekonomi. Berhubung kakak gue sangat mencintai dunia memasak, setelah lulus dia justru bekerja sebagai chef. Bokap sama nyokap gue sempat marah besar waktu itu, namun setelah kakak gue bisa buka rumah makan sendiri dan sukses, hati mereka pun luluh. Hidup ini lucu ya, Sar," Devan tersenyum. Kaisar ikut tersenyum. "Gue juga mau ngikutin jalan ini dulu, Sar. Siapa tahu gue bisa mencipta lagu dengan lirik-lirik yang puitis."

Kaisar kembali dari lamunannya. Dua butiran air telah mengintip di ujung matanya, bersiap untuk meluncur jatuh. Iya. Lu bener, Van. Hidup ini lucu. Katanya dalam hati. Tuhan lebih memilih tangan gue. Kenapa bukan kaki gue? Atau nyawa gue sekalian, gue lebih ikhlas. Kehilangan tangan lebih menyiksa gue. Tuhan bukan hanya merampas tangan gue, tapi juga mimpi gue. Ini nggak adil. Pipinya kini telah basah. Dan dia semakin sedih ketika sadar bahwa dia tak bisa menghapus air matanya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dikenalnya dari radio yang sejak tadi dinyalakannya tapi tak begitu didengarkan. Susah payah dia membesarkan volumenya dengan kaki kanannya.

Hari ini kan ku pastikan
Aku masih ada disini
Mencoba lepaskan, coba bebaskan
Segala rasa perih di hati

Kucoba resapi, kucoba hayati
Segala yang tlah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya
Dan kucoba untuk hadapi

And I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
Kau berikan kekuatan
Tuk lewati semua ini

Engkau selalu ada
Di saat jiwaku rapuh, di kala ku jatuh
And I want you to know
That I will fight to survive
I will not give up, I will not give in
I'll stay alive for you..for you..for You..

Di tengah kesedihannya dia tersadar. Tuhan Maha Adil. Tuhan percaya kalau dia punya hal lebih selain dari kekuatan tangannya yang selama ini dia banggakan. Tugasnya sekarang adalah membuktikan pada Hidup, juga pada dirinya sendiri bahwa dia bisa bertahan tanpa tangan. Kenapa harus ditangisi sesuatu yang bukan miliknya. Tangan itu milikNya. Dan Dia berhak mengambilnya kapanpun, tanpa harus menunggu kesiapan dari yang selama ini mengakuinya sebagai miliknya.

***

"Maaf, Tante. Kemarin-kemarin nggak bisa dateng."
"Dia ada di galeri."
Devan tersentak. Antara kaget dan senang melihat senyum yang mengembang kembali di wajah Mamanya Kaisar. Sudah lama dia tak melihat pemandangan itu. Dia langsung berlari ke galeri yang terletak di samping kanan rumah. Dia semakin kaget ketika mendapati Kaisar melukis menggunakan mulutnya. Terharu dengan apa yang dilihatnya, dia justru hanya berdiri mematung di mulut pintu.

"Ngapain lu disitu, sini masuk!" Kata Kaisar setelah melihat sahabatnya yang hanya diam di pintu. "Lihat ini! Nggak usah buru-buru memuji. Nggak usah membesarkan hati gue. Hati gue sudah terlalu besar, sebesar semangat gue sekarang." Kaisar tertawa. "Selain dengan mulut, gue juga ngelatih kaki gue. Gue yakin, nantinya mulut dan kaki gue bisa sehebat tangan gue dulu." Devan mengangguk. "Pasti."

"Oh, ya. Be te we, kemarin kemana aja lu?" Kaisar seperti menginterogasi. Ketus. "Sory banget, Sar. Gue rekaman, demo gue diterima label. Tapi, untuk permulaan, sekarang single dulu." Devan berkata penuh semangat. "WOW! KEREN!" Devan kaget mendengar teriakan Kaisar.

"Selamat." Kaisar hendak mengulurkan tangannya. Sejenak dia tersadar, kemudian berkata lirih dan menunduk. "Selamat, Van." Devan yang melihat itu, langsung memeluk sahabatnya. Mendekapnya erat. Pandangannya mulai kabur. Bulir air telah menetes dari matanya.

"Lu nangis, Van. Cengeng. Cepetan hapus. Gue nggak perlu dikasihani. Gue akan buktiin gue bisa bertahan hidup tanpa harus menjual kekurangan gue dengan meminta-minta di pinggir jalan." Devan melepaskan pelukannya. "Siapa juga yang nangis, gue abis nguap tau!" Kaisar tertawa. Devan tertawa. Tak tahu apa yang mereka tertawakan, barangkali mereka sedang menertawakan hidup yang sedang mereka jalani. "Lu ambil gitar gih! Kita nyanyi lagu barunya Bondan, yuk!"

I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive

I will survive, I will revive
Getting stronger to stay alive
Kau berikan aku kekuatan
Tuk lewati semua ini

"STOP!" Teriakan Kaisar sekali lagi mengagetkan Devan. "Izinkan gue nyanyi bagian terakhir ini sendiri. Dunia harus tahu kalau gue lebih besar dari hidup. Gue yang mengendalikan hidup. Dan untuk Dia Yang Mengendalikan Semua, Sang Maha Dalang Pemilik Skenario Sempurna, gue mau berterima kasih padaNya. Dialah alasan terbesar gue untuk terus bertahan." Devan mengangguk dan tersenyum bahagia. Sahabatnya telah menemukan lagi kepingan dari dirinya sendiri yang sempat hilang.

I will survive, I will revive
Getting bigger, bigger than life
Engkau Yang Esa, Yang Perkasa
You give me reason to survive.



Salam,
@AriOtnaigus :)


*Pernah di ikutkan lomba disini, tapi kalah. :p

Berani Bermimpi Berani Bertanggung Jawab

"Lu masih ingat ini, kan? Sekarang gue kembalikan pada lu." Dira menyerahkan telepon genggam polyphonicnya kepada Branta. Bukan teleponnya yang ingin dikembalikan, melainkan pesan singkat dari sahabatnya itu beberapa tahun yang lalu yang masih tersimpan baik di kotak masuk. Pesan itulah yang menjadi alasan Dira masih mempertahankan telepon lawasnya yang mungkin lebih pantas sebagai ganjal pintu. Walaupun sudah punya tiga smartphone, Dira merasa telepon genggam pertamanya itu harus dipertahankan. Menurutnya, sejarah tak akan pernah bisa digantikan apalagi dibeli.

Jangan pernah meremehkan cita-cita dan tekad kalian. Yang aku tahu, orang yang paling kecewa adalah yang kandas cita-citanya. (Umar bin Khattab)

"Ini beda kasus, Dir. Kamu berbakat gambar. Dan arsitek adalah pilihan yang tepat untuk lu." Branta menghembuskan nafas panjang. "Maaf, Ta. Menjadi arsitek bukanlah sekadar pilihan. Ini panggilan hati gue, mimpi gue. Seperti halnya lu dan mimpi menjadi penulis."

Branta menatap paketan beramplop coklat, kemudian membuang mukanya dengan raut kecewa yang mendalam. "Realistis aja lah, Dir. Gue nggak berbakat. Itu yang terakhir." Dira terperanjat dari duduknya, tak percaya kalimat itu akan muncul dari mulut seorang Branta yang sangat mencintai dunia menulis.

"Lu tahu, kan? J.K. Rowling dengan Harry Potternya mengalami sepuluh kali penolakan dari penerbit sebelum diterbitkan oleh penerbit yang kesebelas. Sementara lu, ini baru yang ketiga kali. Lu hanya belum berjodoh. Pecayalah, waktu tak akan mengkhianati lu." Branta mengangkat bahunya. "Gue sudah lelah menunggu, Dir."

"Terserah lu aja lah. Sejak tadi lu hanya sibuk mencari alasan. Seharusnya pikirkan bagaimana caranya agar mimpi lu bisa terwujud. Lu bukan lagi Branta, sahabat gue yang gue kenal delapan tahun yang lalu." Branta hanya bisa diam melihat Dira yang semakin berjalan menjauh meninggalkannya sendiri.

***

Ada keraguan ketika tangan itu hendak mengetuk pintu. Dua bulan sejak kejadian waktu itu membuat keduanya asing. Tak pernah lagi bertemu, tak ada kabar dari masing-masing. Akhirnya setelah menguatkan hatinya, Branta memberanikan diri mengetuk pintu rumah Dira.

"Masuk, Ta. Ada apa?" Branta hanya mengangguk pelan. "Gue butuh bantuan lu, Dir." Dira menangkap masalah yang serius di wajah sahabatnya. "Gue mau pinjem uang sama lu. Adik gue harus operasi usus buntu besok." Branta menunduk lesu. "Niken?" Branta mengangguk lemah. Dira nampak berpikir. "Baiklah. Tapi ada syaratnya. Lu harus menyerahkan dua puluh cerpen ke gue. Setiap minggunya satu cerpen." Mata Branta membelalak. Tak menyangka dengan syarat yang diajukan Dira. Seolah tak ada pilihan, Branta akhirnya mengaku kalah pada Dira lewat anggukannya. "Deal." Dira menawarkan tangannya. Branta menyambutnya ragu-ragu.

***

Operasi Niken berhasil. Namun, kesepakatannya dengan Dira harus dilaksanakan. Setiap Minggu, Branta harus mengantarkan cerpennya ke rumah Dira. Hanya mengirim, tak lebih. Dua sahabat itu tak lagi seperti dulu. Tak ada lagi gelak tawa yang membunuh sepi diantara mereka. Tak ada lagi curhat konyol untuk meringkas panjangnya malam. Branta masih tak percaya Dira akan memberikan syarat layaknya deadline yang harus dipenuhi. Yang paling membuat Branta kesal adalah dia harus bersahabat lagi dengan menulis. Dunia yang sudah ingin dia lupakan, dia tinggalkan.

"Ini yang terakhir. Sudah dua puluh, kan? Hutang gue ke elu sudah lunas. Terima kasih." Branta menyerahkan dua lembar kertas folio kepada Dira. "Oke." Dira menerimanya dengan tersenyum.

***

Tak terasa sudah hampir satu tahun Dira tak mengunjungi tempat ini. Tempat yang dulu sering digunakan nongkrong sambil genjreng-genjreng gitar dengan Branta. Rumah Branta, tepatnya depan warung milik ibunya Branta. Dira melihat sahabatnya itu sedang asyik membaca buku di depan warung sehingga tak menyadari kalau dirinya sudah berdiri beberapa meter di depannya. Yang membuat Dira senang, ternyata Branta yang katanya sudah tak mau menulis lagi masih suka baca. Setidaknya dia tak meninggalkan dunia menulis sama sekali.

"Baca apaan sih? Asyik bener." Branta terperanjat dari duduknya. "Eh, elu Dir. Apa kabar?"

Dira hanya tersenyum sambil mengambil posisi duduk di samping Branta. "Ada yang mau gue kasih ke elu. Nih." Dira menyodorkan amplop coklat. Dengan ragu Branta menerimanya dan perlahan membukanya. Branta membelalak setelah membaca isi surat itu. Tak percaya, dengan pelan dan hati-hati dia mengulanginya. Seolah masih mengharapkan kejelasan, dia menoleh ke arah Dira.
"Ini?"
"Iya, Ta."
"Jadi selama ini?"
"Iya. Cerpen yang lu kirim tiap minggu ke gue, gue jadiin naskah kumcer dan gue kirim ke penerbit. Dan ternyata naskah itu diterima dan akan dibukukan bulan depan. Selamat ya." Dira tersenyum lebar.

Tak tahu apa yang harus diperbuat, akhirnya Branta memeluk Dira erat. "Makasih, Dir. Makasih banget." Dira menepuk-tepuk punggung Branta. "Sory ya waktu itu gue ninggalin lu. Mungkin waktu itu lu kecewa sama diri lu sendiri. Tapi gue lebih kecewa sama lu yang menyerah pada hidup, Ta." Branta tak tahu harus berkata apa lagi selain maaf. "Gue yang harusnya minta maaf, Dir. Sory banget ya."

"Pelukan ini bisa dilepasin nggak? Bau badan lu nggak enak." Dira tertawa lebar. Buru-buru Branta melepaskan pelukannya. "Sialan lu." Branta ikut tertawa. Kedua sahabat itu sudah menemukan lagi keping yang hilang diantara mereka.

"Ta, mimpi itu harus dikejar. Harus diwujudkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban lu pada mimpi lu. Berani bermimpi, berani bertanggung jawab."
"Siap komandan." Branta mengambil posisi hormat.
"Lebay lu ah. Lagian sejak kapan aba-aba siap ada gerakan hormatnya." Branta hanya nyengir. "Nggak ada perayaan nih?" Dira mengangkat alisnya. "Oke." Branta mengambil dua minuman botol dan sebungkus besar kacang kulit dari warung ibunya.

Dingin yang kini telah menghangat. Beku yang kini telah mencair. Malam itu menjadi saksi dua sahabat yang telah meraih mimpi-mimpinya.



Salam,
@AriOtnaigus :)



*Pernah di ikutkan lomba menulis disini, tapi kalah. :p

Minggu, 01 Desember 2013

Empat Cangkir Kopi di Pagi Ini

Alarm membangunkanku tepat di jam enam lebih sepuluh pagi. Angka yang telah lama kusetel. Mataku sangat berat untuk membuka, namun aku harus memaksanya. Ada janji hari ini di jam delapan pagi yang harus aku penuhi. Aku berdiri di depan cermin. Ada zombie disana, mata merah dengan lingkaran hitam yang mengelilinginya. Kantung mata yang semakin menggantung. Raut muka yang kelelahan, kusut. Sangat menakutkan. Ya, itulah aku. Bagaimana tidak, aku selalu terjaga sepanjang malam selama satu minggu terakhir. Mataku baru memejam di atas jam tiga pagi, menjelang adzan subuh. Di sepanjang keterjagaanku, kenangan tentangnya terus mengalir deras tanpa bisa ditahan. Aku menangis tanpa berair mata. Cinta telah mengalahkanku. Menjatuhkanku dalam jurang luka yang begitu perih. Mengoyak hati, perasaan dan logikaku dengan kuku-kuku dan taringnya yang tajam. Merampas kebahagiaan yang kurawat selama empat tahun hanya dalam waktu beberapa menit saja. Ini tidak adil. Aku dikhianati. Cinta, waktu dan dunia telah bersepakat untuk itu. Aku tak berdaya di hadapan mereka. Seperti daun yang telah menguning yang bersiap untuk jatuh. Aku pasrah, namun aku tak akan menyerah.

Kopiku pagi ini kutambahi susu. Pahit dan manis akan menyatu dalam satu seduhan yang aku harapkan akan mampu menghilangkan kantuk yang masih menggelantung di mataku. Saat kutuang air di cangkir kopi, aku melihat gambaran diriku ketika belum mengenal cinta secara dekat. Ketika aku masih merasa puas melihatnya dari kejauhan. Hidupku kala itu berjalan dinamis. Bebas tanpa batas. Longgar tak bersangkar. Aku senang melihat mereka yang bersahabat dengan cinta .Dan tertawa saat mereka over dosis akan cinta hingga mereka mabuk kepayang karenanya. Sementara aku masih berdiri di balik benteng kokoh yang membatasi diriku dengan cinta. Mungkin aku dan cinta sama-sama sedang saling menunggu. Siapa yang akan menyapa terlebih dulu, aku atau cinta. Untuk urusan ini aku menyerahkan sepenuhnya pada waktu. Membiarkannya menjawab tanpa tendensi apa-apa.

Kopi susuku tak berpengaruh banyak. Mata justru semakin ingin terus memejam. Aku menyeduh kopi keduaku. Kali ini kutambahkan krimer. Kopi, susu dan krimer dalam sebuah cangkir adalah komposisi yang pas untuk menemani sepotong roti gandum dan sehelai roti tawar dengan selai coklat sebagai sarapanku. Manis. Seperti saat cinta menyapaku. Kemudian menawarkan tangannya dan kusambut dengan senyum bahagia. Kita resmi berkenalan. Waktu terasa melambat. Menetes secara teratur. Semuanya tampak indah. Ternyata beginilah rasanya dilanda cinta. Surga bisa kamu ciptakan sendiri. Membayangkannya membuatmu tersenyum, menyentuhnya membuatmu melayang dan memeluknya membuatmu menembus dimensi lain. Perasaan yang luar biasa. Aku selalu membawa cinta kemana pun aku pergi. Menggandengnya, menggendongnya dan kadang kumasukkan dalam saku atau ranselku. Untuknya, selalu ada tempat.

Cangkir keduaku tak banyak membantu. Aku mengambil handukku untuk mandi. Guyuran air hanya mampu mengusir sekilas rasa kantukku. Berbalut handuk yang melingkar di pinggang, kubuat kopi ketigaku. Hanya sedikit gula yang akan menemaninya kali ini. Pahit, namun masih ada rasa manis yang tersamar. Cinta mulai menusukku dari belakang. Menebarkan paku di sepanjang jalanku. Menjegal langkahku yang telah terseok. Tapi aku tak bisa menyalahkannya begitu saja. Mungkin ini adalah kesalahanku sendiri yang tak mampu menjadi sahabat yang baik untuknya. Betapa aku menyadari, dia yang dengan rela dan setia menemani setiap detik waktuku dan setiap jengkal langkah kakiku. Dan aku merasa kurang, aku selalu menuntut lebih.

Semua sudah siap. Dasi telah terpasang pada tempatnya. Semua berkas telah masuk ke dalam koper tanpa ada yang terlupa. Kopi pahit. Aku butuh kopi pahit di cangkir keempatku. Kumasukkan tiga sendok kopi ke dalam cangkirku. Kopi saja, tanpa teman yang lain. Kuseduh dengan air panas. Satu seruputan menyadarkanku. Ini sangat pahit. Pahit sekali. Dan ternyata aku butuh sesuatu yang pahit untuk benar-benar membukakan mataku. Aku tak boleh memanjakan lidahku saja. Seperti obat yang menyembuhkan luka. Aku harus menelan pahit itu. Tapi pahit itulah yang nantinya akan mengobatiku, menyembuhkanku dari segala penyakit dan luka. Hidupku harus dilanjutkan. Banyak yang menungguku untuk kukejar. Tak pantas aku berdiam diri saja dengan luka yang dibiarkan membusuk.

Jam telah menunjuk di angka tujuh lebih dua puluh menit. Aku harus berangkat sekarang. Haus menghentikan langkahku sejenak. Kuambil segelas air putih. Berteguk-teguk air telah tertelan hingga gelas itu kosong. Badanku terasa lebih segar. Ternyata air putih tadi menetralkan semuanya. Kini aku seperti terlahir kembali. Aku siap menyapa cinta dan bersahabat dengannya lagi. Langkah kakiku terasa sangat ringan, bahkan aku merasa diriku terbang. Kukembangkan senyum di wajahku. Apapun yang terjadi di hadapanku nanti. Apapun yang menghadangku di depan. Rasanya aku jauh lebih siap. Semoga.



Salam,

@AriOtnaigus

Selasa, 12 November 2013

1

Satu tahun yang lalu, di sebuah kamar kos dan laptop milik teman aku memulai bercerita pada Tuhan melalui ruang ini. Alhamdulillah, di usianya yang satu tahun ini aku sudah bisa menuliskan ceritaku menggunakan laptop milik sendiri. Barang yang kubeli dengan mengumpulkan rupiah demi rupiah hasil dari usahaku yang menguras tenaga dan keringat. Barang kedua setelah sepeda motor yang bisa kumiliki dari manfaat menabung, menyisihkan sisa uang gajian per bulan setelah digunakan untuk makan dan biaya hidup lainnya.

Tujuan mencorat-coret ruang ini adalah untuk menyalurkan hobi menulisku sekaligus media curhat. Menumpahkan perasaan di hati yang akhirnya keluar menjadi tulisan-tulisan yang aneh, konyol dan tak terlalu penting. Tak pernah kusangka sebelumnya bahwa ruang ini sudah dibuka (semoga dibaca) lebih dari empat ribu lima ratus kali. Angka yang sangat besar untuk ukuranku. Cerita yang paling banyak dibuka adalah #Bondanf2b dan Kabar Kevakumannya, sudah lebih dari seribu seratus kali dibuka. Kemudian di bawahnya ada Ceritaku Tentang #NovelTakSempurna yang sudah tujuh ratus sekian kali dibuka. Tentu saja angka sebesar itu karena pernah di retweet di akun twitter orang-orang yang bersangkutan yang aku "paksa" untuk mau melirik tulisanku. Terima kasihku untuk Bondan Prakoso, Fahd Djibran, Santoz Ariego, Alexander Thian dan Bernard Batubara yang telah mengikhlaskan waktunya untuk menengok ruang cerita ini dan membantu menyebarkannya yang secara tidak langsung telah memperkenalkan ruangan ini pada lebih banyak orang. Terima kasih pula untuk orang-orang yang telah meluangkan waktunya untuk berkunjung (sengaja atau karena tersesat) ke ruang ceritaku. Terima kasih atas kerelaan kalian semua.

Aku akan terus mengotori ruang ceritaku ini dengan sampah-sampah otak dan hati yang sudah tak tertampung lagi di kepala dan jiwa. Disinilah tempatku untuk meledakkannya. Bagiku menulis adalah waktu untukku bisa membalas dendam pada hidup, kesempatanku untuk menjadi dalang ketika aku merasa cukup lelah selalu menjadi wayang dari Sang Maha Dalang. Walaupun aku tahu, tak pernah mudah untuk menjaga konsistensi dalam menulis. Tapi aku akan terus berusaha. Mungkin ini janjiku pada diriku sendiri.


Salam,
Ari

Senin, 28 Oktober 2013

Dia yang Tak Kunjung Datang

Di sudut tersepi dia bersembunyi
Menyesatkanku pada kamar dingin bernama sunyi
Jika dalam gelap bayangannya menghilang
Kenapa dia tak memelukku di sorot cahaya benderang
Harusnya kita menyatu dalam pekat
Nyatanya betapa mudah dia lupa jika kita telah bersepakat
Untuk berjanji setia yang tak perlu kita debat
Aku mencarinya
Tapi semua jejak langkahnya dia buang
Aku menunggunya
Tapi dia telah melupakan jalan pulang

Ini cangkir kopi ketujuh
Masih kurapalkan mantra rindu usang yang tak pernah melumpuh
Cangkir kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan kesebelas
Kenangan tentangmu yang menusuk rasaku kian membekas
Teriakan seperti apa yang sanggup memanggilmu segera kembali
Sementara kata-kata yang mewujud suara hanya terdengar geli
Menelan lagi huruf demi huruf yang telah kumuntahkan
Adalah pilihan untuk aku tetap bertahan

Kini setiap langkahku habis untuk menghitung waktu
Hingga jariku tak cukup dan aku hanya bisa menggerutu
Mengumpat mereka yang tak bisa mencipta rumus rindu
Tiap hariku, menit dan detikku berubah sendu
Menyaksikan harapan dan nafasku yang saling beradu
Memburu detak jantung untuk tak lagi bernyanyi merdu
Aku carut marut di malam yang kian larut
Aku lebam di suasana yang semakin menghitam
Aku menangis di tengah rintik hujan gerimis
Aku tersiksa disaat sepi berkuasa


*Ditulis ketika lampu bohlam di kepalaku malas berpijar,
  inspirasi yang kucari enggan singgah untuk menyapa,
  dan sel-sel otakku sedang mengering.

Salam,

@AriOtnaigus

Selasa, 08 Oktober 2013

"Intim Berdua" Dengan ADA Band di Jatim Fair

Hello dunia selamat malam Minggu
Beri malam yang tak terlupakan
Menyentuhmu dengan kata indah
Wangi aroma intim berdua

Meski bukan malam Minggu. Kamis lalu, 3 Oktober 2013, ADA BAND manggung di Jatim Fair 2013. Hal yang sudah lama aku tunggu. Sebenarnya sebelum berangkat nonton, gejala flu sudah mulai kurasakan, "awak nggreges" kalau istilah jawanya. Tapi karena sudah janjian sama teman sejak kapan tahu, akhirnya berangkatlah kita sepulang kerja. Sampai di lokasi hampir jam delapan malam dan disana Pakdhe Karwo masih memberikan sambutan pembukaan Jatim Fair 2013. Setelah selesai sambutan dari Pakdhe Karwo, ada pesta kembang api yang sangat indah. Romantis menurut mereka yang sedang kasmaran. Sementara bagiku cukup membayangkannya saja. Hahaha..

ArmADA dan penonton sudah berjejalan di depan pintu masuk. Sementara gerbang masih ditutup karena lokasi masih dibersihkan dari kursi-kursi yang digunakan untuk tamu-tamu undangan di acara sebelumnya. Sekitar jam sembilan gerbang dibuka, semua berlari untuk berebut di posisi terdepan. Dan aku pun tersugesti untuk ikut-ikutan lari mencari tempat. Nggak sia-sia, aku dapat tempat depan panggung sebelah kiri, tepat di depannya Mas Dika.



Dibuka dengan empat orang sexy dancer yang "hot" abiz. Selanjutnya kita dipaksa untuk mendengarkan celoteh dari duo MC, Iqbal dan Felicia yang garing cenderung jayuz (piss masbro dan mbaksist.. :p). Akhirnya Ada Band tampil juga dengan membawakan lagu pembuka "Langit Tujuh Bidadari". Semua langsung ikut bernyanyi dan jingkrak-jingkrak bareng Ada Band. Walaupun panas kota Surabaya waktu itu terasa sekali, namun tak mengurangi semangat kami untuk ikut bernyanyi dan berjoget bareng Ada Band. Aura dan energi Ada Band waktu itu benar-benar luar biasa. Energi itu pun menular kepada kami sehingga keringat yang telah membanjiri tubuh pun sudah tak kami hiraukan. Bau badan sudah kami abaikan. Hehehe..
 

Awalnya aku merasa berada di surga, karena di sekelilingku rata-rata cewek. Kalau  masih menganggap wanita itu lemah, coba pikir-pikir lagi deh. "The power of woman" kurasakan betul waktu sang vokalis, Donnie turun panggung menawarkan tangannya untuk disambut oleh cewek-cewek yang sejak awal konser teriak-teriak histeris. Aku yang awalnya di barisan depan dipaksa mundur beberapa langkah, terdesak oleh mereka.

Si Abang Donnie yang waktu itu tampil gokil dengan aksi panggung yang "gila" tetap menjadi perhatian utama sebagian besar penonton, khususnya cewek. Mas Dika yang berdiri tepat didepanku tampak selalu menebarkan senyum kharismatiknya. Mas Marshal yang berada di kanan panggung, malam itu tetap tampil cool seperti biasanya. Sebenarnya aku kasihan melihat Mas Adhy yang kelihatan kepanasan luar biasa di belakang drumnya. Dia juga paling susah diambil gambarnya karena jauh banget di belakang.






Kalau tidak salah ingat, malam itu Ada Band membawakan 13 lagu. Dibuka dengan Langit 7 Bidadari, lalu Pemain Cinta, setelah itu (lupa urutannya) Jadikan Aku Raja, Surga Cinta, Yang Terbaik Bagimu, Masih, Manusia Bodoh, Karena Wanita, Manja, Beib, Pemujamu, Intim Berdua dan ditutup dengan lagu Kau Auraku. Tema malam itu mungkin bisa disebut "anti galau", karena semua lagu dimainkan dengan musik dance. Bahkan lagu mellow galau seperti Masih, Manusia Bodoh dan Jadikan Aku Raja menjadi up beat dan asyik buat goyang. Secara keseluruhan aku sangat terhibur dan menikmati penampilan mereka malam itu. Bahkan demamku yang semakin naik bisa terlupakan oleh aksi yang mereka sajikan. Skill-skill ciamik diperlihatkan oleh betotan bass Dika, petikan gitar Marshal dan gebukan drum Adhy di tiap perpindahan lagu yang satu ke lagu lainnya. Aku hanya mati gaya dan mati kata di lagu Beib karena belum hafal liriknya. Bagian paling asyik, tetap koreo ala boyband oleh Donnie, Dika dan Marshal di lagu Intim Berdua. Dan Mas Dika yang mengambil bagian rap di lagu ini, lumayan untuk ukuran bukan rapper. Hahaha..


Acara selesai sekitar pukul sepuluh malam. Niatnya langsung pulang karena demam sudah mulai tinggi. Namun langkahku terhenti ketika segerombolan orang berkerumun di depan tenda artis yang dijaga ketat oleh pihak keamanan. Pikirku waktu itu, nanggung kalau CD yang telah aku siapkan dari rumah nggak bisa ditanda tangani oleh mereka. Cukup lama menunggu, akhirnya aku meminta bantuan mas wartawan yang aku lupa nanya namanya (makasih banyak mas!). Namun itu pun juga cuma dapat tanda tangannya Donnie. Kemudian Donnie keluar dari tenda (lumayan bisa tos-tosan sama Donnie). Tak lama disusul Mas Dika keluar. Nanggung lagi kalau cuma dapat tanda tangannya Donnie, dengan melepas sejenak urat malu, aku teriak memanggil Mas Dika sambil melambaikan CD. Gayung bersambut, Mas Dika menghampiriku dan menggoreskan tanda tangannya di CD koleksiku. Masih berharap Mas Marshal dan Mas Adhy keluar, tapi ternyata mereka berdua sudah tidak ada di tenda. Cukup kecewa. Karena sudah larut malam dan esok paginya harus kerja, akhirnya kuputuskan untuk pulang.

Secara pribadi, walaupun nggak dapat stick drumnya Mas Adhy dan tanda tangannya, pick gitarnya Mas Marshal dan tanda tangannya (kalau tidak salah, pick gitarnya justru hilang di taman buatan depan panggung dan dicari banyak orang seusai konser, hehehe..), namun dapat tanda tangan Bang Donnie dan Mas Dika sekaligus bersalaman dengan mereka adalah keberuntungan bagiku. Terima kasih Bang Donnie. Terima kasih Mas Dika. Terima kasih Mas Marshal. Terima kasih Mas Adhy. Terima kasih ADA Band. Suwune sing uakeh yo cak yo.. Ojok kapok yo.. Tak enteni maneh.. :)


Salam,

@AriOtnaigus 

Senin, 30 September 2013

Biarlah Perlahan

Dua sahabat yang sudah sejak SMA merasakan sedih dan suka bersama, berbagi tawa dan tangis berdua. Hingga mereka bekerja di kantor yang sama, persahabatan itu masih terjalin. Meski keduanya tak selalu sepaham, tapi keduanya saling menghormati perbedaan. Keduanya saling melengkapi. Banyak yang mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih. Cukup beralasan, karena hampir bisa dipastikan keduanya selalu bersama. Dimana ada Brian, tak akan kesulitan untuk menemukan Vera. Jika ada Vera, tak perlu lagi bertanya, "Dimana Brian?" Brian yang tak suka nonton akan dengan ikhlas mengiyakan jika Vera sang film holic mengajaknya menemaninya ke bioskop. Walaupun sepanjang film diputar Brian tidur, bagi Vera tak jadi masalah. Dengan Brian disampingnya, dia merasa nyaman. Begitu juga sebaliknya, Vera akan merelakan waktunya untuk menemani Brian yang sangat menggilai fitnes. Dengan setia, Vera akan memegangi handuk olahraga Brian dan botol air mineral sembari memainkan telepon genggamnya. Dan bagi Brian, itu lebih dari cukup. Satu hal yang membuat mereka tak merasa berkorban adalah pergi ke perpustakaan atau ke toko buku. Keduanya sama-sama hobi baca. Keduanya merasa nyaman berada diantara buku-buku.

Satu hari, Brian mulai menyadari perubahan perasaannya ke Vera yang kian lama kian membesar. Rasa sayang yang berbeda. Rasa takut kehilangan yang berbeda. Rasa ingin memiliki.

"Ver, seperti gerimis malam ini aku mencintaimu perlahan-lahan. Rasa cinta yang kian membesar, rasa cinta yang berbeda dengan rasa cinta seorang sahabat. Aku merasakannya, Ver. Tidakkah denganmu?" Brian mencoba mengungkapkan perasaan sesungguhnya. Cukup lama Vera terdiam. Sesungguhnya dalam benaknya, hal itu sudah lama dirasakan Vera. " Belajarlah mencintaiku, Ver. Perlahan-lahan." Dengan kesungguhan hati Brian memohon. Vera masih diam. Berkali-kali wajahnya melihat sekitar. Matanya tak berani menatap langsung mata Brian. "Bukankah lebih baik begini, Bri. Aku takut kehilangan persahabatan kita." Vera tak berani untuk jujur tentang perasaannya. Dengan besar hati, Brian menerima alasan Vera. Brian menawarkan jari kelingkingnya kepada Vera. Vera menyambutnya. Keduanya tersenyum. Beberapa detik setelahnya, tawa mereka pecah. Entah apa yang ditertawakan, mereka juga tak tahu.

***

Ada pegawai baru di kantor Brian dan Vera. Melda, perempuan berambut panjang dan mempunyai kepribadian yang sangat bersahabat. Jika yang lain bersikap dingin dengan pegawai baru, tidak dengan Vera. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk akrab. Melda terlihat smart dimata Vera. Dari cara berbicara dan menyikapi masalah sangat memukau Vera. Dia sayang banget pada Melda dan berniat menjodohkannya dengan Brian. Apalagi setelah dia tahu kalau Melda sangat terpesona dengan Brian. Akhir-akhir ini, Melda banyak bertanya kepadanya tentang Brian. Dengan tubuhnya yang tegap, atletis dan kepalanya yang berisi, tak susah bagi Brian untuk menarik perhatian perempuan.

"Melda cantik ya, Bri? Smart lagi. Tipe kamu banget." Brian sedikit kaget dengan apa yang dikatakan Vera. "Jangan bilang kamu mau jodohin aku sama dia." kata Brian tegas. "Apa salahnya? Kamu hanya belum mengenal dia lebih jauh. Kalau sudah, pasti kamu akan sayang banget sama dia. Percaya sama aku." Brian hanya menaikkan bahunya. "Kamu akan mencintainya. Perlahan-lahan."

Benar saja, tak selang berapa lama, Brian dan Melda telah meresmikan diri mereka sebagai sepasang kekasih. Sebagai sahabat mereka berdua, Vera turut berbahagia. Semakin lama, Brian dan Melda semakin mesra. Mereka sering jalan berdua. Kesepian mulai menyerang Vera. Ada yang hilang dari dirinya.

***

Sudah dua hari Vera izin tak masuk kerja karena sakit. Brian dan Melda berencana menjenguknya, namun mendadak Melda membatalkannya karena ada saudara ibunya di kampung yang meninggal dunia. "Sakit apa sih, Ver? Nggak biasanya kamu dikalahkan sakit." Vera menghembuskan nafas dalam. "Cuma nggak enak badan. Akhir-akhir ini aku malas makan dan susah tidur." Vera menatap Brian. "Hubungan kamu dengan Melda baik, kan?" Brian hanya mengangguk. "Jujurlah denganku, Ver. Kamu nggak pernah bisa menyembunyikan masalah dariku. Ada apa sebenarnya?" Vera terdiam cukup lama, kemudian air mata mulai membasahi pipinya. Brian mendekatinya, lalu meletakkan kepala Vera di dadanya. "Aku mencintaimu, Bri. Aku membohongi perasaanku waktu itu. Aku baru merasakan kehilangan kamu setelah kamu bersama Melda. Tapi aku sayang Melda. Aku tak ingin dia disakiti." Dalam isak tangis, Vera mengungkapkan perasaannya. "Aku sebenarnya sudah bisa membaca apa yang kamu rasakan sejak dulu. Aku sayang Melda sebagai adik. Jika kamu tak terlalu memaksa dulu, mungkin aku tak pernah jadian sama dia. Namun sekarang, aku pun tak ingin menyakiti dia. Walaupu rasaku padamu masih kurawat di hatiku."

***

Meskipun mereka telah sepakat untuk tak menyakiti Melda, namun kenyataannya tak ada yang sanggup melawan perasaan mereka. Termasuk keduanya yang tak mampu menolak kehadiran cinta. Meski di tengah hubungan mereka ada orang yang mereka sayangi. Mereka sudah tahu segala resiko apabila hubungan terlarang itu terungkap. Mereka sudah siap dengan semua yang akan diterima kelak. Sekarang mereka sering jalan bertiga. Melda tak pernah menaruh rasa curiga pada hubungan Brian dan Vera.

Satu hari yang tak pernah Brian dan Vera sangka, Melda meninggal dalam kecelakaan tunggal. Keduanya sangat terpukul dan merasa bersalah.

Sudah seharian Brian duduk di pasir pantai. Hingga kini wajah malam sudah mulai menampakkan keramahannya, dia masih merenungi dirinya. Dia masih belum menerima kematian Melda. Dia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Seharusnya dia berlega hati, karena kini dia dan Vera bisa menjalin cinta tanpa merasa menyakiti. Tanpa sembunyi-sembunyi. Tapi nyatanya, dia malah tak tahu apa yang akan dilakukannya.

Dari kejauhan, Vera mulai berjalan mendekati Brian. Kemudian duduk disampingnya. "Mulailah mencintaiku dari awal lagi. Belajarlah mencintaiku lagi. Perlahan-lahan." Vera meletakkan kepalanya di bahu kiri Brian. Brian merangkulkan tangan kirinya mendekap Vera. Tak ada lagi suara selain ombak yang kian membesar. Satu ombak telah menyapa mereka. Malam sudah tak bersahabat. Dingin, membekukan kesunyian. Rintik gerimis mulai turun. Mereka berdiri dan berjalan bergandengan meninggalkan bibir pantai.

***

Satu tahun setelah kematian Melda. Brian masih larut menyalahkan dirinya sendiri. Vera berusaha keras untuk meyakinkan bahwa kesedihan ini tak perlu berlarut-larut. Vera mencoba membukakan mata Brian yang keasyikan memejam. Dia mencoba menyadarkan Brian bahwa ada yang sangat berharap mendapatkan perhatiannya. Ada yang berharap mendapatkan cintanya seperti dulu.

"Maaf, Bri. Aku harus pergi dari hidupmu. Aku sudah berusaha keras, aku tak mampu lagi. Kita kekasih, tapi kamu menganggapku asing. Kamu menyalahkan dirimu sendiri atas kematian Melda. Tapi aku merasanya, sebenarnya kamu menyalahkan hubungan ini. Kamu menyalahkanku." Vera akhirnya mengatakan apa yang sudah lama ditahannya. Tak ada reaksi apapun dari Brian. "Dulu aku memintamu mencintaiku secara perlahan. Sekarang rasanya, tak perlu perlahan-lahan untuk melupakanku. Selamat tinggal, Bri." Vera meninggalkan sebuah undangan pernikahannya dengan lelaki pilihan orang tuanya untuk Brian. Vera meninggalkannya. Mungkin tak akan kembali lagi. Selamanya.

Di hari pernikahan Vera. Brian memilih pergi ke pantai. Sendiri. Memandangi undangan pernikahan Vera, dia menyadari kebodohannya selama ini. Mengabaikan yang ada di genggaman untuk menangisi yang telah terlepas. Dia sangat menyesal, namun semua sudah terlambat. Sekarang dia sedang belajar untuk melepaskan, merelakan, kemudian tak lagi banyak berharap.

Brian menulis 'VERA' di pasir pantai, kemudian dengan cepat ombak menghapusnya. "Aku tak pernah bisa seperti ombak, menghapusmu dengan cepat di hatiku." Katanya dengan isak yang tertahan. Terdengar sangat pilu. "Jika dulu aku bisa mencintaimu secara perlahan, seharusnya sekarang aku mampu melupakanmu secara perlahan pula." Air mata mulai mengaburkan pandangannya. Tak lama, air itu menelusuri pipi lalu jatuh di pasir pantai. "Semoga dia bisa membahagiakanmu. Semoga dia mampu membuatmu selalu tersenyum, Vera." Dia berharap ombak yang datang dan pergi dapat membantunya mengikis sedikit demi sedikit luka hatinya.

When I Was Your Man - Bruno Mars

Same bed
But it feels just a little bit bigger now
Our song on the radio
But it don't sound the same
When our friends talk about you
All it does it just tear me down
Cause my heart breaks a little
When I hear your name
It all just sound like uh, uh, uh

Hmm too young, to dumb to realize
That I should have bought you flowers and held your hand
Should have given all my hours when I had the chance
Take you to every party
Cause all you wanted to do was dance
Now my baby is dancing
But she's dancing with another man

My pride, my ego, my needs and my selfish ways
Caused a good strong woman like you to walk out my life
Now I'll never, never get to clean out the mess I'm in
And it haunts me every time I close my eyes
It all just sounds like uh, uh, uh

Although it hurts
I'll be the first to say that I was wrong
Oh, I know I'm probably much too late
To try and apologize for my mistakes
But I just want you to know
I hope he buys you flowers
I hope he holds yours hands
Give you all his hours when he has the chance
Take you to every party
Cause I remember how much you loved to dance
Do all things I should have done
When I was your man



Salam,

@AriOtnaigus

Sabtu, 14 September 2013

#BondanF2B dan Kabar Kevakumannya

Kenapa pertemuan harus berakhir dengan perpisahan? Rasanya masih tak percaya ketika membaca kabar dari akun twitter @BondanF2B tadi malam yang mengatakan bahwa mereka vakum untuk waktu yang tidak ditentukan. Padahal beberapa waktu sebelum kabar itu tersiar, aku baru saja melihat aksi mereka (taping) menyanyikan lagu "Tak Terkalahkan" di acara ulang tahun sebuah surat kabar ternama di Indonesia di salah satu stasiun tv swasta. Pagi tadi ketika aku bangun, aku berharap bahwa itu hanyalah lelucon belaka. Namun ternyata itu adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Aku tak pernah suka dengan perpisahan. Walaupun mereka menyebut "vakum" tapi bagiku kata vakum adalah ketidak pastian. Sementara ketidak pastian akan memaksaku untuk bersahabat dengan "menunggu", berteman dengan "berharap" dan beresiko berhadapan dengan ketidak hadiran.


BondanF2B adalah proyek musik kolaborasi antara Bondan Prakoso dan Fade 2 Black (Titz, Santoz dan Lezzano) yang memainkan banyak jenis musik dengan rap sebagai unsur utamanya. Kepiawaian Fade 2 Black dalam merangkai kata yang jujur, lugas, penuh motivasi dan kadang sedikit "nakal" digabungkan dengan kecerdasan Bondan Prakoso mengolah musik yang sangat ekspresif dan bernyawa adalah komposisi yang pas untuk menyampaikan pesan mereka kepada penikmat karya mereka.

Vakum dan gonta-ganti personel adalah hal yang biasa dalam perjalanan sebuah band, namun tak pernah aku bayangkan akan sesedih ini begitu hal itu terjadi pada band yang aku kagumi. Aku menatap bergantian tiga buah CD mereka (sial! yang Unity hilang dan sekarang nyari di toko kaset susah). Delapan tahun dengan empat buah album bukanlah perjalanan yang singkat. Respect, Unity, For All dan RUFA adalah bukti dari kerja keras mereka di industri musik. Aku mengenal mereka sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagiku, mereka adalah empat yang menjadi satu. Satu jiwa, satu tujuan. Entahlah, apakah aku masih bisa menerima "pesan" mereka jika jiwa itu telah terbelah.

Aku tahu, tentu saja keputusan ini diambil melalui proses pemikiran yang panjang. Aku tak akan bertanya alasan apapun tentang keputusan ini. Hanya saja aku menyayangkan keputusan ini. Namun pada akhirnya aku menyadari, terlalu egois bagiku yang belum siap dengan keputusan ini memperberat langkah mereka ke depannya dengan tidak mengikhlaskan jalan yang telah mereka pilih. Mereka juga punya mimpi dan cita-cita yang lain yang masih harus mereka kejar dan wujudkan, mungkin saja inilah saatnya meraih kembali mimpi yang mereka tunda sebelumnya. Mereka masih melangkah bersama. Hanya saja jalan mereka tak lagi sama. Aku menghargai dan menghormati keputusan yang mereka ambil. Dan aku berdoa semoga ini yang terbaik.

Mereka telah menyebarkan banyak "virus" positif  kepadaku. Semoga saja virus itu terus berkembang, tidak ikut-ikutan vakum.

Mungkin bagi mereka, selama delapan tahun mereka berjuang bersama dalam BondanF2B adalah sebuah petualangan. Dan sekarang mereka sedang menuju ke rumah masing-masing. Tapi bagiku, BondanF2B adalah rumah mereka. Setiap kepergian akan merindukan kepulangan. Kami melepas mereka dengan senyuman. Tak akan ada tangisan, air mata dan salam perpisahan karena kami yakin kalian pasti kembali, satu hari nanti. Hanya lambaian tangan dan ucapan hati-hati di jalan serta doa yang mampu kami berikan sebagai bekal perjalanan panjang kalian. Kami siap merawat dan menjaga rumah yang sedang tak bertuan ini. Jangan lupakan kami. Sapalah kami. Tengoklah kami yang masih haus dengan karya-karya kalian. Kapanpun kalian ingin pulang, pintu ini selalu terbuka. Kami masih menunggu.

Terima kasih telah mau menjadi kakak kami, guru kami, teman kami, inspirasi kami, motivator kami. Maaf tak banyak yang bisa kami berikan kepada kalian. Semoga kita sukses bersama dengan jalan masing-masing. :)

No, it's not a goodbye
'Coz we believe for tomorrow
No, it's not a goodbye
Confince yourself we'll meet again

No no not yet
'Coz it's not goodbye now
Believe me we'll meet again someday or somehow
Bagai laju lokomotif perlahan sampai tujuan
Ini bukan akhir tapi awal dari perjalanan

Rima ku kan slalu jaga agar tetap mengudara
Ritme ku kan kekal dibalut intonasi nada
M to the I to the C kugenggam
BnF2B it's the time
Slalu konsisten dan tak kan lekang oleh zaman

Dengan cinta penuh makna
Karya tercipta abadi selamanya
Kenanglah lagu ini
Yakinkan nanti kan bersama lagi


RESPECT & UNITY FOR ALL



Salam,

@AriOtnaigus

Selasa, 27 Agustus 2013

Cukup Mengagumimu

Beberapa pasang mata abege cewek tak berkedip melihatnya memasuki toko buku yang sedang ramai pengunjung. Ada perasaan mengenal, namun mereka tak cukup berani menyapanya. Mereka terdiam dan masih tak percaya dengan sosok yang baru saja melintas di hadapan mereka. Tapi banyak yang tak menyadari kedatangannya yang tiba-tiba, mungkin memang mereka cenderung tak merasa mengenalnya. Lelaki kurus berkacamata minus dengan kemeja putih dan celana jeans itu tepat berhenti di depan rak buku laris. Matanya terfokus pada dua buah buku yang dipajang berdampingan. Bibirnya tersenyum kecil, ada kepuasan terlukis disana. Tangan kanannya meraih sebuah buku, diikuti tangan kirinya yang mengambil buku lainnya. Cukup lama dia memandangi keduanya yang masih terbungkus plastik rapi. Pikirannya tanpa sadar terseret ke ingatan-ingatan masa lalunya. Kenangan-kenangan mulai memenuhi kepalanya dengan cepat.

***
Perempuan itu adalah penulis yang sudah menerbitkan dua buku waktu itu. Sementara dia adalah pengagum karya-karyanya yang bermimpi menjadi penulis. Perkenalan mereka berlangsung sepihak dan terjadi tanpa jabat tangan. Dia yang menjadi sang pengagum yang merasa mengenal dekat dengan idolanya melalui karya-karyanya, sedangkan sang idola tak pernah tahu dia siapa.

Mereka benar-benar bertemu secara tatap muka pada acara peluncuran buku ketiga perempuan itu. Disitulah pertama kalinya dia melihat secara langsung mata hitam bulat dengan alis tebal, rambut hitam ikal sebahu dan wajah oval dengan tahi lalat dibawah mata sebelah kiri yang biasanya hanya dia lihat dalam foto-foto di bukunya atau di akun-akun sosial medianya. Rupanya rasa kagum itu telah berubah menjadi rasa cinta pada pandangan pertama. Dia sempat tak ingin mengakui perasaannya. Terlalu dini untuk disebut sebagai cinta, menurutnya waktu itu. Namun setiap dia berbicara, ada getaran asing yang telah lama tak dirasakannya. Setiap dia tersenyum, jantungnya semakin berdetak cepat, tak bisa dikendalikannya.

"Mas, yang pakai kacamata ada yang ingin ditanyakan?" Suara itu mengembalikan dirinya dari alam fantasinya. Semua mata yang hadir tertuju padanya. Sepertinya perempuan itu tertarik padanya karena ketika yang lain antusias mengajukan pertanyaan kepadanya, dia hanya melongo dengan tatapan tajam pada perempuan yang dikaguminya itu. Kedua pasang mata itu kini bertemu. Keringat dingin membanjiri tubuhnya ketika mata mereka saling beradu.

"Kamu manis." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Wajahnya memerah. Kemudian tersenyum.
Seisi ruangan tertawa. "Oh, makasih." Jawabnya sembari tersenyum. "Ada yang ingin ditanyakan?" Lanjutnya, masih dengan senyum khasnya. Senyuman yang membuatnya membisu. Tak tahu harus berkata apa. Pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkannya dari rumah tiba-tiba sembunyi entah dimana.  Dia menggeleng. Lalu menyodorkan tiga buku dan sebuah pulpen. Perempuan itu ternyata mengerti maksudnya. "Spesial buat kamu." Kebahagiaan yang tak mampu diungkapkannya ketika melihat tanda tangan idolanya tercetak di ketiga buku yang dia bawa.

***

Satu hari dia mengetahui ada lomba menulis buku yang diadakan sebuah penerbit dan penulis perempuan yang dikaguminya menjadi salah satu jurinya. Inilah saatnya menunjukkan bakatnya selama ini. Inilah saatnya mewujudkan mimpinya menjadi penulis. Inilah kesempatan dimana idolanya akan menilai karyanya. Selama ini, dia hanya menulis di blog pribadinya yang sepi pengunjung. Puluhan cerpen yang tak jadi diikutkan lomba atau dikirim ke surat kabar hanya teronggok di meja kamarnya. Begitu pun dengan beberapa draf buku setengah jadi yang tak pernah sampai ke meja penerbit karena ketidak percayaan dirinya. Kali ini sesuatu yang sangat besar mendorongnya untuk mengalahkan rasa tidak percayanya pada kemampuan dirinya.

Bakat itu memang ada pada dirinya. Dia menjadi juara tiga, namun bukunya lebih dulu diterbitkan daripada juara satu ataupun juara dua. Konon, itu karena desakan penulis perempuan yang dikaguminaya dengan alasan ceritanya sesuai selera pasar saat itu.

"Selamat. Semoga sukses." Ucapan ini menjadi motivator baginya saat bukunya mulai diterbitkan. Peluncuran buku perdananya bersamaan dengan peluncuran buku keempat penulis perempuan yang dikaguminya itu. "Tenang saja. Pasti laku kok. Setiap buku akan menemui pembacanya dengan caranya sendiri." Kata-katanya seakan mengerti apa yang sedang digelisahkannya. Dia melihat senyum itu lagi, namun kali ini senyum itu menenangkannya. Tak ada lagi keringat dingin yang terpancing oleh kedahsyatan senyumannya.

Kedua buku itu sukses di pasaran. Keduanya menjadi buku laris di toko-toko buku. Di bulan keenam setelah peluncuran perdana, bukunya telah memasuki cetakan ketiga, sementara buku dia sudah di cetakan keempat.

"Terima kasih untuk dukungan, inspirasi dan kepercayaan yang telah kamu berikan selama ini. Ini adalah mimpiku. Dan ternyata lewat tanganmu lah semua itu terwujud." Katanya dalam sebuah pesan singkat untuk dia. "You deserve it. :)" Balasnya.

Jatuh cinta. Itulah yang sedang melanda dirinya. Tapi cinta itu tak pernah terucap. Cinta itu tak pernah dikatakannya. Cinta itu tak pernah diketahui oleh dia. Hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Tak ada hubungan yang lebih indah dari persahabatan. Namun tak ada yang lebih sakit dari menyimpan cinta untuk dikecap sendiri. Dalam lubuk hatinya, dia masih menyimpan asa. Barangkali saja,suatu saat nanti sahabat itu bisa dimilikinya. Seutuhnya.

***

Seperti biasanya, sehabis temu blogger mereka selalu menghabiskan sisa malam dengan bercerita panjang lebar, tentang apa saja. Malam itu dia bercerita tentang berakhirnya hubungannya dengan pacarnya yang diwarnai putus nyambung berkali-kali selama dua tahun masa pacaran mereka. "Apa yang membuatmu bahagia? Tanyanya pada satu malam di akhir curhat mereka. "Bahagiaku adalah melihatmu bahagia." Tapi semua itu tak berlaku hari ini. Hari ini adalah hari pernikahan penulis perempuan yang dikaguminya itu. Suaminya adalah penyanyi terkenal. Mereka hanya pacaran dua bulan sebelum mereka memutuskan menikah hari ini. Dia sudah mengetahui hal ini akan terjadi. Hanya menunggu waktu. Namun hari ini dia memilih untuk tidak hadir. Dia belum cukup lkhlas tersenyum untuk senyuman mereka.

"Ini Mas Tian Ramadhan, kan? Aku menyukai bukumu. Boleh minta tanda tangan dan foto bareng kan?"

Dia melihat cewek dengan mata hitam bulat dengan alis tebal, rambut hitam ikal sebahu dan muka oval tepat di sebelah kiri cewek yang berbicara padanya. Hanya saja, tak ada tahi lalat di sebelah bawah mata kirinya. Tahi lalatnya terletak di ujung bawah lubang hidung kanannya. Manis sekali.

"Boleh kan, Mas? Mas?" Dia tersentak. "Ya."

Kedua cewek abege itu meninggalkannya setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia mencoba tetap tersenyum. Kedua buku yang dipegangnya tadi dikembalikan ke tempatnya. "Setidaknya di rak buku ini nama kita bersanding." Ucapnya lirih.

"Cukup mengagumimu, begitulah caraku mencintaimu." Katanya dalam hati. Dengan sisa-sisa senyum yang dimilikinya dia berjalan keluar dari toko buku itu.




Teruntuk sahabat yang tak pernah bisa memeluk cintanya.

Salam,
@AriOtnaigus :)

Minggu, 18 Agustus 2013

Untuk Sebuah Keputusan

Untuk sebuah keputusan
Aku memasukkan diri di ruang keraguan
Diantara banyak pilihan
Berpikir tentang ribuan kemungkinan
Menentukan jalan terbaik yang tak pernah berjanji mengantar ke tujuan

Untuk sebuah keputusan
Aku mengunci diriku dalam kamar bimbang yang tak pernah nyaman
Semua tanya masih meraba jawabannya
Segala harapan belum menerima kepastian
Ramalan akan masa depan seperti dunia kira-kira
Membawaku ke alam khayalan dan memaksaku untuk berandai saja

Untuk sebuah keputusan
Setiap malam aku terjaga
Memanjat doa dan bersahabat dengan air mata
Mencari ketenangan perasaan dalam khusyuk sujud yang kupersembahkan

Untuk sebuah keputusan
Kuikhlaskan akalku dijajah resah
Kurelakan hatiku dijarah gelisah

Untuk sebuah keputusan
Kututup mulutku pada mereka yang tak percaya
Akan aku, kamu dan hubungan indah kita

Untuk sebuah keputusan
Kusumbat telingaku untuk suara-suara mereka
Yang mengatakan kita tak mungkin bahagia

Untuk sebuah keputusan
Kubiarkan tubuhku tak bergerak
Diam mematung seakan tak menahu
Tentang anggapan mereka bahwa kita buta akan makna cinta

Untuk sebuah keputusan
Telah kulalui keraguan
Telah kulewati rasa bimbang
Telah kukenyangkan perasaanku pada resah dan gelisah
Telah kucukupkan diriku menjadi tuli dan buta

Untuk Sebuah keputusan
Kamu..





@AriOtnaigus

Sabtu, 17 Agustus 2013

Ceritaku Tentang Bulutangkis Indonesia

Sesuatu yang agak aneh (bahkan menurutku) ketika tiba-tiba aku bercerita tentang bulutangkis. Sebelumnya aku ucapkan "SELAMAT" kepada Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Muhammad Ahsan/Hendra Setiawan yang telah berhasil menjadi juara dunia bulutangkis. Terima kasih kupersembahkan untuk mereka yang telah memberikan kado indah untuk kemerdekaan Indonesia yang telah mencapai usianya yang ke enam puluh delapan tahun. Di tengah euforia masyarakat akan keberhasilan mereka, banyak yang belum tahu perjuangan mereka di lapangan. Sungguh ironis, ketika kita dengan mudah menyaksikan pertandingan Barcelona atau Manchester United tapi sulit untuk menyaksikan perjuangan atlet kita yang bertanding membawa nama negara. Akan dengan mudah untuk kita melihat selebrasi Lionel Messi setelah mencetak gol, namun jarang kita melihat selebrasi seorang Liliyana Natsir ketika mendapat poin atau memenangkan pertandingan.

Tentu saja dua gelar juara dunia ini adalah angin segar bagi bulutangkis Indonesia. Ada orang yang menganggap kemenangan ini biasa saja karena dulu Susi Susanti, Riky/Rexy dan lainnya juga meraih hal serupa. Itu hal yang wajar karena tak banyak yang tahu kalau bulutangkis Indonesia pernah mengalami penurunan prestasi dan puncak kemrosotan itu terjadi di tahun 2012 dimana tradisi emas bulutangkis Olimpiade terputus. Olimpiade London 2012 adalah mimpi buruk bagi bulutangkis Indonesia. Indonesia gagal mendapat medali dan parahnya pemain ganda putri Indonesia terlibat kasus kecurangan yang sangat memalukan. Saking kecewanya, aku tak pernah mau menganggap Olimpiade London ada dan tak mau mengakui pemenangnya sebagai juara olimpiade. Tapi ada hal positif yang didapat dari kegagalan ini, yaitu mantan-mantan pemain bulutangkis yang dulu enggan mengurusi langsung kini bersedia bergabung dan terlibat dalam kepengurusan dan kepelatihan.

Aku yakin kalau 2013 adalah titik dimana bulutangkis Indonesia akan kembali meraih prestasi terbaiknya. Masa gelap itu pasti akan berlalu. Aku secara pribadi menaruh harapan besar pada pemain-pemain muda terutama Angga Pratama, Suci Rizky Andini dan Tiara Rosalia Nuraidah. Entahlah kenapa harus tiga orang itu. Mungkin cukup subyektif, namun aku melihat potensi besar pada mereka.

Inilah pendapatku untuk masing-masing sektor:

Tunggal Putra
Bulutangkis Indonesia memiliki sejarah bagus di sektor ini. Nama-nama seperti Rudi Hartono, Liem Swie King, Alan Budikusuma, Ardy Wiranata, Haryanto Arbi, Joko Supriyanto, Hermawan Susanto, Hendrawan dan Taufik Hidayat pernah mencatatkan namanya sebagai yang terbaik di kejuaraan-kejuaraan internasional. Untuk sekarang, Sony masih yang terbaik menurutku. Tommy yang baru saja meraih gelar di Singapura dan Hayom masih harus banyak pembuktian untuk meraih prestasi seperti pendahulu-pendahulunya. Simon sudah sulit diharapkan. Harapanku justru muncul untuk Jonathan Christie.

Angga Pratama
Ganda Putra
Ini adalah sektor andalan bulutangkis Indonesia sejak dulu. Dari enam medali emas yang pernah diraih Indonesia di olimpiade, setengahnya disumbang dari sektor ini. Riky/Rexy di tahun 1996, Chandra/Tony tahun 2000 dan Hendra/Markis di tahun 2008. Riky Subagja, Rexy Mainaky, Rudy Gunawan, Chandra Wijaya, Sigit Budiarto, Halim Haryanto, Tony Gunawan, Eng Hian dan masih banyak lagi nama-nama yang sukses meraih banyak gelar dari sektor ini. Jika sekarang perhatian tersedot untuk Ahsan/Hendra, aku justru tertarik mengikuti kelanjutan prestasi Angga Pratama/Rian Agung Saputro. Aku sangat menikmati setiap pertandingan mereka. Hanya menunggu faktor X menghampiri mereka untuk berdiri di podium tertinggi, karena syarat untuk menjadi juara sudah ada pada mereka. Aku melihat ada 'juara' di tengah nama Angga Pratama. Anak ini yang (mungkin) akan mewarisi kesuksesan senior-seniornya. Berharap pula pada Rendy Sugiarto, Berry Angriawan dan Muhammad Ulinnuha.

Tunggal Putri
Sulit menemukan penerus kesuksesan Susi Susanti dan Mia Audina di nomor ini. Sempat muncul harapan ketika Maria Kristin Yulianti mampu meraih medali perunggu olimpiade di tahun 2008, namun setelah itu Indonesia harus bersabar lagi. Lindaweni dan Bellatrix yang sekarang sedikit memberikan asa, yang lainnya entahlah.

Ganda Putri
Suci Rizky Andini
Tiara Rosalia Nuraidah

Hanya sektor ini yang belum pernah menyumbangkan gelar juara dunia dan medali olimpiade. Bahkan nama-nama seperti Lili Tampi/Finarsih dan Eliza/Zelin yang menjadi bagian merebut dan mempertahankan piala uber tahun 1994 dan 1996 belum bisa meraih banyak gelar bergengsi. Untuk sekarang, entah kenapa aku tak pernah berharap banyak pada Greysia Polii. Justru aku sangat berharap pada Suci dan Tiara. Jika mereka mau berpasangan (lagi), semoga saja ada sedikit nafas untuk sektor ini.

Ganda Campuran
Semoga estafet prestasi di nomor ini terus terjaga. Sejak Nova Widianto/Lilyana Natsir dan Flandy Limpele/Vita Marisa hingga sekarang Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir., sektor ini masih menjadi andalan Indonesia selain ganda putra. Sempat berharap pada Riky Widianto/Jenna Gozali, namun entah kenapa Jenna lebih memilih ganda putri. Ada keinginan pula melihat Angga/Tiara bermain di nomor ini. Tapi dengan tim ganda campuran yang sekarang, aku masih yakin prestasinya masih akan terus berlanjut.

Semoga pemerintah memberikan perhatian khusus pada olahraga-olahraga yang sering mengharumkan nama bangsa seperti bulutangkis dan angkat berat. Tak ada yang salah dengan bermimpi menjadi juara dunia sepakbola. Tapi kenyataannya bulutangkislah yang telah menjadi juara dunia (berkali-kali). INDONESIA, BISA!! :)




Salam,

@AriOtnaigus


*gambar diambil dari sini

Selasa, 13 Agustus 2013

Ceritaku Setelah Baca #Madre - Dee (Bukan Review)

Rasanya ada yang aneh ketika mengetikkan huruf demi huruf di blog ini lagi setelah satu bulan lebih tidak mengotorinya dengan sampah-sampah perasaan yang jelas-jelas tidak penting dan cenderung konyol. Entahlah, satu bulan kemarin virus malas akut sedang menyerangku begitu dahsyatnya. Padahal keinginan untuk menumpahkan perasaan dalam bentuk tulisan begitu besar. Tapi hari ini ada sesuatu yang sangat kuat mengusikku sehingga mampu mengalahkan rasa malas yang sangat besar.

Buku Madre karya Dewi Lestari (yang bernama pena Dee) yang kubeli pertengahan puasa lalu  dan yang menemani mudikku ke tempat penuntasan rinduku dimana cinta begitu tumbuh subur disana telah membawaku ke dunia kenangan dan imajinasi yang luar biasa. Aku baru menyelesaikan membacanya hari ini, pada suatu siang yang panas namun angin berhembus dengan sedang dan stabil sehingga mengantarkan hawa dingin yang menjalari kulitku. Jika ada yang menebak di jam satu lebih sepuluh menit siang aku belum mandi, itu adalah jawaban yang sangat-sangat benar. Hahaha..

Hampir satu bulan, waktu yang bagiku cukup lama untuk menuntaskan membaca sebuah buku. Sebenarnya aku memasang target untuk menyelesaikannya sebelum lebaran dan sesudah lebaran aku sudah memulai Rectoverso. Namun dayaku tak kuasa melawan malas dan sesampainya di rumah harus sabar menunggu Madre selesai dibaca oleh saudara-saudaraku. Tulisan ini jauh dari unsur review ataupun resensi. Bukan juga ceritaku tentang buku-buku yang telah selesai kubaca, yang aku sendiri lebih suka menyebutnya sebagai catatan kecil. Memang sejak awal memutuskan untuk menjelajahi karya-karya Dee, aku sudah berniat tak menulis catatan kecil untuk buku-bukunya. Selain sudah cukup terlambat mengenalnya, aku juga takut tulisanku justru hanya akan menodai karya-karyanya yang begitu luar biasa.

Tak ada sesuatu yang menyapaku lebih selain rasa kagumku akan tulisan-tulisan Dee ketika membaca bab-bab awal buku Madre. Jika di buku Filosofi Kopi (pertama kalinya aku berkenalan dengan Dee lewat tulisannya) aku dibuat misuh-misuh tak karuan di tiap akhir tulisannya yang sungguh diluar dugaan dan tak tertebak, kali ini aku sudah mulai terbiasa dan bisa mengikuti alur yang Dee sajikan. Namun dua cerita pendek terakhir buku ini, "Guruji" dan "Menunggu Layang-Layang" tak lagi membawaku ke alam imajinasi, tapi memaksaku untuk membuka lagi lembaran-lembaran kenangan yang telah tersusun rapi di arsip memory. Pikiranku telah terseret ke ingatan-ingatan dan pengalaman-pengalaman yang mulai berlesatan di kepala yang memanggil-manggil untuk segera dihamburkan dalam ruang khayal.

Guruji. Sebenarnya tak ada kesamaan kisah antara aku dan tokoh di cerita ini. Yang sama adalah kesamaan nama, Ari. Namun karena inilah, aku kembali mempertanyakan arti namaku yang aku sendiri tak pernah paham. Memiliki nama Ari kadang membuatku berpikir kenapa dulu orang tuaku tak memilih nama lain yang terdengar lebih keren. Ari, nama yang cukup pasaran. Nama yang lazim digunakan oleh laki-laki tapi tak sedikit pula perempuan yang memakainya. Aneh dan membingungkan, setidaknya menurutku. Aku si pemilik nama Ari pernah malu dengan nama Ari dan dipermalukan karena nama Ari oleh ibu yang memiliki anak perempuan bernama Ari. Ibu itu adalah guru Bahasa Indonesiaku waktu kelas dua SMP. Waktu itu seperti tak berdosa dan dengan santainya si ibu berbicara kalau Ari berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti anak perempuan. Aku yang saat itu duduk tepat di hadapannya hanya mampu menunduk malu mendengar celetukan-celetukan di kelas yang begitu ramai. Aku sempat down dan menjadi anak yang rendah diri waktu itu. Sempat kutanyakan ini pada Bapak dengan marah, beliau hanya menjawab "Jenengmu kuwi artine apik" tanpa mau memberi tahu maksud pemberian nama itu.

Ingatan tentang sebuah nama Ari melompat ke ingatan lainnya. Memiliki nama yang sama dalam satu kelas itu rasanya nggak enak banget. Hal ini kualami ketika kelas satu dan tiga SMA. Dan parahnya, di kelas tiga SMA nama ini dipakai oleh dua orang yang berjenis kelamin beda. Tentu saja hal ini menjadi bahan bercandaan utama yang mengundang tawa mereka ketika dengan sengaja mereka memanggil "Ari" dan memaksa kami berdua yang sama-sama merasa memilikinya menoleh. Tapi untunglah sekarang aku sudah tak begitu memedulikannya. Yang aku tahu, setiap nama adalah doa. Dan aku yakin tak ada orang tua yang mendoakan anaknya jelek. Apalah arti sebuah nama, begitu kata orang. Hehehe..

Tentang cerita "Menunggu Layang-Layang", aku dibawa mundur ke waktu disaat aku berada di posisi Christian yang terjebak di tengah-tengah hubungan antara Rako dan Starla. Aku ingat betul dimana dilemanya aku waktu itu yang berusaha harus tetap netral, menjaga agar sebisa mungkin tetap di tengah. Aku yang dijadikan keranjang sampah bagi keduanya harus menelan lalu memuntahkan kembali sampah dari satunya sebelum aku menelan sampah dari lainnya untuk kumuntahkan lagi. Begitu seterusnya, aku harus memastikan keranjangku kosong dari sampah sebelum menerima sampah lainnya. Hingga akhirnya hubungan itu harus berakhir, aku bisa dibilang orang yang paling tersiksa dan menangis daripada mereka yang menjalani. Usahaku untuk membuat mereka setidaknya tak saling menghindar cukup berat. Seringkali persahabatan berakhir dengan percintaan dan seringkali percintaan berakhir dengan permusuhan. Aku tahu betul hal itu.

Ada kalimat yang menyentakku di cerita ini. "Kamu ingin cinta, tapi takut jatuh cinta. Kadang-kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan." Apakah itu yang terjadi padaku? Entahlah.. :)

Jika menganggap ini adalah 'curcolku',
mungkin saja begitu. :p
*lanjut baca Rectoverso*



Salam,

@AriOtnaigus

Minggu, 07 Juli 2013

Cukup Sampai Disini

Setiap ada pertemuan selalu pasti akan ada perpisahan, kan? Bukankah memang sudah begitu hukumnya?

Aku masih ingat betul waktu itu. Saat pertama kali kita dipertemukan di ujung gang menuju rumahmu. Aku kehujanan. Tubuhku basah kuyup, menggigil kedinginan dan sekuat tenaga mencoba menahan rasa perih dikakiku karena luka perkelahianku demi sisa makanan di tempat sampah. Aku sangat lapar. Sejak aku dibuang dua hari yang lalu, hingga sore ini belum ada yang bisa kumakan. Kakiku sudah tak kuat lagi menopang berat tubuhku sendiri. Kekuatan yang kucoba kukumpulkan ternyata tak cukup mampu menggiring tubuhku walau hanya untuk sekadar mencari tempat berteduh. Aku tersungkur di bawah tiang listrik. Langit semakin gelap. Hujan semakin deras. Dan angin bertiup semakin kencang. Tubuhku semakin lemas. Kamu berhenti tepat di depanku. Tatapan mata bulatmu menatap tajam diriku penuh keibaan. "Kasihan sekali". Mungkin begitulah isi hatimu saat itu kalau aku boleh menebaknya. Ah, aku sangat malu. Pasti aku terlihat sangat menyedihkan ketika itu.

Kamu berjongkok di depanku. Payung biru yang kamu bawa sepertinya tak mampu melindungimu dari air hujan sepenuhnya. Seragam ptih abu-abumu terlihat basah di beberapa tempat. Kamu mengeluarkan jaket merah jambumu dari tas ranselmu. Kamu memberikan jaket itu untuk menghangatkanku, lalu kamu menggendongku.

Kamu berhenti di depan rumah bercat hijau yang nampak sepi. Kamu mengajakku masuk ke rumah itu. Banyak foto-fotomu dari kecil hingga sekarang di rumah itu. Kamu menghandukiku dengan lembut. Rasa sayang sangat kurasakan dari setiap usapan yang kamu berikan padaku. Kemudian dengan hati-hati kamu mengobati lukaku. Kamu juga dengan sabar menyuapiku. Aku sangat berterima kasih padamu, Tiara. Kamu memperlakukanku layaknya tamu kehormatan. Aku sudah tak kedinginan lagi. Aku sudah tidak kelaparan lagi. Kamu telah menyelamatkanku. Kamulah pahlawanku.

"KENRA". Begitu kamu memanggilku. Tak pernah aku merasa sangat dihargai seperti ini. Biasanya aku hanya dipanggil dengan "PUS" oleh mereka yang sedikit menaruh perhatian padaku. Tak jarang aku dipanggil dengan "Kucing Sial" atau apalah yang menyakiti perasaanku. Kenra, Kucing kerEN tiaRa punyA. Ah, aku keren? Aku jadi tersanjung karenanya.

"Kamu tinggal disini saja ya? Menemani kesendirianku?" pintamu waktu itu. Tapi ternyata untuk dekat dan bersahabat denganmu tak mudah. Ibumu tak mengizinkanku ada di rumahmu. Beliau tak menyukaiku. Aku diusirnya, dilempar dengan kasar keluar rumah. Sakit. Aku berjalan keluar dari gerbang rumahmu dengan langkah berat. Aku sempat menoleh ke arahmu, kamu menangis. Sesuatu yang memilukan hatiku. Sesaat setelah aku keluar dari gerbang rumahmu, kudengar kamu berteriak pada ibumu, "MAMA JAHAT!" Aku jadi merasa sangat bersalah telah merusak hubungan baikmu dengan ibumu. Semoga kamu tak pernah benar- benar membenci ibumu hanya karena aku. Doaku saat itu.

Keesokan paginya, aku sengaja menunggumu di tempat pertama kita bertemu. Di bawah tiang listrik, aku menantimu yang hendak berangkat sekolah. Aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Aku melihat senyum yang luar biasa indah terlukis di wajah cantikmu ketika kamu melihatku lagi. Senyum yang menghangatkan. Sehangat sinar mentari pagi kala itu.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Harusnya akulah yang bertanya seperti itu kepadamu. "Kamu belum makan ya? Kasihan. Nih." Kamu menyodorkan bekal sekolahmu untukku. Sungguh kamu adalah bidadari berhati malaikat. Cantik, secantik parasmu. Hehehe..

Kamu mengajakku ke rumah temanmu. "Aku hanya titip saja kok. Untuk urusan makan dan keperluan Kenra yang lain, aku yang mengurusnya. Kamu tenang saja." Katamu pada Ita. Sahabatmu yang sebenarnya alergi pada bulu-bulu rambut binatang.

***
Akhirnya kamu lulus dari SMA. Kamu juga diterima di perguruan tinggi negeri yang kau dambakan dan di jurusan yang sesuai keinginanmu. Aku turut senang dan bangga akan prestasimu. Namun ada kecemasan dalam diriku. Kamu akan bersekolah di luar kota, berarti kamu akan meninggalkanku sendiri disini. Aku sedih membayangkannya.

Satu hari aku bermanja-manja di pangkuanmu, kamu membelai-belaiku dengan penuh rasa sayang. Pemandanga ini seolah menunjukkan bahwa ini adalah kali terakhir kita berintim berdua. Aku tak tahu harus berbuat apa saat mendengarmu mengucap salam perpisahan nanti. Aku bingung. Apakah aku harus berpura-pura senang saat mengantar kepergianmu? Apakah aku harus tersenyum palsu sambil melambaikan tangan ketika melepasmu? Ataukah aku harus berakting tegar dan berkata "Kejarlah mimpimu. Doaku selalu mengiringi langkahmu. Aku baik-baik saja disini." begitu? Sungguh, aku takut kamu tak akan pernah kembali lagi untuk sekadar menengokku. Aku takut jika ini menjadi kepergian yang akan melupakan jalan pulangnya.

"Tenang saja, aku akan mengajakmu kok. Tentu saja secara diam-diam." Apakah kamu dapat membaca perasaanku? Aku senang mendengarnya. Sangat senang lebih tepatnya.

***
Aku dan kamu tinggal di kamar yang sama. Kamu dengan ikhlas mau berbagi apapun denganku. Bahkan saat kiriman uang orang tuamu terlambat datang, kamu bersedia memberikan separuh nasi bungkusmu untukku. Aku jadi tahu semua kebiasaanmu. Semua kelebihan dan kekuranganmu. Wajah baru bangunmu dengan ilernya disana sini, tak mengurangi aura kecantikanmu. Aku menyukai semua tentang kamu. Bahkan bau keringat dan kentutmu pun aku sudah sangat hafal.

Aku mempunyai hobi baru, menyelinap di balik selimutmu. Diam-diam berbaring di sampingmu. Aku sangat merasa nyaman jika kamu tidur memelukku. Seakan kamu mengajakku masuk ke dalam mimpi-mimpi indahmu.

Kamu menceritakan semua perasaanmu padaku. Tentang kegundahanmu, tentang kebahagiaanmu, tentang segalanya. Katamu, akulah pendengar terbaikmu. Katamu, hanya kepadakulah kamu dapat bercerita dengan lepas tanpa beban. Tanpa takut kerahasiaanmu tersebar. Namun dengan kegemaranmu berbicara denganku, membuatmu harus dihakimi sebagai orang gila, orang yang aneh. Tapi untungnya, kamu tak begitu mempedulikan apa yang orang tudingkan padamu. Kamu menganggapnya sebagai angin yang berhembus disamping telingamu. Hanya permisi lewat, tak akan kau izinkan berhenti walaupun sekadar singgah.

Satu hari kamu bercerita tentang ketertarikanmu pada seorang lelaki. Alrie, begitu kau menyebutnya. Katamu dia baik, pintar dan ganteng tentunya. Aku sebenarnya ingin meninggalkanmu ketika kamu mulai bercerita tentangnya, menyebut-nyebut namanya dengan bersemangat. Namun dengan sekuat hati aku bertahan untuk mendengarkanmu bercerita tentangnya yang seolah sempurna dimatamu. Aku sudah berjanji untuk menjadi pendengar setiamu.

"Aku sudah jadian dengannya. Dia telah menyatakan semua perasaannya padaku." Teriakmu di satu hari. Hatiku hancur karenanya, tapi aku berusaha memberikan senyum yang lebih dahsyat dari senyummu sendiri. Sulit, tapi harus kulakukan. Bukankah bahagiamu adalah bahagiaku?

Pertama kali kamu mengajak dia ke kamar kosmu, tatapan matanya sudah menunjukkan dia jelas tak suka padaku. Aku lari keluar kamarmu waktu itu. Seandainya aku bisa menangis, pasti air mataku sudah tumpah sejak tadi membasahi kedua pipiku. Rasanya aku ingin menabrakkan diriku ke mobil yang melintas. Namun untungnya aku bertemu dengan Puchi, kucing putih cantik yang memberiku semangat dan mampu menghiburku.

Yang paling tidak aku suka, Alrie telah merebut posisiku. Dialah yang sekarang sering tidur di sampingmu. Dan aku sangat terpukul, kamu telah memberikan mahkota berhargamu pada lelaki itu. Apakah kamu sadar memberikannya? Apakah cinta harus ditunjukkan seperti itu?

Pernah, ketika kamu mandi. Dia sedang asyik menelepon kekasih lainnya dengan mesra. Senjata rayuan gombalnya dikeluarkan semuanya. Sama halnya ketika dia membuaimu dengan kata-kata indah yang keluar dari mulut buayanya. Aku ingin sekali mencakar-cakar wajahnya waktu itu. Aku menatapnya tajam, menunjukkan padanya bahwa aku juga tak pernah menyukainya. Tampaknya dia tahu hal itu. Dia memelototiku, hanya dengan satu tendangan kerasnya ke perutku telah berhasil membuatku terlempar ke meja. Dan sialnya, telepon genggam kesayanganmu terjatuh dari meja. "Prakk.." Pecah berantakan. Dengan cerita karangannya yang meyakinkan, kamu memarahiku habis-habisan. Aku hanya menunduk lesu, tak mampu berbuat banyak. Aku melihat kemenangan diwajahnya yang memuakkanku.

Semakin lama, kamu semakin terkurung dalam kerangkeng yang  kamu sebut sebagai cinta. Kamu sudah tak lagi mempedulikanku. Sudah tak ada waktu lagi untuk sekadar menyapaku. Bahkan kamu tak mencariku saat aku tak pulang ke kosmu selama tiga hari. Apakah benar kamu sudah melupakanku? Apakah kenangan dan perjuangan kita untuk bersama sudah tak berarti lagi bagimu?

Akhirnya, mungkin perpisahanlah yang menjadi pilihan terbaik. Sudah saatnya aku harus pergi dari kehidupanmu. Memang seharusnyalah seperti ini. Aku sudah sadar sejak awal, kita tak mungkin bisa bersama selamanya. Kini aku melangkah meninggalkanmu. Maaf aku tak sempat berpamitan denganmu. Terima kasih telah memberikan arti di hidupku. Aku akan selalu merindukanmu. Aku akan selalu mendoakanmu. Semoga kamu baik-baik saja. Semoga kamu bahagia.

Cukup sampai disini. Selamat tinggal, Tiara..


Teruntuk Destiara,
yang kehilangan kucing kesayangannya



Salam,

@AriOtnaigus

Senin, 01 Juli 2013

Meja Makan

Meja makan. Ada cerita yang menyertainya.

Makan malam bersama. Hal inilah yang diwajibkan oleh keluarga Pak Huda dalam keluarganya. Sehingga ketika waktunya telah tiba, semua anggota keluarga berkumpul. Duduk mengitari meja makan berbentuk bundar. Pak Huda, Bu Dewi, Tiara, Rendra dan si bungsu Kevin. Setelah berdoa bersama, semua mengambil makanan yang telah disediakan Bi Inem bergantian, mulai dari Pak Huda hingga Kevin. Sepanjang mereka makan bersama, nyaris tak ada percakapan hangat keluarga. Mereka seperti asing satu sama lain, seperti ada benteng tinggi yang seolah memisahkan mereka. Kaku. Mereka larut dalam lamunan masing-masing. Menenggelamkan diri dalam percakapan dengan diri sendiri.

Bu Dewi, berkali-kali telah melirik jam dinding dengan gelisah. Sebentar lagi jadwal sinetron favoritnya segera tayang dan dia tak ingin kelewatan barang satu adegan saja. Rendra sudah terlebih dahulu menghabiskan makanannya, tinggal menyisakan sepotong tahu di tusukan garpunya. Dan kini dia hanya menggigit-gigit kecil tahu itu sembari sesekali melihat jam di telepon genggamnya. Kevin juga telah menyelesaikan makannya. Sekarang dia sedang menikmati buah apel. Dia hanya berharap acara makan malam ini segera selesai karena dia sudah tak sabar ingin melanjutkan bermain game yang harus ditinggalkannya tadi. Pak Huda sendiri ternyata juga sudah ingin sesegera mungkin menyelesaikan kebiasaan yang diwajibkannya itu. Laptop dan tugas-tugas kantor seolah telah memanggil-manggil namanya untuk segera disapa lagi. Mungkin hanya Tiara yang tak punya alasan untuk segera menyelesaikan makan malam bersama ini, namun sesungguhnya dia sudah tak nyaman.

Semua sudah selesai. Tapi ada takut atau mungkin segan untuk mengawali beranjak dari kursi. Hingga akhirnya ada nada SMS masuk di telepon genggam Rendra yang memecah keheningan mereka. Ada rasa senang dan berharap bahwa itulah yang akan mengakhiri ritual ini pada diri masing-masing mereka. Benar saja, Rendra yang mengawali untuk mengakhiri makan malam bersama ini karena dialah yang mempunyai alasan paling tepat. "Pa, Ma. Rendra izin duluan, udah ditunggu teman." Kemudian Rendra meninggalkan mereka setelah terlebih dahulu mencium tangan Pak Huda dan Bu Dewi. Ada kelegaan dalam hati mereka semua. Aneh.

Kemudian secara hampir bersamaan semua beranjak meninggalkan meja makan. Kevin segera berlari menuju sofa dan meraih PSP nya kembali. Pak Huda meghampiri meja kerjanya yang lengkap dengan laptop, bertumpuk-tumpuk berkas dan sederet tugas yang belum terselesaikan. Tiara dengan langkah malasnya menuju kamarnya. Memasang earphone dan kembali melanjutkan membaca novelnya. Itulah dunianya, surga baginya. Bu Dewi, melangkahkan kakinya ke ruang keluarga setelah terlebih dahulu memanggil Bi Inem agar membereskan meja makan. Segera diraihnya remote tv dan menghanyutkan diri dalam cerita sinetron yang penuh drama dan menjual air mata.

Makan bersama di keluarga Pak Huda yang seharusnya mendekatkan mereka tapi ini justru dianggap suatu yang biasa saja, bahkan cenderung keterpaksaan. Semacam ritual wajib tanpa makna. Makan bersama yang diawali dengan berdoa namun tak diakhiri dengan mengucap syukur. Entahlah, mungkin kekakuan mereka yang melupakan segalanya.

Selang tiga rumah dari rumah Pak Huda...

Pak Slamet juga mewajibkan anggota keluarganya untuk makan malam bersama. Di meja makan berbentuk persegi panjang, Pak Slamet duduk paling ujung. Di sebelah kanan ada Bu Rina dan si bungsu Nayla. Sedangkan Riska dan Angga di sebelah kiri. Makanan telah tersedia di meja makan. Ada nasi, tempe, tahu, tumis kangkung, kerupuk, pisang dan air putih. Semuanya dimasak sendiri oleh Bu Rina. Pak Slamet memimpin doa. Kemudian semua menyantap hidangan hasil jerih payah Pak Slamet sebagai supir angkot hari ini. "Maafkan Abah ya anak-anak. Kalian harus bersabar lagi untuk makan berlauk ayam. Mungkin besok jika rezeki Abah lebih daripada hari ini, kalian pasti akan makan ayam." Dalam hatinya, Pak Slamet merasa bersalah. "Amin. Insha Allah, Bah." Senyum mengembang di wajah Bu Rina yang kemudian dibalas oleh Pak Slamet.

"Nayla tadi disuruh nyanyi apa di sekolah?" tanya Pak Slamet pada anak bungsunya yang baru berusaha lima tahun. "Pelangi, Bah." Jawab Nayla yang kemudian membuka mulutnya lebar-lebar untuk menerima suapan dari ibunya. "Bah, tadi ada beberapa buku yang harus dibeli minggu depan. Pulpen Riska juga udah mau habis." "Pulpen Angga juga." "Iya. Besok beli."

Setelah semuanya selesai makan, Pak Slamet bermain dan bercanda dengan Angga dan Nayla. Sementara Bu Rina membereskan meja makan dibantu Riska. Ada kehangatan dalam keluarga ini. Percakapan ringan dan sederhana dengan keluarganya seolah menghilangkan rasa lelah yang mendera Pak Slamet. Semua beban berat seakan hilang. Tertutup oleh kebersamaan dan keakraban keluarga yang tak mampu terbeli oleh apapun.

Di kompleks perumahan mewah. Satu kilometer dari rumah Pak Slamet...

Seorang anak perempuan kecil duduk di meja makan panjang super mewah dengan segala masakan lezat, lauk-pauk serba enak dan beraneka buah segar bermacam warna tersaji di atasnya. Anak itu menunggu sang Ayah yang sudah empat hari tidak dilihatnya. Mungkin dia pulang terlalu malam ketika dia sudah berpetualang dalam mimpinya dan pergi lagi sebelum Bi Sumi membangunkannya. Mamanya sama saja. Hanya saja, dia masih kadang menelepon. Delia, kakak satu-satunya juga. Hanya singgah sebentar di rumah setelah pulang sekolah untuk mandi dan ganti baju. Kemudian pergi lagi. Hanya cubitan sayang di pipi yang didapat sebagai sapaan dari kakaknya untuknya. Itu pun kalau dia sedang beruntung, sedang tidak tidur siang. "Ayo makan Non Mayang, sudah malam. Bi Sum suapin ya?" Mayang hanya mengangguk. Kesedihan jelas tergambar di wajahnya. Sungguh kasihan.

Seberang jalan kompleks mewah itu. Di sebuah pemukiman kumuh...

Seorang nenek janda yang tak mempunyai anak. Tertidur di atas meja makan tuanya. Tak ada yang bisa dimakan, hanya sebuah piring dan sebuah sendok tanpa apa-apa di atasnya. Nenek itu sesekali terbangun dan terus berusaha untuk tertidur kembali. Mencoba melupakan bahwa dia belum makan seharian. Mencoba tak menghiraukan perih di perutnya. Tepat di samping rumah nenek itu, keluarga kecil sedang berbagi sepiring nasi berlauk garam untuk suami, istri dan seorang anaknya yang berumur tiga tahun. Mereka mendambakan dapat makan layak, cukup dan makan di sebuah meja makan sederhana bersama.

Di pintu tol. Sekitar dua ratus meter dari pemukiman kumuh...

Seorang penjaga tol yang beristirahat sedang menyantap nasi bungkusnya. Dia selalu berharap dapat makan bersama keluarganya di rumah. Mengobrol santai di meja makan. Tapi apa daya, keadaan tidak mengizinkannya untuk melakukannya selalu. Dia merapalkan doa di tiap suapan makanan di mulutnya. Semacam pengobat rindu. Pembunuh sepi.

Di bawah jalan tol. Tak jauh dari pintu tol...

Seorang bapak pedagang asongan masih berjuang untuk empat piring nasi di meja makannya. Bercucuran peluh di tubuhnya. Mencoba menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang mungkin mau membelinya. Pendapatan hari ini belum cukup untuk empat piring nasi dan lauk sekadarnya. Pikirannya tertuju di rumah dimana istri dan dua orang anaknya sedang menunggunya di meja makan. Berharap bapaknya pulang membawa beras dan tempe untuk makan malam ini.

Jauh dari itu semua. Di sebuah kamar kos..

Seorang laki-laki muda mensyukuri apa yang telah dia makan malam ini dan hari-hari sebelumnya. Dia tetap selalu merindukan makan bersama keluarganya di rumah. Merindukan kehangatan, keakraban dan kekeluargaan yang terjadi di meja makan.



Salam,

@AriOtnaigus :)